Ibnu Azka
Agama | 2025-03-07 09:36:34
Perdebatan tentang kebolehan perempuan tampil di mimbar masjid belakangan mencuat lagi ke publik. Apalagi momentum ramadhan memang erat kaitannya sebagai bulan dakwah, dan dalam praktiknya dipastikan masjid-masjid setelah melaksanakan shalat isya, melanjutkan dengan rangkaian ceramah agama atau yang lebih populer disebut ceramah tarawih.
Umumnya masjid-masjid di Indonesia sudah memiliki susunan penceramah ramadhan di setiap malamnya, tetapi ada juga masjid yang secara struktural tidak memiliki jadwal para penceramah, artinya pelaksananannya dilakukan secara dinamis, bagi yang mau mengisi ceramah diperbolehkan, selama tetap memegang prinsip syariat, salah satunya berpakaian yang sopan.
Dalam Islam, penyebaran ilmu dan dakwah pada prinsipnya tidak dibatasi oleh gender. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang sama untuk menyampaikan kebaikan. Meskipun dalam praktiknya ada perbedaan sebahagian ulama mengenai hal ini, khususnya perihal ruang dan batasan tertentu bagi perempuan untuk menyampaikan ceramah, utamanya di masjid.
Dalam khazanah fiqih klasik, ada pandangan yang membedakan antara peran perempuan dalam ibadah ritual seperti shalat berjamaah dan perannya dalam menyampaikan ilmu agama. Beberapa ulama cenderung membatasi partisipasi perempuan dalam ruang publik keagamaan dengan alasan menjaga adab dan menghindari fitnah, misalnya Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ia berpendapat bahwa suara perempuan itu memiliki potensi fitnah, sebab perempuan biasanya mengartikulasikan suara dengan nada yang mendayu-dayu (baca:istilah populer). Namun, ulama lain, terutama dalam tradisi fiqih mazhab seperti Imam Syafii, dalam kitabnya Al-Umm, justru secara tegas mengakui peran perempuan dalam peradaban keilmuan Islam, termaksud sebagai guru bagi laki-laki. Sehingga dalam hal ini, penulis berargumen tidak ada konsensus secara eksplisit dari para ulama mengenai adanya larangan yang jelas bagi perempuan untuk memberikan ceramah agama selama tetap menjaga etika dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariat.
Perempuan dan Peradaban Keilmuan Islam
Selain aspek teologis, faktor sosial dan budaya juga turut mempengaruhi bagaimana peran perempuan dalam dakwah diterima oleh masyarakat. Di beberapa komunitas, masih ada anggapan bahwa masjid adalah ruang yang lebih diperuntukkan bagi laki-laki, meskipun secara historis perempuan juga memiliki akses untuk berbicara di atas mimbar masjid.
Jika menelusuri sejarah Islam, ada banyak tokoh-tokoh perempuan yang memiliki latarbelakang keilmuan mumpuni dalam agama, sebut saja Aisyah RA, Ummu Salamah, Asma binti Abu Bakar, Ummul Fadhl Biba Al-Harawiyah dan masih banyak lagi, mereka tak hanya menghafal hadist, tetapi juga menjadi penghafal Al-Qur’an pada masanya.
Di Indonesia misalnya Ustadzah yang cukup populer juga aktif berceramah ada Ustadzah Oki Setiana Dewi, Ustadzah Ummi Pipik, dan Mamah Dedeh. Mereka-mereka inilah bukti bahwa pengetahuan dan mimbar agama itu tidak memiliki gender superior. Fakta inilah yang menunjukkan bahwa peran perempuan sangat diperhitungkan dalam khazanah keilmuan dalam sejarah peradaban umat Islam di dunia, mereka tak hanya menjadi guru bagi para laki-laki, namun juga menjadi sumber inspirasi untuk terus belajar.
Di era kontemporer, ulama yang cukup mashur seperti Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh Al-Mar’ah dan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar cenderung memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan dalam berdakwah. Pandangan mereka berdua tentang perempuan berceramah cukup progresif dan terbuka dibandingkan dengan ulama konservatif.
Ia melihat perempuan sebagai bagian penting dalam dakwah Islam dan mendorong mereka untuk aktif dalam menyebarkan ilmu agama. Namun, mereka menggaris bawahi tentang pentingnya adab dan etika dalam berbicara di ruang publik. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa selama ceramah yang disampaikan berorientasi untuk menyebarkan ilmu dan meningkatkan pemahaman keagamaan, maka tidak ada dalil yang melarangnya.
Argumen ini diperkuat dengan fakta bahwa dalam banyak masyarakat Muslim, perempuan telah lama aktif dalam pengajian dan majelis taklim, serta memiliki banyak audiens ketika menyampaikan ceramah keagamaan baik di mimbar masjid, platform media sosial, juga yang belakangan mulai ekspansi ke hotel-hotel.
Lalu mengapa ketika ada perempuan naik ke mimbar masjid menyampaikan dakwah masih diperdebatkan? Hal itu didasari tak lain dari pemahaman fiqih, interpretasi dalil, dan perkembangan sosial dalam masyarakat Muslim. Sebagian besar resistensi terhadap perempuan penceramah bukan berasal dari teks keagamaan yang eksplisit, melainkan dari konstruksi budaya yang mengakar di masyarakat.
Dalam beberapa komunitas, masjid dianggap sebagai ruang yang lebih diperuntukkan bagi laki-laki, sementara perempuan diharapkan lebih banyak bergumul di lingkaran domestik atau pengajian khusus perempuan. Padahal, Islam sendiri tidak membatasi perempuan untuk menyampaikan ilmu di depan umum, selama mereka menjaga adab dan etika yang sesuai dengan ajaran Islam.
Jika kita kembali kepada prinsip dasar Islam yang menekankan pentingnya ilmu dan penyebarannya, maka membatasi perempuan dalam berdakwah justru bertentangan dengan semangat Islam itu sendiri. Ilmu tidak mengenal gender, dan siapa-pun yang memiliki pemahaman yang baik seharusnya diberikan kesempatan untuk menyebarkannya kepada umat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.