Siapakah Pemimpin Itu?

5 hours ago 3

Oleh : Iskandarsyah Siregar, Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam dinamika peradaban manusia, seringkali kita dapati bagaimana kata pemimpin dan pimpinan digunakan secara bergantian seolah-olah keduanya memiliki makna yang sama. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, dua istilah ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pemimpin adalah sosok yang hadir melalui sikap, teladan, dan integritas yang melekat dalam dirinya. Berbeda signifikan dengan pimpinan yang lebih bersifat administratif; ia adalah jabatan formal yang melekat karena keputusan atau prosedur tertentu.

Perbedaan ini sangat penting untuk terus kita pahami di tengah derasnya arus pragmatisme politik dan kekuasaan yang seringkali menempatkan seseorang dalam jabatan dan status normatif pimpinan, tetapi gagal menghadirkan jiwa kepemimpinan yang sesungguhnya. Seorang pimpinan sering kali terjebak dalam logika kekuasaan, dimana jabatan digunakan sebagai alat untuk memperbesar pengaruh dan memperkaya diri. Pemimpin sejati justru mewujud dalam morfologi, fisiologi, dan semantis yang sebaliknya—ia memanfaatkan segala potensi dan kewenangannya semata-mata demi kebaikan, kemanfaatan, dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi mereka yang dipimpinnya.

Keteladanan Sang Manusia Termulia, Rasulullaah Muhammad adalah contoh sempurna dan paripurna dari karakter pemimpin yang sesungguhnya. Nabi tidak pernah mengambil dari umatnya untuk keuntungan pribadi. Segala yang dilakukan dan diputuskan adalah demi kemaslahatan bersama. Bahkan dalam posisi tertinggi sebagai Rasul dan kepala negara, beliau tetap hidup sederhana, dekat dengan rakyat, dan tidak pernah memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk mendzalimi pihak-pihak yang dibencinya. Inilah esensi kepemimpinan yang melampaui gimick status administratif: keberpihakan total kepada nilai-nilai dan mereka yang dipimpin.

Dalam konteks Indonesia, kita memiliki pedoman luhur berupa Pancasila yang tidak hanya menjadi dasar negara, tetapi juga acuan bagaimana cermin karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa seorang pemimpin yang ideal adalah yang menjunjung nilai-nilai ilahiah seperti keadilan, kasih sayang, hadir secara nyata, kesediaan untuk mendengar dan melihat langsung realitas rakyat, serta sifat memberi tanpa pamrih. Pemimpin seperti ini memiliki kesadaran penuh akan konsep jabatan adalah amanah, bukan alat yang bisa digunakan dengan sesuka hati.

Sila kedua hingga kelima mempertegas bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu berbuat dan berlaku adil dan beradab—memenuhi semua janjinya, senantiasa mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat—bukan mengambil keputusan sepihak yang mengabaikan suara para ahli dan kepentingan rakyat. Pemimpin sejatinya juga akan menjadi perekat soliditas, bukan justru menjadi sumber perpecahan—yang seringkali diakibatkan oleh kebijakan-kebijakannya yang sesat dan menyesatkan. Keberpihakan kepada rakyat tidak boleh bersifat diskriminatif; pemimpin yang baik adalah yang memberikan keadilan sosial bagi semua pihak, bukan hanya yang berada dipihaknya atau disukainya semata.

Ironisnya, dalam praktik di segmen dan level manapun dalam kehidupan saat ini kita kerap menemukan fenomena sebaliknya. Banyak yang memangku jabatan sebagai pimpinan tetapi teramat jauh dari karakter kepemimpinan. Ketika seorang pemimpin lebih sibuk memupuk kekuasaan daripada membangun kepercayaan dan kesejahteraan, saat itulah kita menyaksikan lahirnya krisis keteladanan. Padahal, sejatinya seorang pemimpin itu memikul beban yang jauh lebih berat dari yang dipimpin. Dalam perspektif spiritual Islam, seorang pemimpin memiliki ganjaran yang sangat tinggi jika amanah, tetapi sebaliknya, jika berbuat khilaf atau zalim, maka siksa yang diterima jauh lebih berat dibanding mereka yang bukan memiliki jabatan kekuasaan atau yang selama ini dipimpin. Nabi Muhammad bahkan menyebutkan bahwa pemimpin yang adil kelak memiliki surga tersendiri yang berbeda dari rakyat biasa; namun jika ia khianat, nerakanya pun lebih panas dan dalam.

Dalam konteks ketahanan nasional, kualitas kepemimpinan adalah variabel kunci dan hipotesis perjalanan suatu lembaga atau negara. Kepemimpinan yang lemah, manipulatif, dan jauh dari nilai-nilai Pancasila hanya akan melahirkan ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan politik. Sebaliknya, pemimpin yang berkarakter kuat, beretika, dan bertanggung jawab akan memperkokoh ketahanan bangsa dari berbagai ancaman internal maupun eksternal.

Pertanyaannya kini: bagaimana kita membangun dan memastikan hadirnya pemimpin-pemimpin sejati di negeri ini? Pertama-tama, pendidikan politik dan karakter harus ditanamkan sejak dini, bukan hanya bagi calon pemimpin tetapi juga bagi rakyat sebagai pemilih yang kritis. Kedua, proses rekrutmen kepemimpinan harus berorientasi pada kualitas, bukan sekadar popularitas semu atau kepentingan semata. Ketiga, sistem pengawasan yang ketat harus diterapkan agar setiap pemimpin yang diberi amanah tetap berada pada koridor integritas dan pengabdian kepada rakyat.

Terakhir dan yang terpenting, kita semua memiliki tanggung jawab untuk terus mengingatkan dan mengawal pemimpin kita agar tetap berada di jalur yang benar. Peradaban yang sehat tidak hanya bergantung pada siapa yang menjadi pimpinan, tetapi juga pada partisipasi aktif rakyat dalam menjaga arah dan kualitas kepemimpinan.

Mari kita semua belajar dari sejarah dan menatap masa depan dengan satu tekad, yaitu menciptakan ekosistem peradaban dan kepemimpinan yang bersih, adil, beradab, dan berpihak pada kemaslahatan umat. Pemimpin bukan sekadar pimpinan, dan jabatan bukanlah mahkota yang diwariskan begitu saja. Kepemimpinan adalah ladang amal yang harus ditunaikan dengan penuh keikhlasan, keberanian, dan kebijaksanan.

Begitupun kita harus memahami sebuah ilmu pasti bahwa setiap perbuatan pasti akan diadili dan dihisab. Tidak ada yang bisa lari dari pengadilan Sang Maha Mengadili. Ketakutan dan Kepedihan akut ekstrem pasti akan didapat oleh para pimpinan yang munafik dan fasik. Hanya waktu dan tempatnya yang sedang diatur dalam skenario, untuk menciptakan adegan klimaks yang tak terlupakan. Jadi, jagalah tiap-tiap amanah dengan sebaik-baiknya.

Terakhir, saya ingin berbagi prinsip ini: Memimpin kadangkala tidak harus menjabat dan pejabat seringkali bukanlah pemimpin yang sebenarnya. Kenali diri Anda. Kenali pemimpin Anda.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |