PBB Alami Krisis Anggaran

2 days ago 15

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- PBB menghadapi krisis keuangan yang semakin memburuk dan mengancam berbagai program kemanusiaannya di seluruh dunia. Mulai dari bantuan bagi para pengungsi di Mozambik hingga layanan kesehatan untuk ibu di Afghanistan, sejumlah program vital terancam terhenti jika dana tidak segera tersedia.

Dikutip dari pernyataan PBB, Selasa (3/6/2025) per 9 Mei, negara-negara anggota PBB baru menyetor sekitar 1,8 miliar dolar AS dari total anggaran rutin PBB sebesar 3,7 miliar dolar AS untuk tahun 2025. Ditambah tunggakan dari tahun-tahun sebelumnya, jumlah keseluruhan dana yang belum dibayar mencapai sekitar 2,4 miliar dolar AS hingga akhir April tahun ini.

Amerika Serikat tercatat sebagai negara dengan tunggakan terbesar, yakni sekitar 1,5 miliar dolar AS. Hal ini terkait dengan pemerintahan Presiden Donald Trump yang sedang menahan dana sebagai bagian dari upaya AS dalam mengurangi pengeluaran negara.

Beberapa negara besar lain juga belum melunasi kewajibannya, di antaranya Cina sebesar 597 juta dolar AS, Rusia 72 juta dolar AS, Arab Saudi 42 juta dolar AS, Meksiko 38 juta dolar AS, dan Venezuela 38 juta dolar AS. Negara-negara anggota lainnya juga masih menunggak sekitar 137 juta dolar AS.

Anggaran PBB untuk misi penjagaan perdamaian juga mengalami krisis serupa, dengan total tunggakan mencapai 2,7 miliar dolar AS per 30 April. Di tengah kondisi ini, pada Maret lalu Sekretaris Jenderal PBB António Guterres meluncurkan inisiatif “UN80” yang bertujuan meningkatkan efisiensi, menyederhanakan sistem kerja, dan memangkas biaya.

Salah satu cara yang dipertimbangkan dengan melakukan pengurangan pekerja hingga 20 persen untuk mengurangi pembagian tugas kerja yang tumpang tindih. Krisis anggaran ini juga berdampak besar pada badan-badan PBB yang memiliki anggaran dan sumber dana tersendiri.

Salah satunya adalah UNFPA, badan PBB yang menangani isu kesehatan seksual dan reproduksi. UNFPA memperingatkan perempuan dan anak perempuan di wilayah krisis seperti Republik Demokratik Kongo, Haiti, Sudan, dan Afghanistan mulai merasakan dampaknya.

Pemangkasan dana membuat PBB kesulitan menyediakan tenaga medis, obat-obatan penting, serta layanan untuk korban kekerasan seksual. Di Mozambik, hampir 750 ribu pengungsi sangat membutuhkan bantuan.

Namun, UNHCR menyatakan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender terancam dihentikan karena dana yang tersedia baru mencakup sepertiga dari yang dibutuhkan. Program penanggulangan HIV/AIDS juga tidak luput dari ancaman.

Di Tajikistan, Direktur UNAIDS Aziza Hamidova mengungkapkan bahwa sekitar 60 persen dari dukungan dana untuk program HIV terancam hilang. Sejumlah pusat layanan kesehatan sudah tutup, kegiatan sosialisasi dihentikan, dan akses terhadap tes serta konseling PrEP telah menurun drastis.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) yang memimpin penanganan krisis global turut menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak besar dari kurangnya dana.

Di Sudan, hanya 13 persen dari total kebutuhan dana sebesar 4,2 miliar dolar AS yang sudah diterima. Akibatnya, sekitar 250 ribu anak harus putus sekolah. Di Kongo, kasus kekerasan berbasis gender melonjak hingga 38 persen, sementara layanan bantuan mulai ditutup.

Di Haiti, upaya penanggulangan wabah kolera terancam berhenti. Sementara itu di Ukraina, hanya 25 persen dari kebutuhan dana kemanusiaan yang sudah terpenuhi untuk tahun 2025, sehingga membahayakan keberlangsungan berbagai layanan penting.

Kepala OCHA sekaligus Koordinator Bantuan Darurat PBB, Tom Fletcher, telah mengumumkan pengurangan jumlah pekerja dan penghentian sejumlah program di beberapa negara akibat minimnya dukungan dana.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |