REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan pelanggaran berat terhadap hak-hak pekerja, termasuk kerja paksa dan perdagangan orang di sektor perikanan tangkap laut di Indonesia. Dilakukan selama satu tahun dari November 2023 hingga September 2024, survei ini menjangkau 3,396 awak kapal perikanan di 18 pelabuhan.
Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste Simrin Singh mengatakan data yang dapat diandalkan merupakan kunci dalam mengatasi kerja paksa di sektor perikanan. Survei juga dapat digunakan untuk merancang kebijakan dan intervensi yang efisien untuk memastikan kondisi kerja yang layak bagi awak kapal perikanan.
Terdapat empat jenis pelabuhan yang disurvei, yaitu Pelabuhan Perikanan Laut (PPS), Pelabuhan Pelayaran Nusantara (PPN), Pelabuhan Perairan Pesisir (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Survei ini pun diperkaya dengan penelitian kualitatif termasuk diskusi kelompok terpumpun, wawancara dengan para informan utama dan lokakarya konsultatif dengan berbagai pemangku kepentingan.
Survei ini fokus pada isu-isu ketenagakerjaan bagi awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal penangkapan ikan Indonesia.
“Sebagai negara maritim, sektor perikanan merupakan salah satu sektor penting bagi Indonesia. Pelaksanaan survei ini merupakan bentuk dukungan ILO dalam menciptakan kondisi kerja yang aman dan layak sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja yang tidak hanya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan awak kapal perikanan tapi juga memberikan perlindungan dari kerja paksa dan perdagangan orang di laut," kata Singh dalam pernyataannya, dikutip pada Rabu (12/3/2025).
Survei ILO dan BRIN menemukan proses rekrutmen awak kapal perikanan tidak sesuai dengan hukum nasional dan standar ketenagakerjaan internasional, khususnya Konvensi ILO 2007 (No. 188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Ketidakpatuhan ini meningkatkan risiko jeratan utang, sehingga awak kapal perikanan rentan terhadap kerja paksa dan perdagangan orang.
Lebih dari 90 persen awak kapal perikanan tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Rendahnya tingkat literasi dan pemahaman tentang isu-isu terkait kontrak membuat sebagian besar awak kapal perikanan tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka, sehingga mereka lebih rentan terhadap eksploitasi.
Awak kapal perikanan, dalam besaran yang tidak bisa diabaikan, bekerja dengan jam kerja yang berlebihan. Pola kerja-istirahat yang tidak teratur dalam penangkapan ikan membuat pembedaan antara jam kerja dan istirahat menjadi sulit, sehingga menimbulkan tantangan dalam menegakkan peraturan ketenagakerjaan yang terstandardisasi.
Awak kapal perikanan diberi kompensasi melalui sistem remunerasi yang memungkinkan pemberi kerja untuk berbagi risiko bisnis dengan pekerja mereka seraya memberi insentif pada produktivitas. Bagi hasil tangkapan digunakan untuk membayar dua pertiga upah awak kapal perikanan, dan hampir semua bagi awak kapal perikanan yang bekerja di kapal kecil.
Hanya 4,5 persen awak kapal perikanan di 18 pelabuhan yang disurvei diberi kompensasi dengan upah reguler atau kombinasi antara upah reguler dan metode pembayaran alternatif.
Sekitar 71 persen awak kapal perikanan tidak terdaftar dalam jaminan sosial terkait ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) dan lebih dari separuh tidak memiliki akses ke jaminan sosial kesehatan (BPJS Kesehatan). Awak kapal perikanan juga menghadapi berbagai bahaya pekerjaan.
Dalam survei ini, sebagian besar awak kapal perikanan melaporkan kondisi bahaya yang berkaitan dengan cuaca, APD dan risiko terkait keselamatan, risiko yang berkaitan dengan kondisi teknis kapal dan kurangnya tindakan keselamatan terkait toilet. Faktor risiko lainnya termasuk kelelahan yang ekstrem dan konflik antarpribadi di antara awak kapal perikanan di atas kapal.
Survei ini menunjukkan tingkat keanggotaan serikat pekerja yang sangat rendah di kalangan awak kapal perikanan, yaitu rata-rata 10 persen. Saat ini, Indonesia tidak memiliki perjanjian kerja bersama (PKB) untuk menetapkan dan mengatur persyaratan kerja bagi awak kapal perikanan atau kelompok awak kapal perikanan tertentu.
Pekerja anak masih menjadi masalah yang signifikan di sektor ini. Survei ini menemukan sekitar 0,7 persen awak kapal perikanan yang diwawancarai - setara dengan lebih dari 600 anak - terlibat dalam pekerja anak di 18 pelabuhan yang tercakup dalam survei.
Selain itu, temuan ini menunjukkan bahwa hampir 47 persen dari semua pekerja mulai bekerja di sektor perikanan laut sebelum usia 18 tahun, yang mengindikasikan prevalensi pekerja anak yang mungkin lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui wawancara langsung.
Sekitar 1.000 awak kapal perikanan ditemukan berada dalam kondisi kerja paksa di 18 pelabuhan yang tercakup dalam survei ini, atau setara dengan 1,5 persen dari total awak kapal perikanan.
Awak kapal perikanan yang berada dalam kerja paksa ditahan paspor dan buku pelautnya. Mereka juga menghadapi risiko kehilangan pekerjaan, pemotongan gaji atau kekerasan fisik karena menyuarakan keluhan dan tidak dapat pergi karena memiliki utang kepada pemilik kapal, kapten kapal atau agen.
Bentuk-bentuk pemaksaan ini digunakan untuk memaksa awak kapal perikanan bekerja dalam kondisi yang tidak mereka setujui, termasuk lingkungan berbahaya yang membuat mereka takut akan keselamatan dan kesehatan mereka. Mereka juga mengalami jam kerja yang kejam dan kondisi kerja yang buruk.
Awak kapal perikanan terkadang direkrut dengan janji-janji palsu. Mereka melaporkan pemilik kapal atau kapten kapal mengambil keuntungan dari mereka.