Home > Ekonomi Tuesday, 22 Jul 2025, 06:59 WIB
Sektor padat karya paling terdampak

SEKITARSURABAYA.COM, SURABAYA -- Amerika Serikat resmi menetapkan tarif impor sebesar 19 persen terhadap sejumlah produk asal Indonesia. Keputusan ini diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump sebagai bagian dari kebijakan perdagangan terbarunya.
Meski masih tergolong tinggi, tarif ini lebih rendah dibanding ancaman sebelumnya yang mencapai 32 persen.
Pakar ekonomi internasional Universitas Airlangga (Unair) Unggul Heriqbaldi mengatakan, penurunan tarif ini merupakan hasil diplomasi dagang yang patut diapresiasi.
"Secara diplomatik, ini capaian penting. Kita berhasil menurunkan potensi kerugian yang bisa menghantam sektor padat karya," ujarnya, Senin (21/7/2025).
Menurutnya, sejumlah sektor padat karya Indonesia seperti tekstil, alas kaki, furnitur kayu, dan produk perikanan memang menjadi yang paling rentan terdampak. Hal ini disebabkan margin keuntungan yang tipis serta tingginya ketergantungan pada pasar AS.
"Sekitar 20-25 persen ekspor alas kaki dan pakaian jadi Indonesia masih bergantung pada pasar Amerika. Dengan tarif 19 persen, harga jual bisa naik dan menyebabkan relokasi order ke negara pesaing seperti Vietnam atau Bangladesh," kata dia.
Sektor agrikultur bernilai tambah rendah seperti udang beku, kelapa, dan minyak sawit olahan juga menurutnya bakal ikut tertekan, terutama jika dihadapkan pada hambatan logistik dan non-tariff barriers seperti sertifikasi dan standar teknis.
Meski demikian, posisi Indonesia dinilai lebih menguntungkan dibanding negara ASEAN lain. Dimana Vietnam dikenai tarif sebesar 46 persen, Thailand 36 persen, dan Malaysia 25 persen. Sementara Indonesia hanya 19 persen.
"Ini menjadi momentum penting. Produsen Indonesia bisa menawarkan alternatif kepada pembeli global yang mulai melirik keluar dari Vietnam," ucap Unggul.
Unggul menyebut, setidaknya ada tiga langkah strategis yang bisa dilakukan Indonesia. Yakni Diversifikasi rantai pasok global, dengan mengalihkan order dari negara pesaing ke Indonesia; penguatan diplomasi perdagangan bilateral untuk mengamankan akses pasar jangka panjang; dan reformasi logistik domestik untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing biaya.
"Tarif ini bukan alarm bahaya, melainkan sinyal agar kita mempercepat transformasi industri dan merebut peluang," ujarnya.