REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --
Dunia mode sedang menyaksikan sebuah babak baru dengan berita mundurnya Anna Wintour dari posisi pemimpin redaksi US Vogue setelah 37 tahun lamanya. Sosoknya yang berusia 75 tahun ini, yang sering disebut sebagai figur paling berpengaruh dalam industri mode, akan mengalihkan fokus dari operasional harian Vogue.
Selama kepemimpinannya, Wintour dikenal karena kemampuannya menjadikan sampul depan Vogue sebagai pernyataan otoritatif tentang mode kontemporer, serta kendali penuhnya atas setiap halaman glamor di dalamnya.
Namun, pengunduran diri Wintour bukan berarti ia sepenuhnya pensiun.
Dilansir laman The Independent.co.uk pada Ahad (29/6/2024), Condé Nast, perusahaan induk Vogue, dengan cepat menepis spekulasi tersebut. Wintour akan tetap memegang peran senior di grup, termasuk sebagai direktur editorial global Vogue dan kepala konten. Ini berarti, siapa pun yang menggantikan posisi Anna Wintour sebagai pemimpin redaksi harian US Vogue akan menghadapi tugas yang luar biasa berat. Tidak hanya karena warisan Wintour yang masif, tetapi juga karena mereka akan tetap melapor kepadanya.
Wintour, yang lahir di Inggris, pertama kali dikenal publik luas sebagai inspirasi di balik novel laris The Devil Wears Prada (2003) dan adaptasi filmnya pada 2006. Peran editor majalah tiran Miranda Priestly, yang diperankan Meryl Streep, bahkan mengantarkannya pada nominasi Oscar. Dalam pertemuan staf di New York, Wintour mengumumkan bahwa US Vogue akan mencari kepala konten editorial baru, menyebutnya sebagai "keputusan penting".
Namun, ia menegaskan tidak akan meninggalkan kantornya denhan menyatakan, "Saya akan mencurahkan seluruh perhatian saya pada kepemimpinan global dan bekerja dengan tim editor brilian kami di seluruh dunia".
Warisan kuat di balik transisi
Selama kepemimpinannya, Wintour telah dianugerahi gelar Dame oleh Inggris pada 2017 dan pada Februari tahun ini, ia menjadi Companion of Honour—sebuah pengakuan elite. Pada upacara di London, Wintour melepas kacamata hitam khasnya dan mengatakan kepada Raja Charles III bahwa ia tidak berencana untuk berhenti bekerja.
Dibesarkan di Inggris, Wintour mendominasi Vogue pada masa kejayaan majalah cetak. Ia mengubah US Vogue dari publikasi yang stagnan pada 1988 menjadi sebuah kekuatan yang menetapkan tren, sering kali menentukan nasib desainer, selebritas, dan merek.
Dia berhasil membawa majalah tersebut ke khalayak global dengan anggaran besar untuk model, desain, fotografi, dan jurnalisme, yang didanai oleh iklan mewah dan tarif berlangganan yang tinggi.
Meskipun Vogue tetap menjadi majalah unggulan mode, ia, seperti banyak publikasi cetak lainnya, berjuang untuk beradaptasi dengan era digital.
Wintour, yang kadang dijuluki "Nuclear Wintour" karena gaya kepemimpinannya yang tegas seperti membatalkan pekerjaan tanpa diskusi, selalu hadir di barisan depan catwalk dengan potongan rambut bobnya yang tidak berubah. Dokumenter 2015 The September Issue tidak hanya menampilkan citra "ratu es" dan ambisinya yang kuat, tetapi juga mengungkapkan sisi manusiawi yang lebih hangat.
Wintour juga selama bertahun-tahun mengelola Met Gala, sebuah acara amal mewah di Manhattan yang menarik daftar selebriti papan atas dari dunia mode, film, politik, dan olahraga dengan busana spektakuler. Ia adalah penggemar dan pemain tenis fanatik, sering terlihat di final Grand Slam, serta penggalang dana utama untuk politisi Partai Demokrat seperti Barack Obama dan Hillary Clinton. Joe Biden bahkan menganugerahinya Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi AS, sebelum meninggalkan jabatannya pada Januari.
Sebagai kepala konten Condé Nast, ia akan terus mengawasi publikasi termasuk Vogue, Wired, Vanity Fair, GQ, Condé Nast Traveler, dan Glamour.
Mengenai novel The Devil Wears Prada yang ditulis oleh mantan asistennya, Lauren Weisberger, Wintour selama bertahun-tahun menolak berkomentar. Namun, ketika novel itu diadaptasi menjadi musikal dan dibuka di London pada 2024, ia mengatakan kepada BBC bahwa itu "untuk penonton dan orang-orang yang bekerja dengan saya untuk memutuskan apakah ada kemiripan antara saya dan Miranda Priestly".
Ia juga menjelaskan kacamata hitamnya, mengatakan kepada media tersebut bahwa "mereka membantu saya melihat dan mereka membantu saya untuk tidak melihat. Mereka membantu saya terlihat dan tidak terlihat. Mereka adalah properti, menurut saya".
Saran untuk penerus Anna Wintour
Seorang profesor manajemen di Graziadio Business School Pepperdine, Kevin Groves, menyarankan para pemimpin baru untuk bersikap bijak dengan membuat perubahan tanpa meninggalkan hal-hal esensial yang membuat organisasi berjalan dengan baik. "Kita mempertahankan apa yang paling penting bagi kita, sambil menyadari bahwa lingkungan kita telah berubah," ujarnya dikutip dari laman Business Insider.
Seorang pelatih eksekutif dari Singapura, Nancy Ho, menekankan pentingnya kesabaran. "Anda tidak bisa tidak sabar dan terburu-buru. Itu tidak boleh terlihat seperti Anda haus kekuasaan atau mengklaim peran terlalu dini," kata Ho.
Menurut dia, pemimpin baru harus fokus memahami budaya perusahaan dan bagaimana mereka bisa menjadi aset. CEO Reed Recruitment, James Reed, mengatakan tidak masalah menyatakan ambisi kepada atasan, bahkan jika tidak secara eksplisit mengincar posisi mereka.
"Tanyakan apa yang perlu Anda pelajari dan apa lagi yang bisa Anda kontribusikan untuk mendukung mereka," kata Reed menyarankan.
Ho juga menekankan agar tidak membuat perubahan drastis terlalu cepat. Langkah awal adalah mengakui pekerjaan baik yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian membangun kepercayaan tim dengan perubahan kecil dan bertahap.
"Ketika ada semacam dukungan, dan orang-orang lebih nyaman dengan pemimpin yang berbeda, barulah Anda memperkenalkan perubahan," jelasnya.
Seorang pelatih CEO dari AS,Sabina Nawaz, menyarankan pemimpin baru untuk mencari tehu dan tidak membuat perubahan setidaknya selama tiga bulan pertama. "Lakukan tur mendengarkan, gali alasan di balik keputusan atau tindakan, coba pahami berbagai hal dari perspektif orang lain," kata Nawaz.
Seorang profesor kepemimpinan dari Kühne Logistics University Jerman,Christian Tröster, mengatakan bahwa pemimpin baru perlu berhati-hati agar tidak memberi kesan bahwa semuanya harus berubah. "Karena kemudian Anda menunjukkan bahwa Anda tidak seperti mereka, bahwa Anda tidak dapat dipercaya," kata Tröster. Ia juga menekankan pentingnya komunikasi yang jelas tentang ekspektasi ketika melapor kepada pendahulu.
Pelatih karier dari resume.io,Amanda Augustine, menyarankan untuk memanfaatkan akses kepada pendahulu, terutama figur sekuat Wintour. "Mulailah pekerjaan sebagai spons, pelajari apa yang Anda bisa dari pendahulu dan kolega Anda yang lain," katanya.
Namun dia juga mengingatkan untuk tidak selamanya dalam mode pengumpulan informasi. Jochen Menges, seorang profesor kepemimpinan dari University of Zurich dan University of Cambridge, menekankan pentingnya "berbeda" dan menghindari meniru gaya kepemimpinan pendahulu.
"Jika mereka terlalu mirip, maka mereka akan terlihat seperti salinan, dan kemudian mereka tidak akan pernah bisa memenuhi harapan," kata Menges.
Dengan menjadi berbeda, bos baru dapat menjadi "pemimpin dengan caranya sendiri". Era baru Vogue dinilai akan menjadi ujian menarik bagi kepemimpinan, menavigasi bayangan seorang legenda yang tetap hadir dan berpengaruh.