Sudah Antre Bantuan Makanan, Nyawa Warga Gaza Ikut Jadi Taruhan

8 hours ago 5
Anak-anak Gaza ikut bertaruh nyawa hanya demi mendapat bantuan makanan. Anak-anak Gaza ikut bertaruh nyawa hanya demi mendapat bantuan makanan.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Menyantap makanan sehari dua sampai tiga kali, mungkin menjadi kebiasaan sehari-hari bagi kebanyakan manusia di dunia.

Tetapi, itu tidak berlaku di Jalur Gaza. Bagi ratusan warga Palestina yang kelaparan, mereka harus rela mengantre panjang. Bahkan, mempertaruhkan nyawa hanya demi menerima bantuan sekarung makanan.

Terutama di Jalur Gaza selatan, khususnya di daerah Rafah, pusat distribusi bantuan yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF) justru berubah menjadi kill zone.

Tempat mereka ditembak atau terinjak dalam kekacauan hanya untuk bertahan hidup.

Kementerian Kesehatan di Gaza telah mengeluarkan peringatan mendesak tentang bencana kelaparan dan pembantaian mematikan.

Ancaman itu menargetkan ribuan warga sipil yang kelaparan di dekat pusat distribusi bantuan Amerika, yang secara lokal digambarkan sebagai "jebakan maut".

Dalam pernyataan yang dirilis Sabtu, menukil laporan Days of Palestine, Kementerian Kesehatan mengatakan Jalur Gaza menghadapi bencana kelaparan yang nyata dan semakin parah.

Hal ini ditandai dengan kekurangan pasokan pangan pokok yang parah dan peningkatan tajam malnutrisi akut. Krisis ini juga diperparah dengan runtuhnya total kemampuan medis untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan kelaparan.

Pada 12 Juli 2025, puluhan warga dilaporkan menjadi korban penembakan saat menunggu pembagian bantuan di titik distribusi GHF yang mendapat dukungan dari Israel dan Amerika Serikat.

Para korban dievakuasi ke klinik Palang Merah di Rafah, namun banyak yang tak tertolong.

Laporan investigasi Al Jazeera yang dinukil Republika, menganalisis citra satelit pada 13 Juli 2025 lalu mengungkap betapa mematikannya perjalanan menuju titik distribusi bantuan GHF di kawasan Shakoush, Rafah.

Warga yang kelaparan harus berjalan 1,5 kilometer tanpa kendaraan menuju pusat distribusi, melewati penghalang militer, kendaraan lapis baja, serta pantauan pesawat nirawak (drone) Israel.

Mereka yang datang terlalu awal, untuk mengamankan posisi, sering kali harus menunggu selama 12 hingga 24 jam tanpa perlindungan di tengah panas yang menyengat.

Banyak dari mereka berlindung di “al-Joura”, sebuah lubang pasir di antara bukit-bukit, tempat di mana kerumunan berharap terhindar dari peluru sebelum mendekati pusat bantuan.

Namun, “sinyal mulai” dari drone bukan jaminan keselamatan. Laporan saksi mata menyebutkan, banyak warga ditembaki bahkan sebelum mendekati gerbang distribusi. Video yang beredar pada 14 Juli 2025 menunjukkan penembakan ke arah warga yang berkumpul di al-Joura.

Pada 12 Juli saja, sebanyak 34 orang tewas saat menunggu bantuan dari GHF. Jurnalis pengungsi asal Rafah, Muhannad Qeshta, menggambarkan kekacauan di pusat distribusi, dimanabtidak ada jadwal jelas, tidak ada sistem antrean, hanya meja-meja dengan bantuan makanan yang ditumpuk sembarangan.

Suasana panik tak terhindarkan, warga saling dorong, berebut, bahkan berkelahi. Banyak yang pulang dengan tangan hampa. Yang berhasil pun harus kembali melewati jalur penuh ancaman, melewati kerumunan orang kelaparan yang putus asa.

Bahkan, mereka yang berhasil sampai ke gerbang bantuan pun tidak luput dari kekerasan. Video menunjukkan tentara Israel menyemprotkan gas merica ke warga Palestina yang mendekati pusat distribusi.

Days of Palestine, pada Senin (21/7/2025) melaporkan Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA) mengeluarkan peringatan keras.

UNRWA menyebut Israel sengaja membuat warga sipil di Gaza, termasuk lebih dari satu juta anak-anak, kelaparan. Zionis Isarel telah menghalangi pengiriman penting makanan, susu formula bayi, dan obat-obatan ke wilayah yang terkepung tersebut.

“Orang-orang kelaparan,” kata Wakil Direktur Program Pangan Dunia, Carl Skau, setelah kunjungan baru-baru ini ke Kota Gaza.

"Ini yang terburuk yang pernah saya lihat. Seorang ayah yang saya temui telah kehilangan 25 kg hanya dalam dua bulan. Orang-orang kelaparan, sementara kami punya makanan di seberang perbatasan."

