Catatan Cak AT: UAH Merapat ke Prabowo, Bawa Si Opung dan Si Cepot

7 hours ago 6
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto Catatan Cak AT: UAH Merapat ke Prabowo, Bawa Si Opung dan Si Cepot. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di tengah era digital yang penuh clickbait, pidato Ustadz Adi Hidayat (UAH) selengkapnya berikut ini tidak dibuat untuk menyenangkan algoritma, tapi untuk menggugah nurani.

Pidato ini tidak dikemas dengan efek suara dramatis, tanpa bumbu jargon branding kelas sultan, dan tidak pula ditutup dengan ajakan berlangganan kanal YouTube.

Pidato ini disampaikan oleh Ustaz Adi Hidayat dalam sebuah momen penting: peluncuran Program Gerakan Indonesia Menanam (Gerina) pada Rabu, 23 April 2025, di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Acara ini bukan sekadar seremoni, tapi titik tolak untuk mengubah cara bangsa ini memandang ketahanan pangan.

Yang membuat suasana semakin bermakna: Presiden Prabowo Subianto hadir dan mengapresiasi kontribusi nyata para tokoh masyarakat. “Apa yang dirintis oleh Ustaz Adi Hidayat ini membahagiakan," katanya. "Inovasi, improvisasi, riset, teknologi ini yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang berhasil.”

Dalam peluncuran Gerina kali ini, diperkenalkan dua hasil riset penanaman tanaman pangan. Ada Si Opung atau solusi olah padi terapung yang memanfaatkan kolam air seperti di rawa-rawa yang luas di Sumsel. Lalu, Si Cepot sebagai solusi cepat panen via pot, dengan pupuk Pancasila, yang bermanfaat bagi ketahanan pangan keluarga.

Baca juga: Catatan Cak AT: Ketika Barcode Jadi Ancaman Geopolitik

Sengaja saya sajikan pidato UAH ini apa adanya, agar tiap jeda napas, tiap penekanan kalimat, dan tiap ungkapannya, bisa Anda rasakan sendiri. Karena kadang, di balik kalimat “tanam cabai dalam pot”, ada pesan “bangunlah kedaulatan pangan bangsa”.

Dan di balik anjuran “menyatu rakyat dan pemerintah”, tersimpan harapan “jangan sampai negeri ini hanya jadi ladang investasi dan bukan ladang ketahanan.”

Jadi sebelum Anda menyimak isi pidato lengkap dari Ustaz Adi Hidayat —seorang dai yang kali ini berbicara bukan hanya soal akhirat, tapi juga soal logika bertahan hidup yang membumi dan masuk akal— pastikan Anda kosongkan dulu gelas prasangka bukan-bukan terhadap UAH yang mulai dekat dengan kekuasaan. Siapkan ruang hati untuk mencerna.

Karena pidato ini bukan sekadar kumpulan kalimat, tapi semacam vitamin yang bisa menguatkan tulang-belulang kebangsaan yang selama ini terlalu sering diremehkan. Bayangkan, hasil riset ulama dimotori UAH — bukan BRIN — langsung memberikan langkah nyata bagi ketahanan pangan.

Baca juga: PWI Dukung Depok Raih Predikat Utama di Penilaian KLA 2025

Selamat menyimak.

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua.

Yang terhormat, yang kita banggakan, yang kita muliakan Presiden Republik Indonesia, Bapak H. Prabowo Subianto.

Saya mengajak kita semua untuk mendoakan, semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan paripurna, kekuatan, dan kemampuan memimpin negeri kita ini menuju Indonesia Emas yang berkemajuan.

Yang terhormat, Bapak Koordinator Menteri Bidang Pangan Dr. Zulkifli Hasan.

Yang terhormat, Bapak Menteri Pertanian Dr. Andi Amran Sulaiman.

Yang terhormat, Bapak Menteri Desa dan Daerah Tertinggal Bapak Yandri Susanto.

Baca juga: Catatan Cak AT: Transformasi Bank DKI, Digitalnya Ketinggalan Indonesia

Yang terhormat, Utusan Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Perbankan, Bapak Haji Setiawan Ikhlas.

Seluruh tamu undangan, para pejabat, dan para petani, Tim Gerina seluruh Indonesia.

Hari ini, insyaallah, akan menjadi hari bersejarah. Membuat narasi untuk menyatukan energi seluruh lapis-lapis anak Bumi Pertiwi menyongsong Indonesia Emas 2045.

Indonesia Emas tidak mungkin tercapai dengan gemilang, kecuali—di antaranya—kita memiliki ketahanan yang kuat, khususnya di bidang pangan. Dan ketahanan pangan tentu tidak akan bisa diwujudkan oleh presiden sendirian, pemerintah sendirian.

Kita butuh energi untuk menyatukan, butuh energi untuk berkolaborasi.

Sehingga bila program pemerintahnya kuat, rakyatnya punya semangat yang kuat, dengan itu, insyaallah, program ketahanan pangan ini akan mengalami akselerasi dan kemudahan yang kita dambakan.

Baca juga: PWI Depok Dukung Program Perumahan Bersubsidi Wartawan: Ngga Ada Urusan dengan Independensi

Hadirin,

4 Januari 2025, Pak Mentan, kami menghubungi Pak Wamen, Pak Sudarono, untuk mendapatkan paparan dan arahan tentang program pemerintah terkait ketahanan pangan ini. Guna mendengar, melihat, mengamati, apa yang sekiranya dari kami para ulama, masyarakat, bisa memberikan pendampingan, penguatan, dan kebersamaan untuk mewujudkan apa yang diharapkan itu.

Dari hasil paparan dimaksud, kami berkomunikasi dengan kolega ulama seluruh Indonesia, dengan kolega masyarakat-masyarakat sampai ke ujung daerah, Pak Presiden, dari mulai di Aceh sampai dengan Papua.

Maka terumuskanlah: mari kita membuat satu gerakan yang memberikan kesadaran tentang ketahanan pangan. Sehingga semua punya kesadaran dan keinginan untuk menanam.

Maka dibuatlah, diluncurkanlah, Gerakan Indonesia Menanam.

Kita singkat dengan: Gerina, Pak Presiden.

Gerakan ini harus memiliki instrumen. Karena bila hanya disampaikan saja, diingatkan saja, tidak ada instrumennya, tidak ada buktinya, maka tidak mudah kemudian kita untuk bisa menanam.

Baca juga: Catatan Cak AT: Penjurusan Reborn, Menghidupkan Stigma

Kami melihat, alhamdulillah, kita punya orang-orang baik, saudagar-saudagar baik. Bila di timur ada Pak Haji Isam mulai menanam, saya berpikir, kami berpikir, di barat kita harus ada juga, supaya kita lipat dari barat ke timur—se-Indonesia bisa menanam.

Maka kami memohon kesediaan Haji Setiawan Ikhlas, UKP Presiden, untuk minta agar lahan di barat itu bisa kami gunakan sebagai riset.

Alhamdulillah, Pak Presiden, kami hanya minta pinjam —tapi beliau berikan ini utuh, untuk digunakan sebagai riset demi kepentingan bangsa dan negara.

Maka kami berangkat ke Korea, kami berangkat ke Jepang, kami berangkat ke Mesir. Menyusun naskah akademik, bagaimana kemudian itu bisa ditanam dengan baik, terdapat landasan dengan baik, dan secara akademik, secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Maka, Pak Mentan, dapatlah lahan ini. Tidak mudah mengolah lahan ini, karena ternyata ini PMK —lahan yang mustahil dan sulit bisa ditanam.

Baca juga: Sherina Menolak Tua, Cantik Alami dan Seksi

Maka, apa yang kami lakukan? Setelah merenung, kita duduk.

Bapak boleh cek ke dinas, bagaimana status lahan ini, apakah punya potensi untuk ditanam?

Pak Mentan dari kemarin tanya: “Pak Ustadz, ini pupuknya pupuk apa?”

Karena ini anomali: lahan yang tak mungkin bisa ditanam, tiba-tiba bisa tumbuh, Pak, di lahan 7.200 m².

Maka saya katakan, saya buka hari ini: Metode dan pupuknya adalah Pupuk Pancasila, yang berdasarkan pada Asta Cita. Sila pertamanya, Pak: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Maka kita implementasikan. Kami undang juga saudara-saudari kami yang saudara dari Kristen, yang saudara dari Hindu, saudara dari Buddha, juga yang lain-lainnya. Supaya kita bersatu padu dalam konsep menanam ini secara universal dalam nilai keislaman.

Tadi Bapak mendengarkan ayat Al-Qur'an di Surah Yusuf ayat 44, yang kurang lebih maknanya: mestilah di satu negeri itu, kalau ingin kokoh, harus kokoh ketahanan pangannya, harus mulai menanam, supaya rakyatnya tidak lapar, dapat makan, dan punya visi ke depan yang jauh.

Maka kami berkumpul, berdoa, minta. Kami kumpulkan ahli Qur'an yang orang Islam. Hari Minggu kemarin kami kumpulkan lagi di Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin.

Baca juga: Catatan Cak AT: 'Jumbo' Terbang, Ekosistem Animasi Tertinggal

Maka, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 29 Ayat 1:

"Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Pasal 29 Ayat 2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu."

Pembukaan, Preambul Undang-Undang Dasar 1945: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur..."

Pupuknya, Pak Mentan, pupuk biasa. Olahannya, tanah biasa.

Tapi langit yang biru—warna biru kesukaan presiden.

Karpetnya merah, bajunya putih, dimulai dengan merah-putih, melahirkan naungan langit yang biru, menghadirkan tanaman.

Tanah terolah dengan tumbuhan yang hijau dan membumi, Pak.

Tiga bulan, Pak—alhamdulillah—padi tumbuh, singkong berbuah manis.

Kemudian juga jagung berbuah manis.

Tapi tidak cukup dengan itu. Kalau cuma tanam singkong, tanam jagung, tanam padi —semua orang bisa melakukan dengan lahan yang luas.

Maka yang kedua, kita hadirkan _novelty,_ kebaruan-kebaruannya yang dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan, dilakukan dengan adab, sehingga menimbulkan nilai kemanusiaan yang baik.

Baca juga: Catatan Cak AT: Tragedi Digital di Ujung Malam

Maka, Pak Presiden, izin: Ini ada program Si Opung—Solusi Olah Padi Terapung. Maka ini kami hadirkan contoh, Pak. Dalam 3 bulan ini sudah bisa dipanen, insyaallah.

Jadi kalau nanti yang tidak punya lahan, yang tidak punya area yang luas, insyaallah, di sampingnya bisa dibuat.

Yang punya kolam, di atasnya padi, di bawahnya ikan. Kalau ada pesantren-pesantren punya empang, atasnya padi, lahannya bisa ikan.

Program MBG bahkan bisa di-support dari ketahanan pangan yang kita buat inovasinya. Jadi kalau di sana: Makan Bergizi Gratis, MBG. Di sini: MBG —Menanam Bersama Gerina.

Ini Padi Opung, Pak Presiden.

Ini ada pot, Pak.

Ini kami riset, bukan sekadar pot biasa.

Kami meriset dengan ukurannya, dengan bentuknya, bahkan dengan kemungkinan potensi gramasinya.

Baca juga: Guru Besar UI Beri Solusi Lewat Manfaat Lignoselulosa Sebagai Bahan Baku Obat

Jika satu keluarga ada lima orang, dia tidak punya lahan, tapi ingin menanam, maka kami sudah susun sekian pot untuk padi. Supaya tidak meluas, kami buatkan kemudian sistem rak ke atasnya. Maka disimulasikan: dalam tiga kali panen dalam satu musim, bila dihitung dengan ia beli secara manual, itu masih bisa menabung Rp 100 sampai 200 ribu, Pak.

Apa tujuan dari semua ini? Persatuan Indonesia. Sila ketiga. Kami berharap bisa membersamai dengan riset ini.

Ini bukan program untuk panen. Ini hanya meriset, melakukan pendampingan. Bila dari Kementerian Pertanian melihat ini ada potensi untuk bisa dikerjasamakan, kami men-support dengan sepenuhnya, Pak.

Program-program Bapak, kita optimalkan risetnya. Kami sampaikan: bila dilihat ada kemungkinan yang bisa bermanfaat, sungguh semua yang terkumpul di sini adalah gerakan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia, Pak.

Di belakang kami ini ada layar, kita sedang tersambung dengan seluruh perwakilan di 38 provinsi.

Empat bulan lalu. Silakan, Pak, dari Papua, dari Sragen—kampungnya Pak Menko. Lampung Selatan juga ada di sini. Sulawesi, kampungnya Pak Amran, ada di sini, Pak.

Baca juga: Catatan Cak AT: Politik 'Kayyum' ala Turki

Empat bulan yang lalu sudah ada yang nanam. Di samping rumahnya, di samping masjid. Ada yang punya kebun di belakang, 2 hektar—dia tanam cabai, Pak.

Hari ini mereka bangga di hadapan presidennya. Mereka siap mendukung program ketahanan pangan yang dioptimalkan nanti oleh Kementerian Pertanian.

Kita bersatu padu demi kerakyatan dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terakhir, Pak Presiden. Sesungguhnya kami ingin me-launching ini di Februari. Datang Ramadan, datang Idulfitri. Kuasa Allah mengalihkan ke bulan April.

April. Rabu. Hari ini. Dua hari setelah lahirnya Raden Ajeng Kartini.

Dua hari—hari Senin lalu—lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang Masehinya bulan April 571 Masehi.

Nabi Muhammad diberikan Al-Qur’an. Di dalam Qur’an ada ajaran: _minadz dzulumāti ilan nūr._ R.A. Kartini, pada usia 10 tahun dipingit di Rembang, diberikan hadiah Qur’an. Dari situ dia terinspirasi menulis buku: Habis Gelap Terbitlah Terang.

Baca juga: Penyusunan RAPBN TA 2026, Pentingnya Sinergi Pusat dan Daerah dalam Perencanaan Pembangunan serta Kebijakan Fiskal

Pak, momen ini sekaligus kami ingin tunjukkan:

Mulai hari ini, tidak ada gelap lagi.

Semuanya terang.

Kita akan bangun ke depan:

Indonesia terang.

Indonesia terang.

Indonesia terang.

Menuju generasi emas 2045.

Terima kasih atas seluruh partisipasi untuk menghadirkan ini. Saya ingin menekankan pertama pada seluruh keluarga besar Gerina:

Anda, saya, kita, adalah orang-orang yang digerakkan dengan hati yang paling dalam.

Bukan ingin bertransaksi, berniaga, mencari proyek. Kita adalah orang-orang yang, dengan rasa cinta pada Indonesia ini, berkumpul untuk mencoba berkontribusi, memberikan yang terbaik. Mari kita sama-sama berkolaborasi memberikan nilai kebaikan.

Terima kasih, Pak Setiawan Ikhlas, yang telah memberikan tempat ini sampai kapanpun sebagai hibah untuk diriset. Ini nanti, Pak, akan menjadi masjid —tempat yang Bapak duduk sekarang.

Dan ke depan kita berharap seluruh saudagar kita bersatu, rakyat kita bersatu, pemerintah kita bersama-sama, dan dengan berbahagia, kita songsong Indonesia Emas 2045.

Terakhir, Pak, tidak mungkin ini bisa berjalan kalau tidak ada pembinaan sampai ke desa. Maka mohon kita bisa juga dibimbing bersama-sama.

Baca juga: PT Bali Ragawisata Digugat 6 Perkara Pailit, Satu Diantaranya Pemilik Saham Sendiri

Hadir dari Tripoli langsung, Pak Rektor Universitas Dakwah Islam, Dr. Abu Bakar Abusirar. Dia mendukung kita, Pak. Memberikan beasiswa untuk 5.000 orang secara gratis untuk kuliah di Universitas Dakwah Islam. Mereka akan pulang lagi, langsung membersamai desa-desanya, daerahnya, supaya percepatan Indonesia Emas itu bisa kita gapai.

Terima kasih untuk semua. Mohon maaf, pasti ditemukan kekurangan.

Tidak ada yang lain kecuali atas dasar cinta pada Indonesia yang kita cintai ini. Tetap sehat, tetap baik.

Bila saya katakan:

Indonesia!

Tolong jawab dengan:

Emas!

Indonesia!

Emas!

Indonesia!

Emas!

Indonesia!

Emas!

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 23/4/2025

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |