Standar Halal Ketat Negara Mayoritas Muslim Sulit Diterapkan di Negara Minoritas, Mengapa Begitu?

1 week ago 24

Image Khairunnisa Al-Araf

Bisnis | 2025-04-08 11:55:23

ILUSTRASI - Produk dengan logo Halal

Jakarta – Dalam beberapa tahun terakhir, standar halal yang diberlakukan oleh negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, hingga negara-negara Teluk telah menjadi acuan global.

Standar ini dikenal sangat ketat karena mencakup proses menyeluruh dari hulu ke hilir. Mulai dari bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga layanan logistik, semua harus bersih dari kontaminasi non-halal untuk memperoleh sertifikat.

Namun, semakin ketat sebuah standar, semakin tinggi pula tantangannya untuk diterapkan di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas. Jepang, misalnya, hanya memiliki sekitar 0,2% penduduk Muslim berdasarkan data 2020. Kebanyakan dari mereka merupakan migran dari Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah, yang membawa standar halal ketat dari negara asalnya.

Ketika standar tersebut bertemu dengan realitas lokal di Jepang, timbul ketegangan. Kasus menarik terjadi pada 2019, ketika Masjid Fukuoka menerbitkan sertifikat halal untuk restoran yang menyajikan menu khas Jepang seperti yakiniku dan motsunabe.

Sertifikasi ini dikeluarkan berdasarkan fatwa ulama lokal dan pengawasan langsung dari imam masjid. Namun, sertifikat tersebut justru diragukan validitasnya oleh konsultan halal dari luar negeri.

Dilansir dari Islami.co, Satomi Ohgata, peneliti dari Kyushu International University, menjelaskan bahwa beberapa lembaga halal di Jepang memang sudah bekerja sama dengan JAKIM (Malaysia) dan BPJPH (Indonesia) untuk produk ekspor. Tapi untuk pasar domestik, mereka menerapkan standar yang lebih fleksibel. Selama tidak ada kontaminasi silang, penggunaan alkohol atau bahan non-halal di restoran yang sama dianggap masih dapat ditoleransi.

Sayangnya, fleksibilitas ini kerap dianggap sebagai bentuk pelonggaran yang mencederai prinsip halal. Para konsultan luar negeri menyebutnya sebagai "unreliable certification", padahal itu hanya perbedaan pendekatan akibat kondisi sosial dan budaya yang berbeda.

Selain itu, ada masalah ekonomi yang tak bisa diabaikan. Proses sertifikasi halal di Jepang sangat mahal, bisa mencapai 500 ribu Yen untuk jasa konsultan dan 300–500 ribu Yen untuk proses sertifikasinya sendiri. Di Jepang, karena prinsip pemisahan agama dan negara, pemerintah tidak memberi subsidi untuk urusan keagamaan. Alhasil, biaya produksi melonjak dan berdampak pada harga produk.

Dalam jangka panjang, tekanan untuk mengikuti standar halal global bisa menyebabkan fragmentasi sosial. Kurangnya ruang bersama, seperti makan bareng, dapat memperparah kesenjangan antar komunitas. Satomi bahkan mengkhawatirkan potensi terjadinya ketegangan sosial sebagaimana yang dialami beberapa negara di Eropa.

Untuk menjawab dilema ini, Ayang Utriza dalam bukunya Rethinking Halal mengusulkan konsep pluriversalitas halal. Ia mengajak masyarakat Muslim dunia untuk mengakui keberagaman praktik halal yang berlandaskan pada konteks lokal dan perbedaan mazhab. Menurut Ayang, memaksakan satu standar tunggal di seluruh dunia justru mengikis kekayaan pemahaman fikih Islam yang sejatinya bersifat majemuk.

Dengan pendekatan pluriversalitas, halal tidak lagi menjadi tembok pemisah, tetapi jembatan untuk membangun kebersamaan. Di negara seperti Jepang, penerapan sertifikasi halal yang kontekstual bukan hanya lebih relevan, tetapi juga lebih adil. Pengakuan terhadap standar lokal bukan berarti menurunkan kualitas, tapi menunjukkan kedewasaan dalam memahami keanekaragaman umat Muslim global.

Jika kehalalan produk adalah soal menjaga prinsip dan kepercayaan, maka penting pula untuk menjaga rasa saling menghormati. Dalam dunia yang semakin terhubung, standar yang inklusif dan kontekstual akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan pemaksaan satu kebenaran tunggal. (AL)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |