Negeri di Bawah Bayang Emas

6 hours ago 2

Image Alfin Nur Ridwan

Politik | 2025-05-21 14:57:41

Dok: pribadi

Tahun 2025. Angin perubahan bertiup kencang di seluruh penjuru Republika Nusantara, negeri tropis dengan 17 ribu pulau, berjuta bahasa, dan lautan harapan yang luas. Pemerintah mengumumkan: “Inilah masa keemasan kita. Bonus demografi telah datang. Rakyat kita muda, kuat, dan siap membangun peradaban baru.”

Media-media memuat grafik menanjak, statistik ekonomi, dan gambar-gambar anak muda mengenakan toga wisuda. Presiden menyebutnya “Hadiah dari sejarah.” Para menteri bicara soal ekonomi digital, teknologi hijau, dan revolusi industri 4.0.

Namun di balik layar, realitas mencoret narasi itu dengan tinta gelap.

Jerit Sunyi dari Tanah-Tanah yang Terluka

Ada masa ketika pagi di desa-desa Nusantara dibuka dengan nyanyian burung dan kabut yang malu-malu di antara batang padi. Tapi kini, udara pagi itu lebih berat, lebih tebal. Bukan kabut, tapi debu dari bukit-bukit yang tak lagi mengenal hijau. Suara burung kalah oleh dentuman alat berat yang tak pernah berhenti – siang maupun malam.

Di desa pinggiran hutan Kalung Raya, tanah retak seperti kulit tua yang kehausan. Petani kehilangan arah: tanah yang dulu menumbuhkan padi kini tak bisa menahan air. Sungai menjadi cokelat tua. Bau limbah, sampah, dan oli menyatu dalam aliran yang dulu jadi sumber kehidupan. “Airnya bau besi,” kata seorang bocah. Anak-anak bermain di pinggirannya, tubuh mereka gatal, mata mereka perih. Tapi tak ada air bersih. Tak ada pilihan.

Di kota-kota industri yang dulunya berdenyut oleh deru mesin dan teriakan buruh, kini hanya terdengar dengung kipas tua di ruang kantor kosong. Pabrik-pabrik tutup seperti bunga yang enggan mekar lagi. PHK bukan lagi berita besar. Ia telah menjadi kebiasaan. Seperti senja yang datang tanpa perlu ditanya.

Pemerintah bicara dengan angka-angka. “Pertumbuhan masih positif,” kata mereka. Tapi tak ada statistik yang bisa menggambarkan bagaimana rasanya seorang ayah pulang membawa tangan kosong, atau ibu yang mengaduk air garam sebagai pengganti makan malam.

Dan ketika rakyat mulai bertanya, suara mereka dibungkam. Ruang-ruang diskusi dibredel. Jurnalis diusir. Aktivis dijerat pasal. Negara, dalam kekuasaan yang kaku dan tuli, memilih untuk tidak mendengar. Dan kesunyian yang mencekam mulai menyelimuti tanah ini seperti malam yang lupa akan fajar.

Ketika Generasi Emas Tak Punya Tambang Harapan

Tahun 2030. Bonus demografi berada di tengah jalur. Lebih dari separuh warga negara berada di usia 15-64 tahun. Tapi lapangan kerja tidak tumbuh. Pendidikan tinggi menghasilkan ribuan sarjana, tetapi yang mereka temui adalah pintu tertutup, seleksi kerja yang palsu, dan wawancara yang tak pernah ditindaklanjuti.

Di hiruk-pikuk kota, anak-anak muda berseragam hitam duduk diam di trotoar. Mereka bukan pengangguran biasa. Mereka adalah sarjana. Gelar mereka panjang, semangat mereka pernah menyala. Tapi dunia tidak memberi mereka tempat. Mereka mengisi lamaran kerja secara daring, puluhan bahkan ratusan, hanya untuk tidak pernah mendapat balasan.

Mereka akhirnya menjadi pengemudi motor yang mengantar makanan untuk orang yang lebih beruntung. Mereka menyusun paket belanja di gudang-gudang besar yang tak mengenal waktu kerja. “Lebih baik kerja apa saja daripada menganggur,” kata mereka. Tapi di mata mereka, ada sesuatu yang hilang. Kebanggaan. Arti. Arah.

Sementara itu, desa-desa kehilangan anak mudanya. Mereka pergi ke kota, mencari peruntungan. Yang tinggal hanyalah lansia dan anak-anak yang tak sempat ikut. Hasil panen membusuk karena tak ada yang memasarkan. Tanah terbengkalai, diserahkan pada semak liar dan rayap.

Langit mendung datang lebih cepat sekarang. Hujan tak lagi berkah. Ia membawa banjir. Ia membawa tanah longsor. Semua karena hutan yang dulu merawat negeri ini telah dipereteli, dijual lembar demi lembar. Alam menangis, tapi manusia sibuk mencari sinyal internet.

Pemerintah meluncurkan kampanye “Optimisme Nasional.” Slogan ditulis besar-besar: “Bangkit Bersama Bonus Demografi!” Tapi rakyat tahu, itu hanya huruf-huruf kosong di spanduk yang dicetak di ibukota dan tak pernah menyentuh kenyataan.

2040: Jalan yang Membelah Harapan dan Amarah

Tahun 2040. Mereka yang dulu disebut generasi emas kini berusia matang – 35 hingga 50 tahun. Usia ideal untuk memimpin, mencipta, menanam sejarah. Tapi apa yang mereka punya? Sebagian besar tidak memiliki rumah, tidak pernah punya kontrak kerja tetap, dan tidak pernah merasakan liburan keluarga yang layak. Mereka hidup dari cicilan ke cicilan, dari pekerjaan ke pekerjaan, dari napas ke napas.

Di pusat kota, gedung-gedung tinggi menjulang, namun kosong di dalamnya. Di desa, sawah kembali mengering, tapi bukan karena kemarau. Karena tak ada lagi yang bercocok tanam. Semua ingin ke kota. Tapi kota telah menutup pintunya.

Statistik penduduk lansia meningkat. Mereka yang tak punya tabungan mengemis di perempatan jalan. Mereka yang sakit hanya bisa pasrah. Tak ada jaminan kesehatan. Tak ada pensiun. Negara terlalu sibuk membayar bunga utang dari proyek-proyek yang tak selesai.

Di televisi, pejabat tersenyum. “Kita masih dalam jalur yang benar,” katanya. Tapi jalan itu tak pernah sampai ke rumah-rumah rakyat.

2045: Puncak yang Tak Menyala

17 Agustus 2045. Seratus tahun merdeka. Seratus tahun berdiri. Hari yang seharusnya jadi tonggak peradaban. Bonus demografi mencapai titik puncaknya. Tapi tak ada sorak-sorai, tak ada perayaan.

Di alun-alun ibu kota, layar besar menayangkan pidato kenegaraan. Tapi suaranya kecil, tenggelam oleh deru kipas, dan oleh kesunyian hati rakyat. Di desa-desa, anak-anak duduk di ruang kelas tanpa guru. Di kota, pemuda-pemudi menggelar aksi diam. Mereka tidak berteriak. Tidak membawa poster. Mereka hanya duduk. Memegang tangan satu sama lain. Diam, karena suara mereka telah terlalu sering dipatahkan.

Sementara itu, laut mulai merangsek masuk ke daratan. Rumah-rumah pesisir tenggelam perlahan. Sungai kehilangan ikan. Udara menghitam. Dan langit, yang dulu biru dan megah, kini abu-abu setiap hari. Di ruang sempit di pinggiran kota, seorang ibu menatap anaknya yang tidur. Di sampingnya, sepucuk surat lamaran kerja yang belum dikirim. Ia tahu, mungkin tak akan pernah dikirim. Tapi ia masih menyimpannya. Karena itulah satu-satunya yang masih bisa disebut “harapan.”

Bonus demografi adalah kudapan sejarah: cepat datang, cepat pergi. Di tangan yang tepat, ia bisa menjadi emas yang ditempa menjadi peradaban. Tapi di tangan yang rakus, tuli, dan abai, ia akan hancur menjadi debu yang membebani angin.

Bonus demografi adalah api. Ia bisa menerangi jalan. Atau membakar rumah. Dan yang menentukan adalah: apakah penguasa mendengar, atau terus berbicara sendiri di atas podium-podium kosong.

Republika Nusantara pernah dijanjikan emas. Yang datang adalah senja panjang. Tapi di antara puing, harapan tak pernah benar-benar mati. Namun kini ia dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Apakah bangsa ini berani berubah, mendengarkan, dan belajar dari rakyatnya sendiri? Atau akan terus berjalan dalam senyap menuju usia senja: miskin, tua, dan terlambat sadar?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |