Vera Astuti
Pendidikan dan Literasi | 2025-02-11 17:29:39

Dunia pendidikan selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan netizen setiap harinya. Hal ini tidak terlepas dari peran pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara yang idealnya dapat diakses secara merata. Namun, kenyataannya hingga saat ini, akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih menjadi permasalahan utama. Ketimpangan ini berdampak pada rendahnya indeks pembangunan manusia dan tingginya ketergantungan terhadap tenaga kerja asing. Sistem pendidikan yang ada saat ini justru mendorong lulusannya untuk sekadar menjadi tenaga kerja bagi kepentingan korporasi, sehingga slogan yang sering digaungkan adalah "kerja, kerja, dan kerja." Oleh karena itu, perlu adanya analisis mendalam terhadap akar permasalahan dalam dunia pendidikan, bukan hanya sekadar mencari solusi sementara yang justru memunculkan problematika baru.
Salah satu aspek yang saat ini mendapat banyak kritik dari masyarakat adalah sistem penerimaan siswa baru. Pemerintah kembali melakukan perubahan pada mekanisme seleksi siswa untuk tahun ajaran mendatang. Sistem zonasi yang digunakan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan digantikan dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026. Perubahan ini diklaim bertujuan untuk menciptakan sistem penerimaan yang lebih transparan, objektif, akuntabel, serta lebih inklusif bagi semua calon peserta didik. Namun, yang menjadi pertanyaan utama adalah apakah perubahan ini benar-benar mampu menyelesaikan masalah yang sudah ada, terutama jika akar permasalahannya tidak disentuh secara mendalam?
Upaya pemerintah dalam mengubah sistem penerimaan siswa baru yang diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai permasalahan sebelumnya justru menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak pihak yang skeptis terhadap kebijakan ini karena dianggap tidak benar-benar menyelesaikan permasalahan mendasar dalam dunia pendidikan. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat pemerintah sering kali melakukan perubahan kebijakan tanpa adanya transformasi substansial yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Salah satu perubahan utama yang diusung dalam SPMB adalah penggantian sistem zonasi dengan sistem domisili. Jika sebelumnya sistem zonasi berbasis pada jarak antara tempat tinggal siswa dengan sekolah, maka sistem domisili lebih menitikberatkan pada wilayah administratif yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Perubahan ini diklaim sebagai solusi untuk meningkatkan pemerataan akses pendidikan dan mengurangi kesenjangan yang terjadi di antara sekolah-sekolah yang berbeda statusnya.
Namun, meskipun sistem domisili diharapkan dapat memperbaiki kekurangan sistem zonasi, kenyataannya masih terdapat celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak sedikit orang tua yang memanipulasi data atau menggunakan alamat fiktif agar anaknya dapat diterima di sekolah tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, pihak sekolah sendiri diduga turut serta dalam praktik tersebut, baik karena kelalaian maupun faktor kesengajaan yang melibatkan gratifikasi. Jika praktik semacam ini terus berlangsung tanpa pengawasan yang ketat, maka permasalahan penerimaan siswa baru akan terus berulang setiap tahunnya.
Regulasi baru yang seharusnya menjadi solusi atas permasalahan sistem pendidikan justru terbukti tidak memberikan perubahan yang signifikan. Praktik-praktik tidak etis masih terus berlangsung, bahkan semakin marak. Demokrasi sebagai sistem yang diterapkan dalam tata kelola pendidikan justru membuka ruang bagi terjadinya berbagai bentuk penyimpangan, karena orientasi utama yang diusung lebih mengarah pada kepentingan individu dan kelompok tertentu dibandingkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu bukti kegagalan sistem pendidikan saat ini adalah ketidakmampuannya dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, baik dari sisi tenaga pendidik maupun peserta didik. Kasus viral yang memperlihatkan seorang guru lalai dalam menjalankan tugasnya hingga menyebabkan kegagalan siswa SMA dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi adalah contoh nyata dari problematika yang ada. Guru tersebut lebih aktif di media sosial dibandingkan menjalankan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Ketika pendidiknya mengalami degradasi moral dan profesionalisme, maka dapat dipastikan peserta didiknya pun akan mengalami hal yang serupa.
Fenomena ini semakin menguatkan fakta bahwa sistem pendidikan yang berada di bawah naungan sistem demokrasi telah gagal menciptakan pemerataan kualitas pendidikan. Selama masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam mutu pendidikan antarwilayah, maka selama itu pula masyarakat akan terus mencari cara agar anak-anak mereka dapat mengakses sekolah-sekolah terbaik. Demokrasi sebagai sistem yang diterapkan dalam tata kelola pendidikan terbukti belum mampu menjawab permasalahan mendasar ini.
Untuk mengatasi permasalahan yang berlarut-larut dalam sistem pendidikan, diperlukan reformasi yang lebih mendasar dan menyentuh akar permasalahan secara langsung. Perbaikan sistem pendidikan tidak hanya bisa dilakukan dengan mengganti kebijakan di tingkat teknis, tetapi juga harus menyentuh aspek fundamental yang lebih luas. Salah satu alternatif solusi yang dianggap mampu menjawab tantangan ini adalah penerapan sistem pendidikan berbasis nilai-nilai Islam. Sebagai sistem yang bersumber dari aturan Allah, Islam memiliki konsep pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada keberhasilan akademik, tetapi juga mencetak generasi yang unggul secara moral, spiritual, dan intelektual. Dengan pendekatan ini, diharapkan sistem pendidikan dapat benar-benar menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.