REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat Aceh mendesak Presiden Prabowo Subianto turun tangan menyelesaikan sengketa kepemilikan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dengan Sumatera Utara (Sumut). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mengingatkan Presiden Prabowo untuk memberikan solusi yang tak mengkhianati masyarakat di Serambi Mekkah itu.
Kepala Operasional LBH Banda Aceh Muhammad Qudrat mengatakan, pangkal soal sengketa kepemilikan empat pulau tersebut, adalah dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang cacat prosedur, dan hukum. Kepmendagri 300.2.2-2138/2025 tersebut dikatakan mengalihkan kepemilikan wilayah Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang di Aceh ke Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah (Pemkab Tapteng) yang berada di Provinsi Sumut.
“Aceh memiliki sejarah panjang pengkhianatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Jangan tambah daftar panjang pengkhianatan itu dengan merampas wilayah Aceh dan menyerahkannya kepada pihak lain secara melawan hukum. Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera memerintahkan Mendagri Tito Karnavian untuk membatalkan keputusannya itu,” kata Qudrat kepada Republika, di Jakarta, Ahad (15/6/2025).
YLBHI menilai Kepmendagri 300.2.2-2138/2025 tentang peralihan empat pulau milik Aceh ke Sumut itu dikhawatirkan menjadi api dalam sekam. “Sengketa antara Aceh dengan Sumatera Utara ini, berasal dari keputusan mendagri itu,” kata Qudrat.
Menurut dia, masyarakat Aceh geram dengan keputusan yang dinilai sepihak merampas hak-hak kewilayahan Aceh. Dan negosiasi elite dari dua provinsi itu mentah.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf pekan lalu tegas menolak proposal, dan membahas pengelolaan bersama keempat pulau tersebut dengan Gubernur Sumut Bobby Nasution. Qudrat mengatakan tak ada solusi hukum atas sengketa Aceh dan Sumut soal kepemilikan empat pulau tersebut. Karena akar masalah yang memunculkan persengketaan Aceh dengan Sumut tersebut adalah Kepmendagri 300.2.2-2138/2025. Keputusan mendagri itu, kata Qudrat merupakan produk hukum dari kekuasaan eksekutif yang secara perundang-undangan dapat diuji keabsahannya melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Ditinjau dari hukum administrasi negara (HAN), keputusan mendagri tersebut termasuk sebagai suatu beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus keabsahan suatu KTUN, adalah PTUN,” ujar Qudrat.
Akan tetapi, Pemprov Aceh sebagai pihak yang dirugikan atas keputusan mendagri tersebut, tak dapat melayangkan gugatan. “Karena Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 tentang PTUN menjelaskan, tentang sengketa tata usaha negara (TUN) merupakan sengketa yang muncul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,” kata Qudrat.
Dan dalam pasal 53 ayat (1) UU PTUN, kata Qudrat menerangkan, tentang siapa yang berhak atau memiliki kedudukan hukum sebagai penggugat atas sengketa TUN tersebut. “Orang atau badan hukum perdata, yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, dalam hal ini adalah PTUN,” ujar Qudrat. Dari ketentuan pasal tersebut, kata Qudrat, yang menjadi subjek hukum, atau penggugat atas sengketa TUN tersebut hanyalah badan hukum perdata, atau perorangan. Dan Pemprov Aceh, bukanlah badan hukum perdata, maupun orang.
“Pemerintah Aceh bukanlah orang, ataupun badan hukum perdata. Pemerintah Aceh, sama seperti Kementerian Dalam Negeri, maupun Menteri Dalam Negeri yang dalam ketentuan tata usaha negara, sama-sama sebagai badan atau pejabat tata usaha negara yang atas kuasa dan kewenangannya menerbitkan keputusan tata usaha negara,” ujar Qudrat.
Sebab itu, kata Qudrat, satu-satunya solusi dalam penyelesaian sengketa kepemilikan empat pulau antara Aceh dengan Sumut tersebut haruslah melalui jalan politik eksekutif di atas level kementerian. “Persengketaan antara Aceh dan Sumatera Utara sebenarnya dapat diselesaikan oleh eksekutif sendiri, tanpa melibatkan lembaga yudikatif (peradilan),” ujar Qudrat.
Karena itu, LBH Banda Aceh, kata Qudrat mendesak Mendagri Tito Karnavian merevisi, atau membatalkan peralihan wilayah Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang tersebut. Atau mendesak Presiden Prabowo memerintahkan langsung Mendagrti Tito Karnavian untuk membatalkan Kepmendagri 300.2.2-2138/2025 tersebut. “Presiden Prabowo Subianto sebagai pucuk kekuasaan eksekutif, harus turun tangan, dengan memerintahkan Mendagri Tito Karnavian untuk membatalkan keputusannya, jangan hanya diam. Sikap diam Presiden Prabowo seperti menunjukkan ia tidak keberatan dengan apa yang dilakukan oleh anggota kabinetnya itu,” ujar Qudrat.