REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ismail Rumadan menyayangkan rencana peguruan tinggi yang akan diberikan izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah. Menurut dia, dunia kampus seharusnya tetap independen.
Dia mengatakan, sangat disayangkan pemerintah Indonesia masih mengandalkan sumber daya alam ekstraktif, mineral dan batu bara sebagai sumber pendapatan negara. Padahal, menurut dia, negara-negara maju telah bertransformasi menjadi negara-negara yang berbasis pada ekonomi hijau dan berkelanjutan.
"Lebih disayangkan lagi bahwa pemerintah Indonesia memperluas izin pengelolaan pertambangan kepada dunia kampus. Dunia kampus seharusnya independen dan menjadi institusi penjaga moral akademik dan moral bangsa," ujar Ismail dalam keterangan tertulis yang diterima Republika di Jakarta, Senin (3/1/2025).
Dengan memperluas izin pengelolaan pertambangan kepada dunia kampus, kata dia, maka akan membuat kampus kehilangan independensinya dan menjadi bagian dari industri ekstraktif yang syarat dengan kolusi dan koruptif.
Selain itu, lanjut dia, juga akan membuat kampus kehilangan fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkelanjutan dan berbasis pada kepentingan masyarakat.
"Oleh karena itu, patut untuk dipertanyakan apa landasan filosofis maupun sosio-legalnya melibatkan kalangan perguruan tinggi yang menjadi penjaga moral akademik dan moral sosial bangsa untuk mengelola usaha pertambangan?," ucap Ismail.
Sebab, lanjut dia, keterlibatan kampus dalam urusan pengelolaan tambang dapat memiliki dampak negatif. Diantaranya, akan mengalihkan fokus kampus dari pendidikan dan penelitian ke eksploitasi sumber daya alam, membuat kampus terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis dan merusak lingkungan, serta akan memunculkan konflik kepentingan antara kampus dan perusahaan tambang.
Karena itu, lanjut dia, para pihak termasuk ormas maupun akademisi yang mendukung pemberian izin pengelolaan tambang kepada kampus memang dapat dikategorikan sebagai pihak yang rendah pemahamannya terkait visi misi pembangunan berkelanjutan.
"Mereka hanya berfokus pada kepentingan jangka pendek, seperti memperoleh dana atau sumber daya ekonomi, tanpa memahami dampak buruk yang berkelanjutan dari kegiatan tambang," kata Ismail.
Sebagai akademisi, kata dia, mereka seharusnya memiliki pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang konsep pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan sosial dan lingkungan.
"Mereka seharusnya memahami bahwa kegiatan tambang dapat memiliki dampak buruk yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat, seperti pencemaran lingkungan, kerusakan habitat, dan penggusuran masyarakat," jelas dia.
Oleh karena itu, menurut Ismail, pemerintah perlu melakukan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam, yaitu dari paradigma eksploitasi ke paradigma pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis pada pengembangan sumber daya manusia dan teknologi.
"Kampus harus tetap berfokus pada pendidikan dan penelitian, serta mengembangkan kemampuan dan kualitas sumber daya manusia, bukan terlibat dalam aktivitas pertambangan yang penuh denga tipu muslihat tersebut," ucap Ismail.
Seperti diketahui, Revisi Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diusulkan oleh DPR saat ini memberikan peluang bagi Perguruan tinggi (PT) di Indonesia untuk terlibat dalam pengelolaan tambang, kesempatan yang sama setelah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan sebelumnya diberi izin untuk mengelola tambang.
Revisi UU Minerba ini memasukkan Perguruan Tinggi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) diberi izin untuk mengelola tambang yang diusulkan sebagai hak usul inisiatif DPR. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga pendidikan dalam pengelolaan sumber daya alam.
sumber : Antara