Pengabaian HAM, Krisis Lingkungan, dan Keadilan Gender

7 hours ago 9

Oleh : Ani Soetjipto; Guru Besar HI FISIP UI, Ketua cluster riset global governance, human rights and sustainability FISIP UI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana besar yang melanda Sumatra menjadi momen penting untuk menguji kepemimpinan Presiden Prabowo mulai dari kehadiran negara disaat situasi genting, hingga penanganan bencana yang terpadu, transparan, dan berkeadilan.

Dilaporkan oleh berbagai media bahwa lebih dari 1.000 nyawa hilang, ratusan ribu rumah mengalami kerusakan . Hingga hari ini masyarakat terdampak masih mengeluhkan sulitnya mengakses bantuan air bersih, bahan pangan, listrik, serta sebagian wilayah juga masih terisolasi akibat bencana. Mereka bahkan sudah mengibarkan bendera putih tanda keputusasaan. Hingga tulisan ini dibuat bencana sudah lebih dari sebulan berlalu.  Pemerintah masih bersikeras untuk tidak menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional.

Lonjakan korban jiwa akibat banjir dan longsor dahsyat di Sumatra, respons penanganan yang lamban, dan desakan peningkatan status ke bencana nasional bukan sekadar mengungkap kegagapan institusi negara.

Kasus bencana Sumatra ini memperlihatkan kemampuan negara menyelamatkan rakyatnya tidak sekuat yang kita duga. Negara tidak hadir dalam saat bencana terjadi untuk bergegas menyelamatkan nyawa sebanyak banyaknya dalam situasi paling parah.  Negara  terlihat lamban, tidak ada koordinasi, dan membuka tabir komunikasi yang buruk yang menjadikan bencana sebagai arena pencitraaan pejabat.

Dibalik peristiwa tersebut  bencana Sumatra ini sejatinya juga  menyingkap krisis struktural dalam pengelolaan sumber daya alam, kerentanan ekosistem yang terabaikan hingga disparitas akses mitigasi. Akibatnya, krisis kemanusiaan masif pun tercipta  yang dampaknya  juga semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial-ekonomi.

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menyoroti Asta Cita Presiden Prabowo Subianto sebagai manifestasi dari visi pemerintahan Prabowo-Gibran. Bagian kedua evaluasi atau catatan kritis setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, dan bagian ketiga membingkai analisis nya melalui konteks keadilan ekologis dan keadilan gender di Indonesia dalam teropong  nexus local-global  governance.

Asta cita

Pancasila, HAM, dan demokrasi sebagai pilar pertama (Asta Cita 1) adalah fondasi normatif yang menopang tujuh program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yang lain  yaitu kemandirian pangan,  energi, air, ekonomi kreatif,  ekonomi hijau, dan ekonomi biru (Asta Cita 2).

Pengentasan kemiskinan dilakukan melalui pemerataan ekonomi berbasis desa  (Asta Cita 6)  yang bermuara pada pendekatan inklusif hilirisasi dan industrialisasi untuk mendongkrak nilai tambah domestik (Asta Cita 5). Kesemuanya itu dirancang selaras dengan alam, lingkungan, dan budaya (Asta Cita 8), sehingga mencerminkan sintesis ideologi Pancasila dengan paradigma pembangunan berkelanjutan.

Peta jalan ini seharusnya bukan hanya janji kampanye politik tapi peta jalan yang akan memandu Indonesia ke tujuan adil makmur dan berdaya saing global.  Masa satu tahun pertama  idealnya menjadi fase krusial dalam menentukan  arah dan karakter bangsa ke depan. Periode ini tidak hanya berfungsi sebagai tahap konsolidasi dan penataan prioritas kebijakan tapi sejauh mana janji politik bisa diterjemahkan menjadi kerja nyata di lapangan yang berdampak positif bagi publik.

HAM dan Demokrasi

Menurut Amnesty International Indonesia ( 2025) , Kondisi HAM Indonesia mengalami erosi terparah yang dipicu oleh kebijakan otoriter, praktik politik yang represif, serta pembuatan regulasi populis tanpa partisipasi publik. Di ranah politik, sorotan utama mencakup remiliterisasi ruang sipil melalui revisi UU TNI, penulisan ulang sejarah, hingga pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Erosi hak sipil dan politik terlihat nyata dalam penggunaan kekerasan eksesif polisi-TNI terhadap demonstrasi damai penolakan UU TNI (Maret 2025), aksi tuntutan kesejahteraan buruh (Mei 2025), dan protes tunjangan DPR RI (Agustus 2025). Jurnalis serta pegiat adat pun menghadapi serangan, penangkapan, dan kriminalisasi digital melalui UU ITE.

Krisis lingkungan dan Pangan

Laporan WALHI (2025) menggambarkan pemerintahan Prabowo sebagai kelanjutan paradigma ekonomi ekstraktif. Ekstraktivisme disini dimaknasi bukan hanya sekedar persoalan rantai pasok dan degradasi lingkungan. Ekstraktivisme sesungguhnya mencakup siklus lengkap dari eksploitasi awal hingga pembuangan limbah industri.

Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan dengan pertumbuhan 8 persen dalam  lima tahun kedepan mendorong industrialisasi berbasis SDA, hilirisasi mineral, proyek kehutanan masif, hingga ekspansi food estate yang mengorbankan ekosistem.

Selama ini, diskursus ekstraktif terbatas pada fase eksplorasi semata. Kini, ekstraktivisme tampil sebagai siklus lengkap yang meresap sepanjang rantai nilai, dari ekstraksi hingga limbah, dengan dampak sistemik pada kehidupan manusia dan degradasi lingkungan.

Cita-cita transisi energi  yang pada  periode sebelumnya nyaring di dengungkan kini menguap, digantikan ekspansi masif industri ekstraktif yang dilindungi negara melalui pembangunan basis militer di zona-zona kritis: Papua, Morowali, NTT, hingga Maluku. Proyek strategis seperti lumbung pangan nasional di Merauke, tambang nikel di Halmahera Timur-Maluku Utara, geothermal Poco Leok NTT, serta tambang batubara lintas wilayah memicu konflik dengan masyarakat lokal dan adat, sekaligus memperparah kerusakan lingkungan.

Pendekatan ini mengabaikan daya dukung ekosistem, mempercepat deforestasi dan krisis iklim; food estate Merauke yang membuka dua juta hektar hutan adat menggusur masyarakat Malind serta komunitas adat lainnya,  menghilangkan identitas budaya mereka sekaligus meningkatkan emisi CO₂ jutaan ton per tahun (WALHI, 2025). COP 30 (UN Climate Change Conference ) terbukti gagal karena iklim memburuk, sementara perdagangan karbon justru menjadi alat legitimasi kerusakan eksternal.

Keadilan gender dan perempuan dalam krisis pangan dan krisis iklim

Solidaritas Perempuan menyoroti bagaimana kebijakan pangan dan agraria pemerintahan ini semakin menjauh dari prinsip keadilan gender. Program food estate memperkuat kontrol negara  dan korporasi atas sumber agraria, meminggirkan perempuan sebagai pelaku utama produksi dan pengelolaan pangan keluarga (Solidaritas Perempuan, 2025).

Kebijakan berbasis industri skala besar mengabaikan keberlanjutan ekosistem serta pengetahuan lokal perempuan tentang benih, lahan, dan tanaman asli, sehingga perempuan petani kehilangan akses tanah serta sumber pangan, dan terpaksa beralih menjadi buruh murah di korporasi.

Nexus local- global

Tata kelola global yang dibangun pasca-Perang Dunia II bertumpu pada cita-cita kesejahteraan, perdamaian, dan demokrasi. Lebih dari 70 tahun kemudian, janji tersebut pupus; ketimpangan global membengkak, sementara negara berkembang terperangkap krisis utang. Akumulasi utang ini menghambat pembiayaan pembangunan, memperlebar jurang antara negara kaya dan miskin.

Selain ketimpangan ekonomi dan krisis utang, krisis iklim global juga makin memburuk dengan dua pertiga pendanaan iklim berbentuk utang (INFID, 2025) sehingga  menambah beban keuangan negara berkembang. Tata kelola global yang rapuh memperburuk tantangan bagi Indonesia dan negara berpenghasilan menengah lainnya dalam navigasi krisis multidimensional.

 Indonesia sebagai anggota G20—bersama negara ‘ borrowing countries’ yang lain dalam klub ini aktif mendorong reformasi institusi ekonomi global. Keketuaan negara negara Global South sejak 2022 (Indonesia 2022, India 2023, Brasil 2024, Afrika Selatan 2025), aktif mendorong  beragam agenda untuk reformasi institusi ekonomi global seperti  pembiayaan iklim dan transisi energi (Afsel), arsitektur kesehatan global (Indonesia), pajak orang kaya (Brasil), dan penuntasan utang (Afsel 2025).

Kepresidenan  G20 akan  berputar kembali ke negara Global North dengan tuan rumah AS (2026) dan Inggris (2027).   Kepemimpinan G20 kembali ke negara global north sejatinya menguji ketahanan agenda anti-krisis yang dibangun G20 untuk mencegah kehancuran keuangan global.

Pada awal 2025 di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Indonesia bergabung dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan), yang kini meluas mencakup Arab Saudi, Mesir, UEA, Ethiopia, serta Iran. Sebagai blok ekonomi paralel dengan G20.  BRICS menawarkan akses pasar luas, pendanaan investasi melalui NDB (New Development Bank), percepatan transisi energi-teknologi, pengembangan industri strategis baterai-nikel, serta diversifikasi mitra dagang. Keanggotaan ini ditujukan untuk memperkuat politik luar negeri bebas-aktif Indonesia, meningkatkan posisi tawar di forum global, dan navigasi persaingan geopolitik yang makin kompleks.

Dalam peta geopolitik global, keanggotaan Indonesia di BRICS menjadi wadah strategis untuk akses pasar, pendanaan investasi, pengembangan industri strategis, dan transisi energi. Hal ini relevan di tengah kemunduran peran Amerika Serikat sebagai aktor dominan ekonomi dunia. Indonesia kaya sumber daya alam namun tidak mampu mengolah sumber daya alam , minim dana pembangunan, dan terhambat kendala industrialisasi.

BRICS serta G20 pun menjadi ruang manuver krusial untuk tutup celah struktural tersebut. Namun resonansi positif peran ini bergantung pada kondusifitas situasi  domestik, karena kondisi global yang dinamis menuntut kestabilan dalam negeri.

Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran justru menampilkan erosi HAM, supremasi sipil yang pudar, remiliterisasi menyerupai otoritarianisme, kabinet gemuk,  program yang tidak efisien, serta salah urus prioritas. Akibatnya, Indonesia gagal bergerak lincah dan adaptif di panggung internasional, menjadikan potensi BRICS sia-sia tanpa reformasi di ranah domestik.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |