Pantura dan Kuburan Sunyi Bernama Kemajuan

4 hours ago 2

Image Ana Fras

Kebijakan | 2025-10-19 11:19:35

Sumber: internet

Di sepanjang pesisir utara Jawa, suara mesin menggantikan debur ombak. Di tanah yang dulu menumbuhkan padi dan melahirkan nelayan tangguh, kini berdiri barisan pabrik dan tanggul beton. Pemerintah menyebutnya proyek strategis nasional, investor menyebutnya peluang emas, tapi bagi warga Pantura, ini hanyalah banjir, kehilangan, dan tenggelam perlahan.

Lebih dari dua puluh ribu hektare lahan digunakan untuk mengembangkan kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus. Pemerintah berjanji proyek ini akan membawa pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Namun yang tumbuh lebih cepat justru penurunan muka tanah, banjir rob, dan hilangnya ruang hidup rakyat kecil. Penelitian Celios bahkan memprediksi dalam sepuluh tahun ke depan pendapatan masyarakat pesisir bisa turun lebih dari dua ratus triliun rupiah. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai ekosida, pembunuhan ekosistem yang dilakukan dengan penuh kesadaran atas nama pembangunan.

Kita sedang menyaksikan wajah paling jujur dari kapitalisme, sistem yang memuja angka dan melupakan manusia. Industrialisasi di Pantura bukan tentang kesejahteraan, tapi tentang penguasaan. Negara menjadi fasilitator modal, rakyat hanya menjadi latar. Setiap hektare lahan yang digusur dijustifikasi dengan retorika pertumbuhan. Padahal yang tumbuh hanyalah kesenjangan dan kerusakan. Pembangunan seperti ini menganggap kerugian sosial dan ekologis sebagai biaya wajar, seperti ongkos sampingan dari mimpi yang terlalu mahal.

Kapitalisme selalu menawarkan narasi indah tentang masa depan, tapi membiarkan masa kini hancur perlahan. Ia memindahkan kekayaan dari tangan rakyat ke tangan segelintir korporasi. Nelayan kehilangan lautnya, petani kehilangan sawahnya, dan kota-kota pesisir kehilangan napasnya. Sementara laporan keuangan menunjukkan pertumbuhan, kehidupan di lapangan menunjukkan kehancuran. Pembangunan seperti ini tidak lebih dari paradoks yang disulap jadi prestasi.
Ironisnya, semua ini berlangsung di bawah legitimasi hukum dan kebijakan negara.

Pemerintah menyebut proyek-proyek di Pantura sebagai bukti komitmen pembangunan, padahal kenyataannya, negara hanya menjadi perantara antara korporasi dan sumber daya alam. Inilah wajah baru kolonialisme, di mana penjajahan dilakukan bukan dengan senjata, tapi dengan investasi.

Islam menawarkan cara pandang yang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, alam bukan objek eksploitasi, tetapi amanah. Manusia bukan penguasa mutlak, melainkan khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan. Allah telah melarang manusia berbuat kerusakan setelah bumi diperbaiki, karena setiap bentuk kerusakan adalah pengkhianatan terhadap tugas kekhalifahan. Prinsip ini menempatkan pembangunan bukan sebagai proyek materi, tapi sebagai bentuk ibadah sosial yang harus menyeimbangkan maslahat dan keberlanjutan.

Sistem ekonomi Islam menolak penguasaan sumber daya oleh individu atau korporasi. Air, hutan, tambang, dan laut adalah milik umum yang harus dikelola negara demi kemaslahatan rakyat. Negara bukan regulator pasif, tapi pengurus aktif yang bertanggung jawab mengatur distribusi dan mencegah eksploitasi. Dalam sistem ini, pertumbuhan ekonomi tidak boleh menindas, dan pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan.

Khalifah dalam Islam bertugas memastikan setiap kebijakan berlandaskan prinsip keadilan dan amanah. Sebuah proyek industri, misalnya, harus dikaji secara menyeluruh mulai dari tata ruang, kelayakan, hingga dampak sosial dan ekologisnya. Bila terbukti merugikan rakyat, proyek itu harus dihentikan, bukan dinegosiasikan. Islam menolak ide bahwa pembangunan bisa ditebus dengan uang ganti rugi, karena dalam logika syariah, nilai alam tidak dapat digantikan oleh angka.

Bagi Islam, kesejahteraan bukan diukur dari seberapa tinggi gedung yang dibangun, tetapi seberapa banyak manusia yang hidup dalam kelayakan. Bukan dari besarnya investasi yang masuk, tetapi dari seberapa besar keadilan yang dirasakan rakyat. Inilah perbedaan mendasar antara peradaban Islam dan kapitalisme. Yang satu menimbang pembangunan dengan nilai moral, yang lain menimbangnya dengan nilai pasar.

Pantura hari ini memberi kita pelajaran pahit bahwa pembangunan tanpa nilai hanyalah bentuk penghancuran yang lebih halus. Di balik jargon industrialisasi dan pertumbuhan, ada tragedi sosial dan ekologis yang perlahan menelan kehidupan. Jika sistem ini terus berjalan, mungkin yang tenggelam bukan hanya pesisir Jawa, tapi juga nurani bangsa.

Islam menawarkan jalan yang lebih rasional dan beradab. Jalan yang menempatkan manusia, alam, dan ekonomi dalam keseimbangan. Jalan yang menjadikan pembangunan sebagai bentuk tanggung jawab, bukan ambisi. Dunia tidak kekurangan sumber daya, yang hilang hanyalah rasa cukup dan rasa takut kepada Tuhan. Selama dua hal itu tidak kembali, maka setiap proyek besar hanya akan menjadi kuburan sunyi yang kita sebut kemajuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |