Kondisi Dunia Pendidikan Setelah Maraknya Pemanfaatan AI

6 hours ago 2

Oleh Diky Wardhani, Dosen Prodi Teknologi Informasi Cyber University

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kecerdasan Buatan (artificial intelligence/AI) sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dunia sehari-hari. Dari rekomendasi film di Netflix, asisten virtual, hingga chatbot customer service, semuanya memanfaatkan AI untuk memudahkan hidup manusia.

Sebagai Dosen Teknologi Informasi (TI) di Cyber University dan juga aktif menulis, saya sering bertanya-tanya bagaimana sebenarnya AI ini memengaruhi cara manusia berpikir, belajar, dan mengambil keputusan?

AI dan pengambilan keputusan: Cerdas atau malas berpikir?

Dulu, kalau kita mau cari referensi, pasti harus buka banyak buku atau jurnal, menganalisis data, dan mengambil kesimpulan sendiri. Sekarang? AI bisa menyajikan data dalam hitungan detik dan memberi rekomendasi yang (katanya) terbaik.

Dalam dunia bisnis dan finansial, AI sangat membantu dalam pengambilan keputusan berbasis data. Namun, terdapat sisi negatifnya yang membuat pemakainya jadi terlalu bergantung dan cenderung menerima hasil tanpa berpikir kritis.

Sebagai seorang akademisi, ini menjadi tantangan tersendiri dalam mengajar mahasiswa agar tetap mengasah kemampuan analitis mereka, bukan sekadar menelan mentah-mentah rekomendasi dari AI.

AI dalam pembelajaran: Efektif, tapi jangan lupa berpikir!

Sebagai dosen, saya melihat AI semakin banyak digunakan dalam pembelajaran. Sistem pembelajaran adaptif, seperti AI-driven tutoring, bisa menyesuaikan materi berdasarkan kebutuhan mahasiswa. Ini luar biasa karena setiap mahasiswa bisa belajar sesuai ritme mereka sendiri.

Tapi di sisi lain, jika semuanya terlalu otomatis, bagaimana dengan keterampilan berpikir kritis? Kalau AI terus memberikan jawaban “paling mungkin benar”, mahasiswa bisa kehilangan dorongan untuk berpikir mendalam dan mengeksplorasi berbagai perspektif.

Sebagai pengajar, tugas kita mencari keseimbangan dalam memanfaatkan AI untuk efisiensi, tapi tetap mendorong mahasiswa untuk berpikir kreatif dan reflektif.

AI dan interaksi manusia komputer: Evolusi atau ketergantungan?

Dalam dunia interaksi manusia-komputer (Human-Computer Interaction/HCI), AI mengubah cara penggunanya berinteraksi dengan teknologi.

Dulu, orang-orang harus mengetik perintah di terminal, lalu berkembang menjadi antarmuka grafis (GUI), dan sekarang cukup dengan suara atau gerakan, AI bisa memahaminya.

Misalnya, asisten virtual seperti Siri atau Google Assistant yang memudahkan penggunanya mencari informasi bahkan memahami konteks percakapan. Di dunia desain UI/UX, AI digunakan untuk menganalisis pola perilaku pengguna dan memberikan pengalaman yang lebih personal.

Namun, ada tantangan besar di sini. Semakin AI mengerti kita, semakin kita cenderung malas untuk belajar memahami teknologi secara mendalam. Kalau dulu kita harus belajar cara menggunakan software, sekarang kita hanya mengandalkan rekomendasi dari AI.

Ini bisa membuat kita kehilangan pemahaman fundamental tentang cara kerja sistem komputer.

Sebagai dosen yang mengajar desain grafis dan teknologi informasi, saya pun merasa penting untuk tetap menanamkan pemahaman dasar tentang bagaimana interaksi manusia-komputer bekerja, bukan hanya mengandalkan AI sebagai solusi instan.

AI dan interaksi sosial: Makin digital, makin asing?

Interaksi sosial juga berubah dengan hadirnya AI. Mahasiswa kini lebih sering berkomunikasi lewat chatbot atau forum online ketimbang diskusi langsung. Bahkan di dunia kerja, banyak tugas administratif yang kini ditangani AI, mengurangi interaksi manusia.

Sebagai dosen dan penulis, saya merasa tantangan ke depan bukan hanya soal bagaimana kita menggunakan AI, tapi juga bagaimana kita tetap menjaga esensi komunikasi manusia. Jangan sampai kita lebih nyaman ngobrol sama chatbot ketimbang sesama manusia!

Kesimpulan: AI boleh pintar, kita jangan kehilangan kendali!

AI itu alat bukan pengganti manusia. Sebagai akademisi dan praktisi di bidang teknologi, saya terdorong harus bisa memanfaatkan AI dengan bijak. Jangan sampai teknologi ini malah melemahkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas diri maupun orang di sekitar kita.

Jadi, mari kita gunakan AI sebagai asisten, bukan sebagai bos. Sebagai dosen, kita harus tetap mendorong mahasiswa untuk berpikir mandiri. Sebagai penulis, kita harus tetap mengandalkan kreativitas manusia yang unik.

Dan sebagai manusia? Kita harus tetap jadi pemegang kendali atas kecerdasan kita sendiri.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |