Halal Dulu, Rasa dan Harga Kemudian!

1 day ago 14

Image Bustanol Arifin

Agama | 2025-06-01 09:13:20

Ilustrasi gaya hidup halal | AI/Freepik.com

Indonesia, yang menjadi rumah bagi 245 juta umat Islam masih mengalami tantangan cukup berat dalam masalah literasi dan penerapan gaya hidup halal. Pasalnya, banyak orang kurang peduli dengan makanan dan minuman halal ketika hendak membeli atau mengonsumsinya.

Alih-alih selektif dan protektif memilih makanan atau minuman halal dan non halal, sebagian besar malah tak menghiraukan sama sekali soal ini. Mengecek logo halal di kemasan ataupun tempat makan saja enggan, apalagi bertanya langsung kepada pemilik atau karyawan toko.

Makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik hingga jasa seringkali dinilai dari rasa serta harga terlebih dahulu, baru kemudian kehalalannya. Bahkan, ada juga yang memilih berdasarkan rasa, harga, merek, kemasan lalu tempat dan halal entah ada di urutan ke berapa.

Hal ini susuai dengan beberapa hasil studi yang menyebutkan bahwa alasan utama seseorang dalam membeli serta mengonsumsi makanan secara berurutan adalah rasa, harga, kemasan lalu merek (Christopher Richie Rahardjo).

Padahal, bagi seorang muslim khususnya, halal bukan sekadar pilihan tapi prinsip utama dan pertama sebab menyangkut keyakinan dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam. Halal merupakan kebutuhan masyarakat muslim, dan bahkan seluruh umat manusia.

Memang tidak semua orang Indonesia buta halal, sebagian sudah melek halal dan jumlahnya setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Hal ini juga berdasarkan hasil riset, ekonomi dan industri produk halal terus meningkat dibarengi dengan konsumsi masyarakat terhadap barang atau jasa tersebut.

Mengapa Halal itu Prioritas?

Secara eksplisit Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk mengonsumsi makanan serta minuman yang halal lagi baik. “Wahai manusia! Makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan .” (QS. Al-Baqarah:168)

Pertama, perintah ini bukan hanya ditujukan kepada umat Islam saja, tapi juga umat manusia secara umum, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam arti lain, halal bukan hanya milik umat Islam tapi, milik semua orang di dunia manapun.

Kedua, perintah tersebut (makan) tidak ada unsur rasa semisal makanan enak apalagi harga, tetapi sesuatu yang dicintai Allah SWT untuk masuk ke dalam tubuh kita, yakni halal sekaligus baik (halalan thayyiban). Ini berarti, soal rasa, harga, kemasan, merek, tempat dan sebagainya itu setelah halal.

Ketiga, makanan dan minuman halal bukan sekadar fisik saja, lebih dari itu, cara memperoleh makanan tersebut juga harus halal lagi baik sehingga bisa berdampak pada keberkahan hidup dan kejernihan hati kita semua.

Bahaya Mendahulukan Rasa dan Harga

Sepintas memang tidak ada masalah dengan menjadikan rasa lalu harga sebagai barometer utama dalam menentukan pilihan terhadap sebuah makanan atau minuman. Namun, secara tak sadar kita digiring pada perilaku konsumtif.

Kalimat atau istilah “Yang penting enak, murah dan hits,” merupakan pola pikir konsumstif yang sengaja didengungkan untuk menjebak kita kemudian terperangkap di dalamnya. “Yang penting enak apalagi murah, saya akan beli dan konsumsi meskipun non halal.”

Faktanya banyak, orang Islam membeli lalu mengonsumsi makanan atau minuman tertentu karena rasanya enak dan harganya murah meskipun mengandung babi (porcine). Rela antri demi untuk mencoba makanan atau minuman yang lagi viral di media sosial, padahal non halal

Padahal, sesuatu yang lezat belum tentu halal, sesuatu yang murah belum tentu juga baik, dan sesuatu yang viral atau hits belum tentu disenangi Allah SWT. Jadi, bilamana kita abai terhadap aspek halal, kita bisa jatuh pada sesuatu yang haram atau syubhat, yang dalam jangka panjang mampu menggelapkan hati serta menjauhkan kita dari keberkahan hidup.

Halal adalah Cermin Ketakwaan

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang halal sudah jelas, yang haram juga sudah jelas, dan di antara keduanya ada perkara atau hal syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari hal syubhat (samar) maka ia sudah memelihara agama dan kehormatannya ...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di hadis lain, Rasulullah SAW juga bersabda dengan bercerita bahwa seorang yang melakukan perjalanan jauh hingga rambut dan pakainnya kusut. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa “Wahai Tuhanku, Wahai Tuhanku.”

Sementara makanan, minuman dan pakaiannya dari dan diperoleh dengan cara yang haram. Sabda nabi, bagaimana mungkin Allah SWT mengabulkan permohonan orang tersebut? Meski ia sedang dalam perjalanan alias musafir.

Maksudnya, menjadikan halal sebagai standar dan prinsip utama dalam menentukan semua jenis makanan, minuman dan lainnya merupakan wujud nyata dari keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Cermin bahwa orang yang menjaga diri dari perkara samar merupakan menjaga agama dan kehormatannya.

Jadikan Halal sebagai Gaya Hidup

Saat rasa dan harga menggoda selera, pastikan halal terlebih dahulu. Sebab, selain kebersihan, kesucian, keamanan dan kesehatan tubuh kita, juga untuk kejernihan hati dan amal baik kita semua di sisi Allah SWT.

Sekali lagi, halal bukan pilihan tapi kebutuhan semua orang. Di dalamnya terkandung banyak sekali kebaikan serta keberkahan, dan pastinya disenangi Allah SWT. Mari jadikan halal sebagai gaya hidup kita sehari-hari. Bangun prinsip, “Halal Dulu, Rasa dan Harga Kemudian!” supaya tumbuh dan terus berkembang ekosistem halal yang bersih, berkah dan maslahat bagi umat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |