REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Penelitian dari Universitas Tsinghua di Cina mengungkapkan bahwa tingkat penggunaan plastik daur ulang untuk produksi plastik baru secara global masih berada di bawah 10 persen. Sementara itu, mayoritas plastik baru diproduksi menggunakan bahan bakar fosil.
Riset yang dipublikasikan dalam jurnal Earth & Environmental ini dirilis menjelang negosiasi kesepakatan global mengenai polusi plastik oleh berbagai negara. Sebelumnya, upaya serupa dalam perundingan belum membuahkan hasil.
Plastik telah mencemari berbagai lingkungan, mulai dari dasar laut terdalam hingga puncak gunung es tertinggi. Bahkan, partikel mikroplastik telah terdeteksi dalam aliran darah dan air susu ibu (ASI).
“Meskipun kekhawatiran global terhadap polusi plastik meningkat, masih sangat sedikit analisis komprehensif mengenai rantai pasokan plastik di berbagai negara,” kata Peneliti Quanyin Tan dan timnya, dikutip dari Hong Kong Free Press, Senin (14/4/2025).
Untuk mengatasi kekurangan data tersebut, para peneliti di Universitas Tsinghua mengumpulkan data dari berbagai negara, lembaga internasional, dan laporan industri guna menyusun analisis mendalam mengenai sektor plastik global, mulai dari produksi hingga pembuangan pada tahun 2022.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 9,5 persen dari 400 juta ton plastik baru yang diproduksi pada tahun 2022 berasal dari daur ulang. "Tingkat daur ulang global masih stagnan, menunjukkan minimnya kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya," tulis para peneliti.
Sebagian besar plastik baru diproduksi dari bahan bakar fosil, terutama gas dan minyak. Hal ini mengindikasikan lambatnya kemajuan dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat produksi plastik.
"Ketergantungan yang tinggi pada bahan baku bahan bakar fosil untuk produksi plastik akan semakin mengancam upaya global dalam mengurangi perubahan iklim," tegas para peneliti.
Kontaminasi makanan dan label pada plastik menjadi salah satu faktor yang menyulitkan proses daur ulang. Selain itu, keragaman dan kompleksitas bahan tambahan dalam plastik juga menimbulkan tantangan tersendiri.
Namun, kendala utama lainnya bersifat ekonomi. Seringkali, biaya produksi plastik baru atau "virgin plastic" lebih rendah dibandingkan dengan biaya daur ulang.
"Kendala ekonomi ini menghambat investasi dalam infrastruktur dan teknologi daur ulang, sehingga memperburuk siklus rendahnya tingkat daur ulang," jelas para peneliti.
Mereka mengidentifikasi Amerika Serikat (AS) sebagai konsumen plastik per kapita terbesar sekaligus salah satu negara dengan tingkat daur ulang terendah, yaitu hanya 5 persen plastik baru yang berasal dari daur ulang.
Para peneliti juga mencatat bahwa perubahan signifikan dalam metode pembuangan sampah di seluruh dunia turut berkontribusi pada rendahnya produksi plastik daur ulang. Semakin banyak negara yang menutup Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) terbuka, dan sekitar sepertiga sampah plastik global kini dibakar.
Sekitar 40 persen sampah plastik dunia berakhir di TPA. Namun, pembakaran muncul sebagai metode yang paling praktis dalam mengelola sampah plastik. Uni Eropa, Cina, dan Jepang tercatat sebagai negara-negara dengan tingkat pembakaran sampah plastik tertinggi.
Meski demikian, penelitian ini tidak memperhitungkan peran signifikan TPA informal yang dapat memengaruhi keseluruhan tingkat daur ulang global.
Dalam penelitian terpisah yang dipublikasikan di jurnal Nature pada September lalu, para peneliti dari Universitas Leeds menemukan bahwa pembakaran plastik di TPA terbuka sama bermasalahnya dengan pembuangan sampah di TPA terbuka.
Sebagian besar negara miskin tidak memiliki alternatif selain melakukan pembakaran terbuka. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pembakaran sampah plastik secara terbuka akan menyebarkan partikel plastik, memperburuk kualitas udara, dan melepaskan racun kimia.