Tantangan Rumah Sakit di Indonesia dalam Menjawab Krisis Iklim

22 hours ago 9

Oleh dr ZAKIAH, MKM; Mahasiswa Doktoral FKMUI

REPUBLIKA.CO.ID,Akhir November 2025 kemarin, di belahan pulau Sumatera, mulai dari Sumatera Barat, Sumatera Utara hingga Aceh diterjang banjir bandang  dan tanah longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, hingga Kamis 4 Desember 2025 pukul 16.00 tercatat 836 orang meninggal dunia akibat bencana tersebut sementara 518 orang dinyatakan hilang dan korban luka mencapai 2.700 orang.

Data lain yang disampaikan oleh BNPB, 536 fasilitas umum rusak, 25 fasilitas kesehatan rusak, 326 fasilitas pendidikan rusak. Kemudian 185 rumah ibadah rusak dan 295 jembatan rusak.

Kejadian tersebut menggambarkan betapa pentingnya kesiapan fasilitas kesehatan menghadapai kondisi bencana yang tak terduga. Terlebih apa yang terjadi seolah menyampaikan bahwa krisis iklim tidak lagi mengetuk pintu, Ia menerjang begitu saja melalui banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar.

Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru ikut digempur oleh air dan lumpur. Seketika ruang pelayanan berubah menjadi area evakuasi darurat, karena kondisi yang tak terduga dan tidak bisa dikendalikan.

“Kami menyelamatkan pasien sambil menjaga rumah sakit agar tidak ikut tenggelam,” ujar seorang tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan korban banjir. 

Menurut dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Annisa Trisnia Sasmi, S.Si., M.T., banjir dan tanah longsor di Sumatera merupakan contoh nyata bagaimana ancaman (hazard), kerentanan, dan kapasitas penanggulangan saling bertemu. “Bencana banjir skala sebesar ini hampir tidak pernah berdiri sendiri. Penyebabnya karena faktor alam juga campur tangan manusia,” sebutnya pada 5 Desember 2025.

Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, bahwa bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Fenomena ini, disebutnya, merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir dimana kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya.

Fenomena krisis iklim yang kemudian menjadi salah satu penyebab munculnya cuaca ektrem tidak serta-merta berdiri sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya kondisi tersebut, dan menjadi sebuah ironi yang mungkin menggelitik ternyata sektor kesehatan juga ikut menyumbang masalah tersebut. Bagaimana bisa? Mungkin  untuk bencana di Sumatera tidaklah menjadi faktor penyebab langsung, namun secara global rumah sakit turut memberikan ‘kontribusi’ menjadi pemicu permasalahan krisis iklim di dunia sehingga muncul kondisi cuaca ektrem seperti di Sumatera yang intensitas hujannya mencapai 300 milimeter per hari.

Merujuk data yang disampaikan oleh Health Care Without Harm, 2019, sistem kesehatan menghasilkan sekitar 4,4% emisi gas rumah kaca dunia, cukup besar untuk menjadikannya “negara” penghasil emisi kelima terbesar di dunia jika dikumpulkan sebagai satu entitas . Rumah sakit yang beroperasi 24 jam, penggunaan listrik dan pendingin ruangan yang intensif, serta manajemen limbah medis yang belum sepenuhnya ramah lingkungan memperbesar jejak karbon yang justru memperburuk ancaman iklim bagi kesehatan itu sendiri. Yaa, disinilah ‘andil’ sektor kesehatan terhadap kondisi iklim yang terjadi saat ini dimana cuaca ekstrem mulai sering muncul.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |