
RUZKA REPUBLIKA NETWORK - Putusan hukum yang dinanti-nantikan oleh LS, seorang ibu yang memperjuangkan hak asuh anaknya, kembali mengalami penundaan. Pengadilan Negeri Jakarta Utara seharusnya membacakan putusan perkara ini pada 30 April 2025, namun hingga kini belum juga menetapkan keputusan final. Tidak hanya satu kali, jadwal pembacaan putusan justru ditunda dua kali—pertama ke tanggal 7 Mei, dan kini kembali ditunda hingga 14 Mei padahal gugatan diajukan sejak tgl 16 April 2024 yang diketuai oleh Hakim Yuli Sintesa dari PN Jakarta Utara
Penundaan demi penundaan tersebut menambah panjang derita LS, yang sejak pertengahan 2023 berjuang mendapatkan kembali hak atas anak kandungnya, GI, yang diduga dirampas oleh mantan suaminya tanpa persetujuan hukum. LS merasa sistem hukum belum cukup berpihak pada perlindungan ibu dan anak, terlebih ketika menyaksikan perubahan drastis pada kondisi fisik dan psikis anaknya yang kini berada di bawah pengasuhan mantan suami tanpa dasar hak asuh yang sah.
Dengan penuh keprihatinan, LS menyuarakan harapannya agar pengadilan tidak menutup mata atas penderitaan yang dialami sebagai seorang ibu. Ia menegaskan bahwa perjuangannya bukan semata-mata demi hak hukum, tapi demi keselamatan, kesehatan, dan masa depan anaknya yang kini, menurut pengakuannya, telah berubah perilaku akibat diduga dicekoki obat keras tanpa sepengetahuan dan persetujuannya sebagai orang tua yang sah.
LS menyampaikan keprihatinan mendalam atas penundaan pembacaan putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara hak asuh anak dengan mantan suaminya, Danny Septriadi Djayaprawira.
Perkara ini bermula dari tindakan sepihak yang dilakukan oleh pihak mantan suami LS, yaitu membawa anak kandung mereka, GI, ke luar dari pengasuhan ibunya sejak usia 12,5 tahun tanpa dasar hukum yang sah. Padahal, berdasarkan Akta Kesepakatan Nomor 37 Tahun 2019, hak pengasuhan anak sepenuhnya berada di tangan LS sebagai ibu kandung. Dalam tindakan tersebut, anak di bawah umur tersebut juga dibawa ke psikolog forensik dan kemudian diberikan obat keras Cipralex dengan dosis tinggi secara berkelanjutan (10 mg lalu meningkat menjadi 15 mg per hari selama 1,5 tahun), tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan LS selaku wali sah.
Akibat dari tindakan sepihak ini, GI yang sebelumnya dikenal sebagai anak cerdas, berprestasi, dan sehat secara mental dan fisik, mengalami perubahan perilaku yang sangat mencolok: menjadi pendiam, mudah marah, tidak terurus secara fisik, bahkan mengalami kemunduran akademis dan sosial. LS juga mengalami pemutusan komunikasi total dengan anaknya sejak Juli 2023. Bahkan saat anak sakit, ia tidak diperkenankan menjenguk. Lebih jauh, ditemukan adanya indikasi tekanan berupa permintaan penyerahan surat warisan sebagai syarat bertemu anak, sebuah tindakan yang tidak etis dan menimbulkan dugaan kuat adanya manipulasi terhadap hak-hak keperdataan.
Semua tindakan yang dilakukan pihak mantan suami terhadap GI—dari mulai perampasan, pemberian obat keras tanpa izin, pemutusan akses komunikasi, hingga pengaruh buruk terhadap relasi ibu-anak—merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi anak dan perempuan, serta menciderai prinsip perlindungan anak dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan KUHPerdata terkait hak asuh orang tua kandung.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara didesak untuk menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum dengan segera memutus perkara ini secara objektif dan berpihak pada hak anak serta orang tua kandung yang sah. Penundaan putusan yang berlarut-larut hanya memperpanjang penderitaan seorang ibu dan membiarkan seorang anak berada dalam kondisi yang tidak jelas secara hukum maupun psikologis.
Semua pihak, khususnya institusi penegak hukum diminta untuk tidak abai terhadap penderitaan LS dan potensi kerugian jangka panjang yang dapat dialami GI. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang disangkal. Kini saatnya sistem hukum membuktikan keberpihakannya pada hak-hak sipil dasar yang dilindungi undang-undang.