Indonesia Dorong Pembiayaan Syariah dan Zakat untuk Tutupi Kesenjangan Dana SDGs

5 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pembiayaan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai seluruh target Sustainable Development Goals (SDGs). Deputi Bidang Pembiayaan dan Investasi Pembangunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Putut Hari Satyaka, mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan dana sekitar 4,2 triliun dolar AS untuk mencapai seluruh target SDGs, dengan kesenjangan pendanaan yang masih signifikan, yakni sebesar 1,7 triliun dolar AS.

Dalam Konferensi Pendanaan Pembangunan yang digelar di Sevilla pada hari ini, Putut menegaskan bahwa Indonesia harus bergerak dari pendekatan tradisional dan menerapkan strategi yang terintegrasi serta transformatif untuk menutup celah pembiayaan tersebut.

“Kami perlu menerapkan pendekatan yang terintegrasi dan transformatif, bukan sekadar bisnis seperti biasa. Ada dua langkah utama yang kami lakukan untuk mengatasi tantangan ini,” katanya seperti dikutip dari UN News, Senin (30/6/2025).

Langkah pertama adalah meningkatkan efisiensi, ketangguhan, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik. Hal ini mencakup penyelarasan anggaran dengan target SDGs, penguatan efisiensi belanja, serta memastikan sumber daya digunakan tepat sasaran pada sektor-sektor pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, pendekatan inovatif diperlukan dengan memperluas instrumen pembiayaan seperti pembiayaan campuran (blended finance), obligasi tematik, dan pembiayaan berbasis iman (faith-based financing). Indonesia telah membangun ekosistem pendukung yang melibatkan para pemangku kepentingan dan menciptakan regulasi yang kondusif bagi pertumbuhan pasar keuangan inovatif.

Pembiayaan berbasis iman, khususnya keuangan syariah, disebut sebagai instrumen kunci. Dengan 85 persen penduduk beragama Islam, Indonesia memiliki tradisi kuat pembiayaan berbasis agama seperti zakat dan wakaf, yang kini juga diarahkan untuk mendukung SDGs. “Pertumbuhan keuangan syariah mencapai 14 persen per tahun, melampaui keuangan konvensional,” kata Putut.

Putut menggarisbawahi keberhasilan Indonesia dalam mengumpulkan dana melalui instrumen ini, termasuk penerbitan green sukuk berdaulat pertama di dunia pada 2018 senilai 1,25 miliar dolar AS untuk proyek energi terbarukan dan adaptasi iklim. Hingga 2023, pemerintah telah mengumpulkan sekitar 1,4 miliar dolar AS dari green sukuk ritel domestik yang melibatkan investor individu.

Selain itu, potensi zakat nasional mencapai 18–25 miliar dolar AS per tahun, meskipun realisasi faktual masih rendah di bawah lima persen. “Ada peluang besar untuk memperkuat pembiayaan sosial berbasis keagamaan,” tambah Putut.

Dalam menghadapi tantangan pengembangan pembiayaan berbasis iman, Putut menyoroti pentingnya peningkatan kesadaran publik, koordinasi antar pemangku kepentingan, serta membangun kepercayaan melalui transparansi dan akuntabilitas.

“Pembiayaan berbasis iman sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, baik terhadap lembaga pengelola dana maupun terhadap penggunaan dana itu sendiri. Seperti instrumen keuangan lainnya, kami belajar bahwa transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang konsisten adalah kunci untuk mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan tersebut,” katanya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |