REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang lanjut usia (lansia) umumnya memiliki perasaan yang lebih sensitif, mudah marah, atau sedih. Kondisi ini kerap menjadi tantangan bagi keluarga dalam memberikan perawatan, terutama jika muncul tanda-tanda perilaku yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain
Dokter kejiwaan konsultan psikiatri dr Erikavitri Yulianti mengatakan penanganan emosi sensitif pada lansia memerlukan edukasi yang memadai. Terutama dalam mengenali gejala-gejala umum serta pentingnya diagnosis oleh tenaga profesional.
"Penting untuk membedakan apakah perubahan emosi tersebut mash dalam batas normal atau sudah mengarah pada gangguan kejiwaan," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Senin (28/7/2025).
Menurut dr Erika, faktor penyebab perasaan sensitif pada lansia berkaitan dengan perubahan fisik dan kesehatan yang semakin melemah, sehingga mereka merasa kurang memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan lebih mudah frustasi. Menurunnya sistem otak dan syaraf membuat kemampuan kognitif seperti mengingat dan berbahasa menjadi turun berdampak pada penurunan kontrol emosi.
"Terjadinya tahap baru kehidupan seperti pensiun, kehilangan rutinitas yang diikuti kemunduran fisiknya dan kehidupan sosial yang semakin terbatas menyebabkan lansia merasa tidak berdaya apabila dibantu, namun apabila tidak dibantu akan merasa diabaikan. Sehingga akan cukup menantang bagi keluarga dalam memahami emosi lansia," kata dia.
Perubahan pola tidur juga menjadi faktor penting. Erika menyebut, lansia cenderung memiliki waktu tidur yang lebih singkat dan mudah terputus, yang berdampak langsung pada kestabilan emosi. Di sisi lain, efek samping dari obat-obatan penyakit degeneratif yang umum dikonsumsi lansia juga dapat menimbulkan ketidanyamanan fisik yang berujung pada gangguan emosional.
"Dampak dari perasaan sensitif ini dapat meningkatkan risiko cemas dan depresi, penurunan hubungan sosial dan kemungkinan lansia mengisolasi diri. Selain itu, dampak lainnya yaitu menurunnya minat lansia dalam melakukan aktivitas sehari-sehari sehingga lansia akan lebih banyak berdiam diri," kata dia.
Erika menekankan perlu adanya diagnosis berupa wawancara klinis dan observasi dengan teknik yang sesuai pada lansia. Misanya dengan melakukan komunikasi yang baik agar lansia lebih nyaman menyampaikan perasaannya. Dengan demikian psikiater dapat mengetahui adanya perubahan pola perilaku seperti pola tidur, perubahan nafsu makan, dan penurunan aktivitas harian.
Selanjutnya psikiater dapat melakukan penilaian psikometri dengan beberapa instrumen untuk melihat kesesuaian dengan apa yang diungkapkan lansia untuk menyimpulkan status mental. Masih normal atau terdapat indikasi depresi dan gangguan kecemasan.
"Terapinya dapat dilakukan tanpa pemberian obat, namun apabila tidak efektif maka dapat diberikan obat sesuai dengan resep dokter," kata dr Erika.
Ia menekankan pentingnya peran keluarga dalam memberikan dukungan emosional dan sosial guna meningkatkan kualitas hidup lansia dan keluarga. Keluarga perlu mendukung lansia untuk bersosialisasi, menjaga komunikasi, meningkatkan kemandirian dan memantau kondisi kesehatan mental lansia.
"Keluarga harus jeli melihat perbedaan perasaan sensitif normal yang frekuensinya sesekali dengan perasaan sensitif yang tidak normal apabila terjadi secara terus menerus tanpa penyebab yang jelas. Apabila terdapat perubahan sikap sosial, tidak bisa bersosialisasi, insomnia, hilang minat, putus asa hingga halusinasi segera konsultasikan pada psikiater," kata dr Erika.