Tim Magister Bencana Universitas Andalas (Unand) membawa bantuan ke Jorong Kuok III Koto, Nagari Matua Mudiak, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (09/12/2025). Foto : dok
Kampus—Di tengah amukan alam yang menyisakan duka dan keterasingan, secercah harapan kembali muncul menembus jantung bencana. Tim Magister Bencana Universitas Andalas (Unand) menegaskan komitmen mereka terhadap kemanusiaan dengan membawa langsung bantuan ke Jorong Kuok III Koto, Nagari Matua Mudiak, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (09/12/2025).
Perjalanan berisiko tinggi itu bukan sekadar distribusi logistik, melainkan sebuah misi kemanusiaan yang menunjukkan bahwa kepedulian tetap menemukan jalan, betapapun berat medan yang harus ditempuh.
Dipimpin Sekretaris Program Studi Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana Unand, Prof Yenny Narny, tim yang terdiri dari Yudhi Andoni, Novi Yulia, serta sejumlah mahasiswa MMB, berangkat dengan tekad yang telah dibulatkan jauh sebelum langkah diayunkan. Bantuan yang mereka bawa merupakan hasil dukungan para sahabat kemanusiaan, yakni Ivo Rustandi, Irma Rachmatiah, Inge Setiawati, Trissen Widjaja, Agnes Sri Wirjanto, serta para donatur lain yang tergerak oleh rasa empati.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Perjalanan yang seharusnya sederhana berubah menjadi ekspedisi penuh ketegangan. Sejak awal, hambatan besar menghadang—jalan utama Padang–Bukittinggi terputus total akibat longsor di kawasan Lembah Anai. Jalur alternatif melalui Sitinjau Lauik hanya dapat dilewati dengan sistem buka-tutup ketat yang kerap memakan waktu hingga berjam-jam. Setelah menimbang semua kemungkinan, tim memilih rute paling menantang: melewati Lubuk Basung lalu mendaki Kelok 44 yang berliku tajam di tebing Danau Maninjau.
“Kami memilih jalur Kelok 44 setelah mempertimbangkan semua informasi. Meski berisiko tinggi, itu jalur yang paling memungkinkan agar cepat sampai,” jelas Prof Yenny seusai penyerahan bantuan.
Pilihan itu segera membawa tim pada ujian nyata. Sepanjang tepi Danau Maninjau, hujan deras mengguyur tanpa henti, memperbesar potensi longsor. Memasuki Kelok 44, kondisi memburuk: separuh badan jalan ambles, hanya cukup untuk satu mobil kecil; tanah licin seolah siap menyeret kendaraan ke jurang; genangan lumpur tebal sisa galodo membuat perjalanan terasa seperti menantang maut.
“Kami harus ekstra hati-hati. Satu kesalahan kecil bisa fatal. Perjalanan itu benar-benar menguras energi dan konsentrasi,” ungkap Yudhi, anggota tim.
Setelah berjuang melewati kelokan demi kelokan, tim akhirnya tiba di lokasi bencana. Yang menyambut bukan hanya kerusakan fisik, tetapi kepedihan yang sulit digambarkan. Material longsor masih membenamkan sebagian permukiman. Rumah-rumah warga terendam lumpur, sebagian hanya menyisakan atap yang penyok atau tiang yang berdiri tanpa dinding. Galodo menerjang tepat di jantung pemukiman, menggulung apa saja yang berada di jalurnya.
Sebagian besar warga kini mengungsi ke tempat lebih tinggi di Kantor Wali Nagari Matua Mudiak—dua jam berjalan kaki dari pusat kampung. Kerusakan jalan membuat sepeda motor pun tak mampu menjangkau lokasi dengan mudah.
Di tengah kondisi itu, tim disambut mantan Wali Jorong, Pak Khatib Panji Alam, bersama sekitar 30 warga yang memilih bertahan menjaga sisa hunian mereka. Warga lainnya kembali ke pengungsian setelah hujan kembali turun, memicu trauma yang belum pulih.
Dalam sambutan singkat di bawah rintik hujan, Yenny menyampaikan empati mendalam dari sivitas akademika Unand.
“Tiada kata yang cukup untuk menggambarkan duka kami melihat kondisi Bapak dan Ibu. Apa yang kami bawa mungkin tak seberapa, tak bisa menggantikan yang hilang. Namun semoga bantuan ini menjadi penawar pedih, dan bukti bahwa keluarga besar Prodi MMB bersama para sahabat kemanusiaan hadir di tengah Bapak/Ibu menghadapi cobaan berat ini,” ucapnya, suaranya bergetar.
Khatib menerima bantuan itu dengan mata berkaca-kaca. “Ini bantuan kedua dari Unand. Kami tak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih,” katanya lirih.
Ia kemudian menggambarkan kenyataan pahit yang mereka jalani. “Kampung kami terisolir sejak 27 November. Dua warga meninggal dunia. Enam rumah hancur total, tak satu pun barang tersisa. Hampir seminggu kami kesulitan makanan. Rasanya dunia menutup diri. Tapi dengan kehadiran dan bantuan ini, derita kami berkurang. Kami merasa tidak sendirian.”
Bantuan yang dibawa tim difokuskan pada kebutuhan paling mendesak yakni obat-obatan dasar, beras, minyak, kebutuhan perempuan serta pakaian layak pakai dari alumni SMA 2 Padang Angkatan 88. Ada juga ikan kering yang disumbang oleh sahabat kemanusiaan Padang, serta dua unit genset bantuan Trissen Widjaja—barang yang paling dinanti warga.
“Listrik padam total karena tiang banyak yang hilang disapu galodo. Malam gelap gulita, sangat menyulitkan. Genset ini akan sangat membantu untuk penerangan dan mengisi ulang alat komunikasi,” ujar Renti, salah seorang warga.
Bagi Prodi MMB, aksi ini bukan sekadar kegiatan derma, tetapi bagian dari proses pendidikan yang sesungguhnya. Mahasiswa belajar langsung mengenai manajemen logistik bencana, penilaian risiko perjalanan, psikologi korban yang mengalami trauma, hingga komunikasi darurat di lapangan.
“Ini adalah ruang kelas sebenarnya bagi mahasiswa kami. Mereka belajar tentang kompleksitas respons bencana, ketangguhan masyarakat, dan makna ilmu kebencanaan yang tak boleh berhenti di ruang teori,” tegas Prof Fauzan, Ketua Prodi MMB, saat melepas keberangkatan tim.
Aksi ini menjadi pengingat bahwa di tengah keterbatasan, solidaritas selalu menemukan jalannya. Jalan menuju Matua Mudiak mungkin masih penuh luka, tetapi kepedulian yang hadir di sana hari itu menjadi bukti bahwa kemanusiaan tetap hidup.(*)

1 hour ago
2



































