Heni Nuraeni
Info Terkini | 2025-02-11 17:06:58
Oleh : Heni Nuraeni
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) pada 2025. Dalihnya untuk menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih objektif dan inklusif bagi semua calon siswa. Dalam keterangannya, Kemendikdasmen menyatakan bahwa SPMB memiliki 4 jalur masuk, yaitu terdiri dari jalur domisili, jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur mutasi. Jalur domisili merupakan pengganti dari jalur zonasi, yaitu diperuntukkan bagi calon siswa yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang ditetapkan pemerintah daerah sesuai kewenangannya.Jalur afirmasi diperuntukkan bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Sementara jalur prestasi untuk calon siswa yang memiliki prestasi di bidang akademik dan nonakademik. Adapun jalur mutasi bisa digunakan calon siswa yang pindah domisili karena perpindahan tugas dari orang tua atau wali serta untuk anak guru (tirto.id, 1/2/2025).
Kebijakan ini digadang-gadang mampu membuka kesempatan lebar bagi siswa karena memiliki beberapa jalur masuk ke sekolah. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan: bagaimana memastikan sistem ini benar-benar adil? Apakah jalur ini akan membuka peluang yang lebih luas atau justru menjadi celah baru bagi praktik manipulasi seleksi? Apabila kita melihat ke belakang, sudah berkali-kali negeri ini berganti kebijakan terkait pendidikan. Mulai dari pergantian kurikulum, seleksi PTN, hingga yang terbaru adalah seleksi penerimaan murid baru. Namun faktanya, problem klasik di dunia pendidikan belum benar-benar terselesaikan. Seolah-olah, hanya berganti nama saja, namun praktiknya hampir sama dengan sebelumnya.
Bila diteliti lebih dalam, problem pendidikan hari ini adalah tidak meratanya pendidikan hingga ke daerah pelosok. Selama ini, sekolah-sekolah masih terpusat di perkotaan atau di kecamatan yang padat penduduk. Alhasil, masih ada siswa yang tidak bisa mengikuti sistem zonasi atau domisili sebab daerahnya tidak memiliki sekolah. Maka, problem yang perlu dituntaskan adalah pemerataan institusi pendidikan agar apa pun sistem penerimaan siswa yang diterapkan, semua bisa mengaksesnya.
Problem lain adalah kecurangan. Tidak sedikit orang tua yang rela membayar pungli hingga jutaan rupiah dan melakukan pelanggaran pidana manipulasi data serta dokumen kependudukan. Semua ini agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang terkenal favorit dan memiliki fasilitas terbaik di kotanya. Namun, lagi-lagi problem kecurangan ini juga terkait dengan ketidakmerataan fasilitas pendidikan. Adanya ketimpangan fasilitas pendidikan di kota dan di desa menyebabkan orang tua berlomba-lomba untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit di kota dengan harapan bisa mendapatkan fasilitas terbaik dan karir yang jelas.
Sungguh, paradigma kapitalisme yang memandang hidup sebagai jalan memperoleh keuntungan materi sebesar-besarnya, justru membuat kacau dunia pendidikan. Sebab, sebenarnya pendidikan memiliki misi agung sebagai pencetak generasi berkualitas penerus peradaban mulia. Akan tetapi, semenjak hadirnya sistem kapitalisme, pendidikan tak ubahnya menjadi ceruk bisnis para pemilik modal (kalangan borjuis, berduit).Bahkan bisa dikatakan, seluruh problem yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini merupakan buah dari penerapan sistem sekulerisme kapitalisme. Ketidakmerataan pendidikan dan merosotnya visi generasi yang hanya berkutat pada pemenuhan kantong pribadi, adalah buah busuk dari sistem ini.Nampak jelas, dalam sistem ini, negara selalu berusaha berlepas tangan dari kewajibannya sebagai pengurus rakyat. Pendidikan yang seharusnya hak bagi seluruh rakyat, akan tetapi hari ini hanya dapat di enyam oleh orang-orang kota atau berduit. Bahkan, penyelenggaraan pendidikan —bersama dengan kesehatan— bukan lagi menjadi prioritas pertama di negeri ini. Sungguh miris bukan?
Berbeda jauh dengan paradigma Islam dalam mengelola pendidikan. Dalam Islam, pendidikan bersama dengan kesehatan dan keamanan, merupakan hak bagi setiap warga negara baik kaya maupun miskin, pintar atau tidak. Maka, pemenuhan atas hal ini wajib dijamin oleh negara secara gratis. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berkualitas mulai dari kurikulum, pengajar, media, infrastruktur, hingga pembiayaannya. Dengan begitu, seluruh rakyat tanpa terkecuali (kaya, miskin, tinggal di desa, di kota) dapat menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi.Terlebih lagi, sistem pendidikan Islam ini berasaskan akidah Islam. Sehingga, tujuan dan kurikulum pendidikannya juga disusun berdasarkan akidah Islam juga.
Tidak ada namanya gonta-ganti kurikulum seperti hari ini, karena sudah memiliki kurikulum yang tetap. Selain itu, pendidikan dalam Islam bukanlah bertujuan semata-mata untuk mencetak generasi ber intelektualitas tinggi ataupun sekedar mencetak generasi yang berorientasi materi. Namun, pendidikan dalam Islam dikaitkan dengan misi penciptaan di muka bumi.Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencetak generasi berkepribadian Islam, yaitu generasi yang memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) islam.
Dengan begitu, mereka mampu menyelesaikan problem hidupnya dengan sudut pandang Islam. Terlebih lagi, pendidikan juga bertujuan untuk membentuk generasi yang menguasai tsaqafah islam dan iptek. Sehingga, mereka akan menjadi ulama dan ilmuwan yang selalu berusaha memberikan karya terbaiknya untuk umat.Konsep ini dipahami oleh pemimpin negara dan ia akan menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Sebab dalam Islam, tugas penguasa adalah pemelihara dan pelindung rakyatnya. Amanahnya sebagai penguasa akan berkaitan dengan tanggungjawabnya di kehidupan yang lebih abadi kelak. Penguasa akan takut bila abai dan lalai terhadap tugas-tugasnya.Sebagai gambaran, Khalifah Al-Muntahsir Billah di kota Baghdad pernah mendirikan Madrasah al-Muntashiriah. Di sekolah ini, para siswa diberi fasilitas terbaik secara gratis, seperti alat tulis, perpustakaan, asrama, rumah sakit, dan pemandian. Bahkan, para siswa juga diberi beasiswa berupa emas seharga 1 dinar per bulan (kurang lebih Rp 4juta dalam kurs sekarang).
Maka tak heran, dalam Khilafah Islamiyah, banyak terlahir ulama sekaligus ilmuwan yang selalu mengabdikan dirinya untuk Islam. Mereka berkarya dengan dorongan iman, yaitu agar dapat meraih amal jariyah. Berbeda jauh dengan generasi hasil sistem pendidikan sekuler saat ini, mereka berkarya hanya sebatas untuk memenuhi kantong pribadi.Sistem pendidikan yang berkualitas dan gratis ini tentu saja ditopang oleh sumber pendanaan yang besar, beragam, dan stabil. Salah satu sumbernya adalah kekayaan alam yang termasuk dalam kepemilikan umum. Seluruh kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut akan dikelola secara mandiri oleh negara dan tidak akan diserahkan kepada swasta. Kemudian, hasil pengelolaan kekayaan alam tersebut akan diberikan untuk kemaslahatan rakyat, salah satunya pendidikan.
Alhasil, negara mampu mewujudkan layanan pendidikan terbaik, gratis, dan dapat diakses setiap individu rakyat.Sungguh, tidakkah kita rindu dengan peradaban mulia yang mampu mencetak generasi berkualitas tersebut? Marilah kita bergabung dengan rombongan orang-orang yang memperjuangkan agama Allah, yaitu dengan mengkaji Islam secara kaffah dan mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam bishawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.