Perlunya Peran Sinergi Psikologi Positif dalam Bimbingan Konseling di Sekolah

2 hours ago 3

Image Ghulam Mujadid

Sekolah | 2025-05-04 09:59:24

Peran layanan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah semakin penting dalam menghadapi tantangan psikososial peserta didik di era modern. Namun, pendekatan konvensional dalam praktik BK sering kali masih berfokus pada pemecahan masalah dibandingkan dengan pengembangan potensi positif siswa. Dalam konteks ini, sinergi antara psikologi positif dan BK menjadi sebuah kebutuhan strategis. Psikologi positif menitikberatkan pada kekuatan individu, emosi positif, dan makna hidup, yang dapat mendukung terbentuknya karakter dan kesejahteraan psikologis siswa secara berkelanjutan. Artikel ini bertujuan untuk mengulas urgensi penerapan prinsip-prinsip psikologi positif dalam layanan BK di sekolah serta manfaat yang dapat ditimbulkan bagi perkembangan holistik peserta didik. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa integrasi psikologi positif dalam BK mampu menciptakan lingkungan sekolah yang lebih suportif, meningkatkan keterlibatan siswa, serta memperkuat daya tahan mental dan motivasi belajar.

Sebelum kita kulik lebih jauh tentang fungsi dan kontribusi bagi penerapan psikologi positif dalam perannya terhadap bimbingan konseling di sekolah, terlebih dahulu kita mencerna apa itu psikologi positif ? Dan apa tujuan dari penerapan mempelajari psikologi positif ? Kita telah melihat pada bagian paragraf yang pertama pada pernyataan di atas, bahwa psikologi positif menitik beratkan pada potensi kekuatan dan keutamaan individu, emosi positif dan kebermaknaan. Mari kita mulai membahas definisi psikologi positif[1] dari para pakar. Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) menyebutkan bahwa psikologi positif adalah sebuah ilmu pengetahuan yang membahas pengalaman subjektif yang positif, sifat-sifat individu yang positif, dan institusi-institusi yang positif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah masalah-masalah yang muncul ketika hidup terasa hampa dan tidak bermakna. Dari tujuan maksud kalimat diatas kita bisa mengambil poin-poin nilai diantaranya yaitu meningkatkan kualitas hidup dan mencegah dari masalah-masalah akibat dampak dari hidup yang tidak bermakna atau hampa dari nilai makna. Selain membahas potensi pengalaman positif yang subjektif, maupun sifat-sifat individu yang positif atau berharga dan bernilai, tetapi juga psikologi positif juga membahas institusi-institusi seperti lingkungan masyarakat, tempat kerja, keluarga dan juga sekolah dari sudut pandang positif.

Tokoh lainnya yang juga menjelaskan tentang ini, yaitu psikologi positif dan dengan konstribusi yang signifikan terhadap peran psikologi positif. Christopher Peterson[2], mendefinisikan psikologi positif sebagai sebuah studi ilmiah tentang hal-hal yang membuat hidup layak untuk dijalani (Peterson,2006). Sesuai dengan definisi tersebut, maka psikologi positif sejatinya mempelajari aspek-aspek psikologis yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bahagia.

Bayangkan apabila sekolah menjadi benar-benar sebuah institusi yang bergerak dalam pemberdayaan aspek psikologis manusia atau individu ke dalam hal yang positif dan menambah taraf kesejahteraan individu atau manusia.Yang artinya memang sekolah itu sudah menjadi sebuah lingkup yang mensejahterakan apalagi ditambah dengan praktik kurikulum atau pemberdayaan penerapan psikologi positif, tentu ini akan menjadi hal yang tambah dan lebih menyenangkan ketika sekolah benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan pembentukan mental yang bahagia serta menjadikan pembelajaran di sekolah memang sungguh menyenangkan dan memberikan dampak positif yang tambah dan lebih berkemaknaan, karena dalam bimbingan konseling mempunyai visi jauh kedepan tentang mental yang sejahtera dan motivasi kebahagiaan dalam proses pembelajaran serta menjadikan sebuah pengalaman yang berharga dan memiliki arti penghargaan dalam hidup. Karena mental yang mapan akan menjadi ketahanan dalam menjalani hidup.

Psikologi bukanlah hanya sekedar ilmu yang mendiagnosis bahwa anda terkena penyakit atau kelainan mental tertentu. Tapi malah justru sebaliknya psikologi positif membantu kita dalam mengenali diri sendiri atau pribadi yang memiliki arti pemahaman diri yang baik, baik itu kelebihan-kelebihan yang kita miliki, potensi dan minat bakat yang melekat pada diri kita serta seterusnya mampu di berdayakan dan ditumbuh kembangkan agar hidup bisa berjalan optimal dan layak. Psikologi Positif juga dikenal dan dijuluki sebgai the science of happiness atau dapat diterjemahkan sebagai “ilmu kebahagiaan.” Julukan ini tidak berlebihan karena apabila kita mampu mempraktekan psikologi positif dengan baik, tepat, dan benar maka akan terasa dampak positif dalam kehidupan kita. Adapun psikologi secara umum mempunyai misi-selain daripada menyembuhkan gangguan mental- diantaranya menurut Seligman dan Csikszenmihalyi (2000);[3] yaitu membuat hidup manusia produktif dan mengidentifikasi maupun dan merawat talenta hidup.

Pada dasarnya manusia itu baik menurut pengertian filsafat romantisme, maka dari itu kita sebagai insan yang paham dan coba memahami hal itu, mari kiranya kita yakini itu sebagai landasan menciptakan ruang lingkup bahwasanya manusia itu luar biasa dengan segala potensi yang dimiliki dan alangkah indahnya kita semua menyadari bahwa potensi itu harus dirawat dan sebisa mungkin menjadi prodak yang konstruktif. Dalam pengertian pribadi yang sehat menurut pandangan filsafat eksistensialisme-humanistik[4] adalah pribadi yang telah terpenuhi hasratnya yang paling mendasar,yaitu menemukan makna dalam hidupnya, atau pribadi yang dapat merasakan bahwa semua aktivitasnya mempunyai arti, nilai, atau makna bagi hidup dan kehidupannya. Jadi bisa diambil pengertian bahwa setiap laku hidup memiliki kesadaran akan virtuous life (hidup yang berbudi luhur), dan dimana ini menjadi prinsip dari eudaimonia (Jiwa yang baik) dan ini merupakan dari penerapan the good life (hidup yang baik) atau dalam bahasa Arab dan term agama Islam yaitu hayatan thoyyibah. Allah swt. berfirman di dalam QS: an-Nahl (16): 97 yang arttinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Konsep kebahagiaan yang berorientasi pada eudaimonia[5] disebut sebagai kesejahteraan psikologis.

Setelah kita mengetahui pengertian psikologi positif secara umum mari kita bahas tentang bimbingan konseling, khususnya bagi dunia pendidikan di sekolah. Pada hakikatnya bimbngan konseling dalam pendidikan dijelaskan dalam Undang-undang;1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan 3, yang bunyinya,”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”[6] Lebih jauh juga dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1, bahwa,”Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar, dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”[7] Dalam pernyataan lain, dikemukakan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Umam Suherman AS, 2011: 1)[8]

Setelah kita membahas tentang apa itu arti hakikat bimbingan dan konseling dalam pendidikan, mari kita menilik beberapa landasan tentang bimbingan dan konseling. Daintaranya;

1. Landasan Teologis

Landasan teologis[9] merupakan landasan berpijak yang benar dalam proses pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling tentang tata cara menggunakan akal pikirannya disertai hati nuraninya dan perasaan serta berkeyakinan untuk beramal sesuai dengan sumber hukum dari Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an telah mengatur teori atau metode dalam bimbingan dan konseling menuju insan kamil, sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nahl Ayat 125;

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ayat diatas menjelaskan tentang teori atau metode dalam membimbing, mengarahkan, dan mendidik untuk menuju kepada perbaikan, perubahan, dan pengembangan yang lebih positif dan membahagiakan. Teori-teori itu dijelaskan oleh Hamdani (2002: 191-205)[10] adalah:

1) Teori Al Hikmah, yang mengandung makna ucapan yang sesuai dengan kebenaran, falsafat, perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan dan lapang dada;

2) Teori Al Mau’izhoh Al Hasanah, yaitu teori bimbingan dan konseling dengan cara mengambil pelajaran-pelajaran dari perjalanan kehidupan para Nabi,Rasul dan Para Auliya Allah;

3) Teori Al Mujadalah bil Ahsan, yaitu teori yang memberikan bimbingan dengan menggunakan bantahan dan sanggahan yang mendidik dan menentramkan.

Prinsip dan ajaran dari teori-teori tersebut di atas yang dapat dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah/madrasah dikemukakan oleh Hamdani (2002:205)[11] adalah:

1) Harus adanya kesabaran yang tinggi dari konselor

2) Konselor harus menguasai akar permasalahan dan terapinya dengan baik

3) Saling menghormati dan menghargai

4) Bukan bertujuaan menjatuhkan atau mengalahkan klien, tetapi membimbing klien dalam mencari kebenaran

5) Rasa persaudaraan dan penuh kasih sayang

6) Tutur kata dan bahasa yang mudah dipahami dan halus

7) Tidak menyinggung perasaan klien

8) Keteladanan yang sejati.

2. Landasan Filosofis

Landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah dasar pemikiran yang bersifat mendalam, menyeluruh, dan mendasar mengenai hakikat manusia, tujuan hidup, dan nilai-nilai yang dijadikan pijakan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Landasan filosofis berkenaan dengan pandangan terhadap makna dan hakikat manusia. Pemaknaan terhadap hakikat manusia ini biasanya dikembangkan sesuai dengan pendekatan suatu teori, seperti;[12]

1) Psikoanalisis, memandang bahwa prilaku manusia bersifat deterministik (ada penentunya atau penyebabnya) dan terkait dengan kehidupan individu di masa lalu.

2) Rasional-Emotif, memandang bahwa manusia memiliki potensi untuk berpikir rasional, tetapi memiliki kecenderungan untuk berpikir kea rah irrasional atau berpikir kea rah negatif.

3) Client-Centered, memandang bahwa manusia itu rasional, dapat dipercaya, bergerak dalam arah aktualisasi diri atau ke arah pertumbuhan kesehatan, ketidak bergantungan dan otonomi.

4) Eksistensialis, memandang bahwa manusia dibebani kehidupan dan harus menentukan hidup sendiri, berjuang untuk bebas dan bertanggung jawab.

5) Gestlat, memandang bahwa manusia tidak bebas dari lingkungannya tapi bertindak secara keseluruhan. Manusia bukan penjumlahan dari bagian-bagian, tetapi koordinasi bagian-bagian itu sendiri.

6) Behavioristik, memandang bahwa manusia memiliki kecenderungan berprilaku untuk diatur oleh lingkungan. Aritnya, lingkungan memiliki kekuatan untuk memodifikasi suatu perilaku individu yang di inginkan.

3. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis bimbingan dan konseling adalah dasar yang berkaitan dengan pemahaman terhadap hubungan individu dengan masyarakat serta pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan pribadi seseorang. Landasan ini menekankan bahwa manusia tidak hidup dalam isolasi, melainkan selalu berada dalam konteks sosial.

4. Landasan Psikologis

Landasan psikologis bimbingan dan konseling adalah dasar yang berasal dari ilmu psikologi yang digunakan untuk memahami perilaku, kepribadian, perkembangan, dan kebutuhan individu. Landasan ini sangat penting karena bimbingan dan konseling secara langsung berurusan dengan aspek mental, emosional, dan perilaku manusia.

5. Landasan Sosio-Kultural

Landasan sosio-kultural bimbingan dan konseling adalah dasar yang menekankan pentingnya memahami latar belakang sosial dan budaya individu dalam proses pemberian layanan bimbingan dan konseling. Landasan ini memperhatikan bahwa perilaku, nilai, cara berpikir, dan perasaan seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sosial tempat ia hidup

Seperti apa yang termaktub dalam landasan-landasan tersebut pada dasarnya manusia mempunyai tujuan dan tugas kehidupan didalamnya. Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia, sejahtera, nyaman dan menyenangkan. Model kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Salah satu model tersebut dijelaskan oleh Witney dan Sweeney yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti (2013:145)[13] yang mengemukakan bahwa: “Perkembangan dan perwujudan hidup bahagia-sejahtera dipengaruhi oleh kekuatan yang ada pada diri individu dan kekuatan luar yang ada berupa berbagai pranata sosial dengan berbagai kondisi sosio-budaya.”

Melihat bahwa persamaan dan tujuan serta tugas dari peranan penting akan sebuah fungsi dan kontribusi psikologi positif ialah sebagai the science happiness (ilmu kebahagiaan) dalam reduksi sinergi peranannya dalam bimbingan konseling dalam dunia pendidikan disekolah ialah sebagai pembentukan “well being” kesejahteraan dan menjadikan unsur kebahagiaan dalam menjalani pendidikan atau proses pembelajaran, maka dari itu kita melihat bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan menjadi pokok dalam sebuah pengharapan didalam hidup kita. Maka dari itu layanan bimbingan dan konseling harus memperhatikan keterpenuhan pada peserta didik agar menjadi individu yang aktif yang dapat mengaktualisasikan diri. Maka dari itu didalam penerapan konsep psikologi positif harus dibarengi dengan cultivation virtues (penanaman kebaikan). Dalam konteks psikologi positif, cultivation of virtues atau pengembangan kebajikan merujuk pada usaha untuk menumbuhkan karakter positif yang mendukung kesejahteraan psikologis individu. Ketika diterapkan dalam bimbingan dan konseling di sekolah, pendekatan ini sangat relevan karena membantu siswa tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga mengembangkan potensi dan karakter yang kuat untuk menghadapi kehidupan.

Melihat pentingnya konseling dalam kebutuhan dalam pengembangan individu atau peserta didik, kita dapat menelisik fungsi kebutuhun adanya konselor menurut Corey (2009)[14] yang menyatakan bahwa fungsi utama dari seorang konselor ialah membantu klien menyadari kekuatan-kekuatan mereka sendiri, menemukan hal-hal apa yang merintangi mereka menemukan kekuatan tersebut, dan memperjelas pribadi seperti apa yang mereka harapkan.

Psikologi positif, sebagai cabang ilmu psikologi modern, menekankan studi tentang kebahagiaan, kekuatan karakter, dan kesejahteraan psikologis. Dalam konteks ini, psikologi positif disebut juga sebagai the science of happiness (ilmu tentang kebahagiaan), yang fokus utamanya adalah membentuk well-being atau kesejahteraan hidup individu, termasuk dalam lingkungan pendidikan.

Bimbingan dan konseling di sekolah tidak lagi hanya dipahami sebagai layanan untuk mengatasi masalah siswa, tetapi juga sebagai sarana pengembangan diri secara menyeluruh. Salah satu kontribusi penting dari psikologi positif dalam dunia pendidikan adalah melalui pendekatan cultivation of virtues, yaitu penanaman dan pengembangan kebajikan dalam diri peserta didik.

Sebagaimana dinyatakan oleh Corey (2009), fungsi utama dari seorang konselor adalah membantu klien menyadari kekuatan-kekuatan mereka sendiri, menemukan hambatan yang menghalangi, serta memperjelas gambaran pribadi ideal yang ingin mereka capai.

Menurut Seligman dan Peterson (2004), kebajikan ini mencakup enam kluster utama yang terdiri dari 24 kekuatan karakter (character strengths), Strengths adalah berbagai rute menuju virtues atau berbgai ejawantah (ekspresi) yang unik dari virtues (Peterson, C., & Seligman,M, E., 2004).[15] Sebuah virtues yang sama dapat dicapai dengan rute yang berbeda-beda, atau dengan kata lain, dapat memiliki ekspresi atau pengejewantahan yang berbeda-beda. seperti keberanian, rasa syukur, empati, ketekunan, dan pengendalian diri. Penanaman kebajikan ini bukan hanya mendukung academic success, tetapi juga membentuk pribadi siswa yang resilien, penuh harapan, dan bermakna dalam hidup.

Pertanyaan yang sangat penting — bagaimana konseling dengan pendekatan psikologi positif berjalan, terutama dalam konteks pendidikan dan sekolah, melibatkan pendekatan yang berbeda dari model konseling tradisional yang fokus pada masalah dan gangguan. Konseling berbasis psikologi positif justru berfokus pada kekuatan, potensi, dan kebahagiaan klien (dalam hal ini peserta didik). Mengembangkan individu secara optimal sehingga peserta didik menjadi kreatif, produktif, mandiri, dan bersifat religious. Potensi dasar atau kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak-anak didik membutuhkan sentuhan yang tulus dari pendidik untuk mengasahnya seperti halnya virtues (kebaikan dan keutamaan) mempunyai rute dan alur jewantah ekspresi yang berbeda-beda dan unik, maka dari itu ini bukan hanya sekedar memberikan pengertahuan sesuai kurikulum, namun lebih tepatnya menemukan pribadi yang ideal pada masing-masing siswa, murid, dan peserta didik.

Dalam dunia pendidikan, layanan bimbingan dan konseling memiliki peran penting tidak hanya dalam membantu siswa menyelesaikan masalah, tetapi juga dalam mengembangkan potensi diri yang unik pada setiap individu. Dalam hal ini, pendekatan psikologi positif menawarkan paradigma baru yang lebih membangun: berfokus pada kekuatan, potensi, kebahagiaan, dan pengembangan karakter positif (virtues).

Setiap peserta didik memiliki potensi dasar yang unik—baik secara kognitif, emosional, sosial, maupun spiritual. Tugas konselor dan pendidik bukan sekadar menyampaikan materi sesuai kurikulum, tetapi mengasah potensi tersebut melalui pendekatan yang personal dan bermakna.

Setiap kebajikan atau virtue seperti keberanian, empati, rasa syukur, atau spiritualitas memiliki rute ekspresi yang berbeda pada tiap individu. Inilah pentingnya konseling yang tidak seragam (one-size-fits-all), melainkan menghargai keunikan dan perjalanan masing-masing siswa.

Untuk itu mari kita simak beberapa aspek yang membantu kesejahteraan psikologis, Menurut Carol Ryff, kesejahteraan psikologis (psychological well-being) bukan sekadar ketiadaan gangguan atau stres, tetapi merupakan kondisi optimal dalam fungsi psikologis individu. Ia mengembangkan model kesejahteraan psikologis yang dikenal sebagai Ryff’s Six Dimensions of Psychological Well-Being. Adapun dapat didefinisikan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan terdiri dari enam komponen, yakni:[16]

A. Penerimaan diri (Self-Accpectance)

B. Penguasaan Lingkungan (Enviromental mastery)

C. Hubungan Positif (Positive relationship)

D. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

E. Tujuan dalam hidup (Purpose in life)

F. Otonomi

Model kesejahteraan psikologis Ryff sangat selaras dengan pendekatan psikologi positif dalam bimbingan dan konseling. Ketika layanan konseling difokuskan pada pengembangan keenam aspek tersebut, maka siswa akan tumbuh menjadi individu yang utuh, sehat secara mental, produktif secara akademis, dan matang secara emosional dan sosial. Konselor dan guru perlu bekerja sama untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan (virtues) dan memberdayakan kekuatan yang dimiliki setiap siswa dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Adapun tambahan untuk penutup Seligman menulis buku terbaru lagi yang berjudul flourish. Buku ini merupakan dari pengembangan kebahagiaan autentik. Seligman menulis kebahagiaan dalam bentuk PERMA yang kita kenal.Yaitu, 1) Positive Emotion (Emosi positif), 2) Engagement (rasa keterkaitan dalam berbagai hal yang kita lakukan), 3) Relationship (Hubungan antar individu), 4) Meaning (Menemukan kebermaknaan dalam hidup), 5) Accomplishment (pencapaian prestasi).[17] Dan ini merupakan komponen dalam bagian pembelajaran psikologi positif dalam membangun kesajahteraan dan kebahagiaan.

Oleh karena itu, untuk mendukung pengembangan potensi dan kesejahteraan psikologis peserta didik secara utuh, layanan bimbingan dan konseling perlu menerapkan prinsip-prinsip psikologi positif secara praktis dan sistematis. Salah satu model yang relevan adalah teori PERMA dari Martin Seligman (2011), yang mencakup lima elemen dasar pembentuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, yaitu: Positive Emotion (emosi positif), Engagement (keterlibatan), Relationships (hubungan positif), Meaning (makna hidup), dan Accomplishment (pencapaian).

Dalam konteks layanan BK di sekolah, kelima elemen ini dapat diintegrasikan ke dalam program pengembangan diri dan konseling. Misalnya, siswa diajak mengenali dan menumbuhkan emosi positif melalui kegiatan refleksi dan jurnal rasa syukur (Positive Emotion); diarahkan untuk terlibat aktif dalam kegiatan yang sesuai minat dan bakat (Engagement); dibina untuk membangun hubungan yang sehat dengan teman sebaya dan guru (Relationships); diajak merenungi tujuan dan makna dalam belajar dan hidup (Meaning); serta dibantu untuk menetapkan target dan merayakan pencapaian mereka, sekecil apa pun (Accomplishment).

[1]Garvin Goei, Psikologi Positif; Memupuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri, PT Kompas Media Nusantara, (Jakarta:2021), Hal 3

[2] Garvin Goei, Psikologi Positif; Memupuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri, PT Kompas Media Nusantara, (Jakarta:2021), Hal 3

[3] Garvin Goei, Psikologi Positif; Memupuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri, PT Kompas Media Nusantara, (Jakarta:2021), Hal 2

[4]Dr.Hidayat Ma’aruf, M.Pd., Landasan Bimbingan dan Konseling; Perspektif Islam dan Filsafat Eksistensialisme-Humanistik Sebuah Komparasi, (Yogyakarta: Juli 2016), Cetakan 2, Hal 79

[5] Garvin Goei, Psikologi Positif; Memupuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri, PT Kompas Media Nusantara, (Jakarta:2021), Hal 15

[6] Drs. Abror Sodik, M.Si., Manajemen Bimbingan dan Konseling, Aswaja Pressindo, (Yogyakarta: Agustus 2017), Cetakan 1, Hal 1

[7] Drs. Abror Sodik, M.Si., Manajemen Bimbingan dan Konseling, Aswaja Pressindo, (Yogyakarta: Agustus 2017), Cetakan 1, Hal 1

[8] Dalam Drs. Abror Sodik, M.Si., Manajemen Bimbingan dan Konseling, Aswaja Pressindo, (Yogyakarta: Agustus 2017), Cetakan 1, Hal 1-2

[9] Dr. Shilphy A. Octavia,M.Pd., Implementasi Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah, Deepublish, (Yogyakarta:Agustus 2019), Cetakan 1, Hal 5-6

[10] Dalam Dr. Shilphy A. Octavia,M.Pd., Implementasi Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah, Deepublish, (Yogyakarta:Agustus 2019), Cetakan 1, Hal 6

[11] Dalam Dr. Shilphy A. Octavia,M.Pd., Implementasi Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah, Deepublish, (Yogyakarta:Agustus 2019), Cetakan 1, Hal 6-7

[12] Drs. Abror Sodik, M.Si., Manajemen Bimbingan dan Konseling, Aswaja Pressindo, (Yogyakarta: Agustus 2017), Cetakan 1, Hal 3

[13] Dalam Dr. Shilphy A. Octavia,M.Pd., Implementasi Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah, Deepublish, (Yogyakarta:Agustus 2019), Cetakan 1, Hal 14-15

[14] Rahmia Dewi, S.Psi., M.Psi.,Psikologi Konseling, (Depok Rajawali Pers,:2023), Cetakan Pertama, Hal 36

[15] Iman Setiadi Arif,Psikologi Positif; Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan, Kompas Gramedia, (Jakarta: 2016), Hal 23

[16] Garvin Goei, Psikologi Positif; Memupuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri, PT Kompas Media Nusantara, (Jakarta:2021) , Hal 19

[17] Garvin Goei, Psikologi Positif; Memupuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri, PT Kompas Media Nusantara, (Jakarta:2021) , Hal 22

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |