Rojali Jadi Tanda Konsumsi Kelas Menengah Tertekan

1 day ago 10

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Pusat Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufiqurrahman, menyatakan fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana) menunjukkan gejala pelemahan daya beli di kalangan masyarakat. Meskipun inflasi umum relatif terkendali, Rizal menilai inflasi pada komponen harga pangan dan biaya hidup esensial masih cukup tinggi, khususnya di kantong-kantong konsumsi kelas menengah.

“Fenomena ‘Rojali’ adalah sinyal bahwa struktur konsumsi masyarakat mengalami penurunan,” ujar Rizal, pria kelahiran Garut, Jawa Barat, saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (28/7/2025).

Ia menuturkan, baik pemerintah maupun pelaku usaha tidak bisa hanya menunggu daya beli pulih dengan sendirinya. Perubahan selera, kemajuan teknologi, dan tekanan ekonomi harus ditanggapi secara strategis agar dampak negatifnya bisa ditekan.

“Dengan tekanan terhadap pengeluaran rumah tangga yang meningkat karena cicilan, biaya pendidikan, kesehatan, hingga transportasi. Kemampuan untuk membelanjakan uang di sektor tersier seperti ritel di mal menjadi terbatas,” ucap Rizal.

Akibatnya, lanjut dia, mal lebih banyak berfungsi sebagai ruang rekreatif ketimbang konsumtif. Selain daya beli, Rizal menyebut disrupsi digital turut mempercepat pergeseran pola konsumsi tersebut.

Menurutnya, konsumen kini membandingkan harga secara real-time, dan kerap menemukan produk serupa dengan harga lebih murah melalui e-commerce. “Belanja di mal kini hanya sekadar window shopping, ajang eksplorasi visual atau sosial, bukan lagi ruang transaksi utama,” kata lulusan IPB University ini.

Ia menambahkan, tren seperti flash sale, buy now pay later, hingga personalisasi algoritmik dari platform belanja daring turut membuat konsumen merasa lebih berdaya untuk menunda pembelian hingga harga ideal ditemukan.

Untuk menghidupkan kembali daya tarik mal, Rizal menyarankan adanya kolaborasi dua pihak: pemerintah dan pelaku usaha pusat perbelanjaan. Menurutnya, pemerintah bisa mendorong daya beli melalui stimulus fiskal seperti subsidi transportasi publik, penyesuaian UMR berbasis biaya hidup riil, hingga insentif konsumsi domestik.

Ia juga menilai perlunya level playing field yang adil melalui pengenaan pajak untuk beberapa sektor e-commerce, agar pelaku ritel offline dapat bersaing.

Dari sisi pengelola mal, Rizal menekankan pentingnya reposisi dari sekadar ruang belanja menjadi ruang experience economy. Ia menyarankan agar pusat perbelanjaan mengembangkan konsep retailtainment, promosi berbasis komunitas, serta loyalty program hybrid yang menggabungkan interaksi luring dan daring.

“Perlu juga kolaborasi dengan UMKM dan merek lokal agar tercipta keterikatan emosional sekaligus nilai tambah unik dibanding belanja daring,” ujar Rizal.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |