REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Indonesia menjaga komitmennya, berproses dalam transisi energi. Demi mencapai apa yang ditargetkan, dibutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah menjajaki peluang kerja sama dengan negara-negara yang tergabung dalam Brazil, Russia, India, China, South Africa (BRICS).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menghadiri BRICS Energy Ministerial Meeting di Brasilia, Brazil, pada Senin (19/5/2025). Dalam kesempatan tersebut, Yuliot menyampaikan bahwa Indonesia menyambut baik upaya kolaboratif untuk memperkuat kerja sama dan ketanahan energi internasional, termasuk pembaruan BRICS Energy Cooperation Roadmap atau Peta Jalan Kerja Sama Energi BRICS.
Ia mengatakan, terdapat peluang kuat Indonesia untuk bekerja sama dengan berbagai pihak di berbagai bidang. Ini termasuk di bidang pengembangan energi nuklir, energi terbarukan dan smart grid, bioenergi, hidrogen, amonia, CCS/CCUS, pembangkit listrik tenaga surya off-grid, serta tenaga air.
"Kami melihat peluang yang kuat untuk meningkatkan kolaborasi dengan negara-negara BRICS dan mitra kerja sama di berbagai bidang, termasuk juga sharing best practices pada upaya memperkuat ketahanan energi," ujar Yuliot, dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, dikutip Selasa (20/5/2025).
Terkait dengan aspek pembiayaan, Yuliot juga mendorong negara-negara BRICS untuk dapat mengeksplorasi mekanisme pembiayaan khusus. Sehingga bisa mendukung transisi energi yang adil dan inklusif di masa depan.
"Kami yakin BRICS memiliki posisi yang strategis dan keberagaman untuk membentuk kembali tata kelola energi global. Kami berharap dapat bekerja sama erat dengan semua negara anggota BRICS dalam membentuk masa depan yang aman, adil, dan berkelanjutan," kata Wamen ESDM.
Yuliot menegaskan transisi energi yang dilakukan di Indonesia harus bersih, adil, berkelanjutan, dan inklusif. Transisi energi tidak harus dilakukan dengan pendekatan one-size-fits-all, namun harus merefleksikan kondisi nasional, prioritas pembangunan, dan kedaulatan teknologi. Ia menyampaikan perspektif kebijakan energi Indonesia selaras dengan dinamika global.
"Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menjadi negara yang paling unik dalam forum energi ini. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memastikan akses terhadap energi di seluruh wilayah yang beragam dan terpencil. Untuk mengatasi hal ini, kami memprioritaskan pengembangan energi terbarukan, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), yang mendukung pertumbuhan yang inklusif," jelas Menteri ESDM.
Dengan keunikan tersebut, posisi dan kontribusi Indonesia dalam BRICS akan memberikan warna yang berbeda. Yuliot mengatakan, untuk mempromosikan energi bersih, Indonesia telah menerapkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40, serta mendorong implementasi memasak bersih berbasis bioenergi.
Indonesia juga memiliki cadangan mineral yang cukup signifikan, termasuk cadangan nikel dan timah yang terbesar di dunia, serta potensi bauksit dan tembaga yang cukup besar. Sumber daya ini mendukung peta jalan hilirisasi senilai 618 miliar dolar AS untuk memastikan nilai tambah dan pembangunan berkelanjutan.
"Maka dari itu, Indonesia menekankan bahwa pemilik sumber daya alam adalah negara, dan negara berhak untuk mengatur dan mengelola rantai pasokan sumber daya, termasuk mineral jarang, yang sejalan dengan prioritas nasional dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan," tegas Yuliot.
Ia menegaskan energi harus dianggap sebagai aset yang strategis, bukan hanya komoditas. Oleh karena itu, Indonesia tengah meningkatkan sektor minyak dan gas (migas), dengan upaya mencapai 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas pada tahun 2030. Indonesia juga menjajaki energi nuklir sebagai opsi baseload yang rendah karbon, dengan reaktor pertama direncanakan pada tahun 2032 dan target kapasitas terpasang 36 gigawatt (GW) pada 2060.