REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu janji sentral yang diusung oleh pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Namun, saat memasuki tahun pertama implementasinya, inisiatif mulia ini menghadapi ujian yang tidak ringan. Mulai dari riuhnya perdebatan anggaran, inovasi menu, hingga yang paling krusial yaitu insiden keracunan yang sempat menghantui esensi keamanan pangan.
Menanggapi tantangan ini, pakar gizi dari IPB University, Prof Hardinsyah, mengatakan sukses atau gagalnya MBG dalam periode awal kepemimpinan ini akan ditentukan oleh disiplin pada tiga pilar utama yakni komposisi menu yang lengkap, efisiensi pengelolaan anggaran, dan ketatnya pengawasan di lapangan. Menurut dia, setiap porsi MBG idealnya mengandung empat komponen utama yakni makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah. la menyebut bentuk atau olahan makanan bisa beragam termasuk inovasi seperti burger dari tempe atau piza dari talas, asalkan tetap memenuhi nilai gizi dan menggunakan bahan yang sehat.
"Kalau misal kemarin ramai burger di menu MBG, saya kira ya jangan terlalu menutup diri karena ada kok burger yang bahannya dari tempe, saya pernah buat itu dan enak-enak saja. Bukan kayak burger di Barat. Jadi menurut saya, selama bahannya dari lokal bukan impor jangan dipermasalahkan," kata Prof Hardinsyah saat dihubungi Republika, Senin (13/10/2025).
Dia menilai anggaran MBG yang saat ini disiapkan pemerintah pada dasarnya sudah cukup untuk menyediakan menu bergizi bagi para siswa. Merujuk data Badan Gizi Nasional (BGN) biaya per porsi MBG di sebagian besar daerah yakni Rp10 ribu, sementara di daerah yang menghadapi tantangan logistik dan distribusi seperti Papua anggaran per porsinya bisa mencapai Rp60 ribu.
Prof Hardinsyah menjabarkan, dengan pengelolaan tepat, anggaran Rp10 ribu per porsi sudah mencukupi untuk menyajikan makanan bergizi. Untuk satu piring MBG, kata dia, kebutuhan berasnya sekitar 100 gram dengan kisaran harga Rp1.500.
Lalu misalnya ditambah satu butir telur senilai Rp2 ribu, potongan buah seperti pepaya atau semangka seharga Rp1.000, serta tempe dan sayur yang bisa diperoleh dengan biaya Rp500 hingga Rp1.000. Dengan komposisi tersebut, total biaya satu porsi hanya berkisar Rp6 ribu hingga Rp7.500.
"Jadi hitungan saya Rp7.500 lah, sisanya untuk distribusi. Tapi kalau di Papua pasti beda lagi, karena memang beberapa bahan pangan dan distribusinya yang mahal. Jadi dengan memang wajar anggaran per porsi MBG di sana lebih tinggi," kata dia.
Prof Hardinsyah juga menyoroti kasus keracunan makanan yang dialami ribuan siswa belum lama ini. la mengingatkan keamanan makanan harus menjadi prioritas utama, mulai dari proses pengadaan hingga penyajian.
"Tenaga yang masak harus punya keterampilan. Mereka perlu tahu cara menyimpan, mengolah, dan membagi makanan dengan aman. Peralatan dan air juga harus bersih. Jangan pakai sembarang air," ujar Prof Hardinsyah.
la juga mengingatkan pentingnya protokol kesehatan dalam pelaksanaan program, termasuk mengatur kondisi pekerja yang terlibat dalam pengolahan makanan. "Jadi jangan dianggap sepele nih, misalnya kalau petugas masak sedang sakit, jangan dibiarkan masuk dapur. Mereka harus istirahat dulu, karena bisa menularkan penyakit dan mengontaminasi makanan," kata dia.
Untuk memastikan keamanan pangan, Prof Hardinsyah pun mengimbau agar setiap petugas pengadaan berhati-hati dalam memilih mitra penyedia makanan. Mitra yang dipilih harus sudah tersertifikasi dan memenuhi standar keamanan serta kehalalan yang berlaku.
MBG anak kebutuhan khusus