REPUBLIKA.CO.ID, PEKALONGAN -- Zaki (18 tahun), pelajar kelas XII Sekolah Luar Biasa (SLB) Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, tampak sibuk mengecapkan canting cap dari bak pewarna ke selembar kain yang terbentang di hadapannya di Rumah Batik Tower Bersama Group (TBiG), Selasa (13/5/2025) siang. Canting cap itu ia gulirkan dengan lincah membentuk motif seragam hingga menghasilkan produk batik upcycle.
Selama berbulan-bulan, kegiatan itu rutin dilakukannya setiap siang hingga petang. Zaki tidak sendiri, bersama enam rekannya yang juga berkebutuhan khusus, mereka memproduksi berbagai jenis batik upcycle bernilai ekonomis, seperti totebag, tas laptop, dan dompet.
“Bergabung dengan Rumah Batik TBiG untuk membatik sudah sejak 2023,” ujar Zaki, yang merupakan tunawicara, melalui bantuan penerjemah, kepada Republika, Selasa (13/5/2025).
Zaki bercerita kegiatan membatik di Rumah Batik TBiG merupakan ajakan dari gurunya di SLB, sebagai upaya mengembangkan keterampilan dalam membatik, seni yang begitu melekat di Pekalongan, Kota Batik.
Ia mengaku senang berkegiatan di Rumah Batik TBiG. Selain belajar membatik, ia bisa bersosialisasi dan bercengkerama dengan rekan-rekannya sesama tunawicara, bertukar cerita termasuk soal perkembangan karya batik mereka. “Senang karena bisa ngecap (batik), sekaligus main. Kegiatan mengecap batik berlangsung dari pukul 13.00 sampai 17.00 WIB, lalu bisa bermain dan berbincang (dengan bahasa isyarat) dengan teman-teman di sini,” ujarnya dengan wajah ceria.
Zaki berharap, dengan memperdalam keterampilan membatik, kelak ia bisa memproduksi dan menjual batiknya sendiri. “Mau jadi bos batik,” serunya penuh semangat.
Faisal, mentor di Rumah Batik TBiG yang mendampingi Zaki dan rekan-rekannya, menjelaskan bahwa kegiatan membatik dilakukan berdasarkan proyek (by project). Pada Selasa (13/5/2025), mereka tengah menyelesaikan pesanan 50 totebag berbahan pewarna alami, yang ditargetkan rampung dalam enam hari.
Untuk saat ini, Zaki dan kawan-kawan masih memproduksi produk upcycle kecil. Faisal mengaku komunikasi masih menjadi tantangan utama untuk memahami kapasitas masing-masing peserta.
Jenis batik yang dikerjakan juga masih berupa batik cap. Sementara batik tulis dinilai memerlukan pelatihan lebih lanjut. “Saya ingin mereka tetap di jalur batik, bisa menjadi praktisi yang berbagi ilmu dengan teman-temannya,” ujarnya.
Faisal berharap kegiatan yang merupakan bagian dari program CSR PT TBiG ini bisa terus berkelanjutan, khususnya untuk pemberdayaan kaum marjinal seperti penyandang disabilitas.
Dalam kesempatan yang sama, Pengelola Rumah Batik TBiG, Nanang Tri Purwanto, mengungkapkan pihaknya telah melatih sekitar 1.200 calon pembatik sejak 2014–2015. Selama dua tahun terakhir, mereka juga memberi pelatihan kepada kalangan difabel.
“Baru dua tahun lalu kami mulai memberikan edukasi membatik kepada penyandang disabilitas. Produk-produknya kebanyakan upcycle,” jelasnya.
Saat ini, tujuh pelajar difabel aktif membatik di Rumah Batik TBiG, dari total 14 orang yang telah dilatih dalam dua tahun terakhir. Dari keseluruhan alumni pelatihan, sekitar 300 orang telah menjadi pembatik aktif. “(Kami menggandeng difabel) karena melihat mereka perlu dibantu untuk meningkatkan keterampilan,” ujar Nanang.