REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam hukumnya adalah wajib. Namun, ada pengecualian bagi mereka yang tidak mampu.
Siapakah mereka yang tidak mampu? Mereka adalah lansia, wanita hamil, ibu menyusui, orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang yang tengah sakit. Mereka ini adalah orang-orang yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa Ramadhan namun tetap harus menggantinya di hari lain atau membayar fidyah.
Dalam bukunya "Ibu Hamil dan Menyusui Bolehkah Bayar Fidya Saja?" Muhammad Ajib mengatakan pendapat para ulama salaf mengenai hal ini. Yaitu hukum puasa bagi ibu hamil dan ibu menyusui.
A. Menurut Mazhab Hanafi, bahwa ibu hamil dan menyusui itu seperti orang yang sakit. Apabila mereka tidak berpuasa Ramadhan, maka wajib mengqadha puasanya saja dan tidak perlu membayar fidyah.
Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 184)
Menurut Imam As-Sarkhasi (w 483 H) seorang ulama yang bermazhab Hanafi menyebutkan, ketika wanita hamil atau menyusui itu meninggalkan puasa karena dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW sesungguhnya Allah SWT memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa harus membayar fidyah.
B. Mazhab Maliki membedakan hukum puasa bagi ibu menyusui dan wanita hamil. Bagi ibu hamil yang tidak berpuasa maka kewajibannya hanya qadha, sedangkan bagi ibu menyusui yang tidak puasa maka kewajibannya qadha dan membayar fidyah.
Imam Malik (w 179 H) yang merupakan pendiri Mazhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudawwanah sebagai berikut:
Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewa ibu susuan bagi bayinya. Tapi jika sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, di mana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk setiap orang miskin.
Kemudian Imam Malik menyebutkan, bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.
Dalam kitab Al Mudawanah ini juga dijelaskan mengapa antara wanita hamil dan menyusui dibedakan dalam hal membayar fidyah. Hal tersebut karena wanita yang hamil dianggap sebagai wanita yang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau tidak sakit seperti wanita hamil.
Lalu kemudian kenapa fidyah diwajibkan atas ibu menyusui, karena alasan meninggalkan puasa adalah karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan karena fisik ibu yang tidak kuat berpuasa. Padahal fisik ibu yang menyusui masih kuat.
C. Mazhab Syafiii
Madzhab Syafii justru membedakan hukumnya tergantung dari sisi mengapa ibu menyusui dan wanita hamil itu tidak berpuasa. Apakah sebab khawatir terhadap dirinya saja atau khawatir terhadap bayinya.
sumber : Dok Republika