Dalam laporan terbarunya, Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan bahwa dalam 24 jam terakhir saja, 31 orang tewas dan 107 luka-luka saat mencoba mengakses bantuan. Total korban "korban bantuan" kini mencapai 922 jiwa meninggal dan 5.861 luka-luka.

Pada 16 Juli, setidaknya 21 warga Palestina tewas terinjak-injak saat kerumunan berebut jatah makanan.

Krisis kemanusiaan di Gaza mencapai titik nadir. Satu dari lima warga Gaza kini menghadapi kelaparan parah, sementara 93 persen populasi menderita kekurangan pangan akut akibat blokade Israel.

GHF, Proyek Politis yang Langgar Prinsip Kemanusiaan

GHF dibentuk Israel dengan alasan mencegah bantuan jatuh ke tangan Hamas. Namun, tak ada bukti kuat yang mendukung klaim tersebut. Sebaliknya, lembaga-lembaga kemanusiaan internasional mengecam GHF sebagai proyek politis yang melanggar prinsip dasar kemanusiaan.

Kepala Kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, menyebut GHF sebagai alat “penekan politik” yang menjadikan bantuan sebagai senjata perang dan memperpanjang penderitaan rakyat Gaza.

Sebelas organisasi hak asasi manusia juga menyatakan, GHF dipimpin tokoh-tokoh keamanan dan militer Barat yang memiliki agenda politik serta berkoordinasi langsung dengan pemerintah Israel.

GHF tak hanya gagal memberi bantuan secara adil dan efektif, tetapi telah menjadikan penderitaan warga Gaza sebagai tontonan sinis dan ladang pembantaian.

"GHF sebuah proyek yang dipimpin oleh tokoh-tokoh keamanan dan militer Barat yang memiliki koneksi politik, dan dikoordinasikan bersama-sama dengan pemerintah Israel," kata sebelas organisasi HAM dikutip dari Al Jazeera, Senin (21/7/2025).

Zionis Tutup Sumber Air bagi Ratusan Ribu Warga

Pada Selasa (22/7/2025), Days of Palestine, mewartakan pasokan air penting yang melayani lebih dari 100 ribu warga Palestina telah ditutup sepenuhnya.

Itu terjadi setelah serangan sistematis terhadap infrastruktur vital oleh pemukim Israel.

Perusahaan Air Minum Kegubernuran Yerusalem mengumumkan pada hari Senin bahwa mereka terpaksa menghentikan semua operasi pemompaan di fasilitas Ain Samia, yang terletak di sebelah timur Kafr Malik di wilayah timur laut Ramallah.

Perusahaan air minum tersebut menyatakan telah kehilangan kendali teknis dan administratif penuh atas sistem air setelah serangkaian serangan terkoordinasi terhadap jaringan listrik, peralatan pompa, dan sistem pengawasan.

Serangan itu telah mengganggu layanan internet dan telekomunikasi di seluruh wilayah, sehingga membahayakan akses tim teknis ke lokasi dan upaya perbaikan.

Insiden terbaru pada hari Ahad menyebabkan pemukim merusak kamera keamanan dan infrastruktur air penting di fasilitas tersebut.

Ain Samia menjadi pilar utama pasokan air di wilayah itu, dengan lima sumur aktif yang kedalamannya berkisar antara 100 hingga 500 meter.

Fasilitas ini menghasilkan sekitar 12.000 meter kubik air setiap hari, sekitar 17% dari seluruh air yang dikelola Dinas Air Kegubernuran Yerusalem.

Penutupan ini berdampak langsung pada 19 komunitas Palestina, termasuk Deir Dibwan, Burqa, Beitin, dan Al-Taybeh.

Sebanyak 14 wilayah lainnya menerima air melalui koneksi ke Stasiun Ramallah, termasuk Kamp Pengungsi Jalazone dan Universitas Birzeit.

Secara total, sistem Ain Samia melayani sekitar 110.000 orang, baik secara penuh maupun sebagian.

Pejabat perusahaan air minum telah mengeluarkan imbauan mendesak kepada organisasi lokal dan internasional, menyerukan intervensi segera untuk melindungi sumber daya air Palestina.

Mereka memperingatkan bahwa serangan yang berkelanjutan dapat memicu bencana kemanusiaan, yang berpotensi merampas hak dasar lebih dari 70.000 penduduk untuk mendapatkan air bersih.

Kepentingan strategis fasilitas ini melampaui area layanan langsungnya, karena membantu menjaga tekanan air dan stabilitas pasokan di wilayah utara dan timur provinsi Ramallah dan Al-Bireh.

Para pejabat mengatakan serangan itu bagian dari kampanye sabotase sistematis.

Mereka menyerukan tekanan internasional menghentikan apa yang mereka sebut sebagai penargetan yang disengaja terhadap infrastruktur sipil, yang penting bagi kehidupan sehari-hari.

Otoritas air menekankan pemulihan layanan tidak hanya bergantung pada perbaikan peralatan yang rusak, tetapi juga memastikan keselamatan personel teknis.

Terutama bagi mereka yang harus mengakses fasilitas terpencil melakukan operasi pemeliharaan dan pemantauan.

Mila

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |