REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Di tengah era ketika kuliah terasa seperti kemewahan dan beasiswa dianggap seperti warisan kakek yang langka, Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Karawang justru datang dengan kabar baik.
Semacam kabar gembira dari langit yang diturunkan ke Aula kampus mereka. Judulnya sederhana, tapi isinya berat dan penuh harapan: “Tips Meraih Beasiswa di Perguruan Tinggi.”
Pagi itu, Selasa, 2 Juli 2025, aula kampus UBSI Kampus Karawang mendadak ramai. Bukan karena ada bazar makanan Korea atau panggung akustikan, tapi karena seminar parenting yang digelar justru ngulik hal paling sensitif dalam urusan pendidikan, yaitu biaya kuliah.
Pukul sembilan pagi, orang tua dan calon mahasiswa berdatangan. Yang satu pakai batik, yang lain pakai jaket almamater bekas kakaknya.
Ada yang datang bareng, ada yang duduk terpisah, mungkin biar nggak malu kalau nanti ketahuan salah jawab pas sesi tanya jawab. Tapi semuanya datang dengan satu tujuan yang sama, yakni cari celah, cari strategi, cari harapan untuk bisa kuliah tanpa harus menyekolahkan motor atau gadai sertifikat rumah.
Suasana aula padat tapi adem. Para peserta baik anak-anak SMA/SMK maupun para orang tua yang mukanya campur antara deg-degan dan penasaran disuguhi paparan yang bukan cuma informatif, tapi juga membumi.
Mulai dari pemetaan jenis-jenis beasiswa, perbedaan jalur masuk PTN dan PTS, sampai cara nulis surat motivasi yang bikin panitia beasiswa bisa mewek atau minimal terkesan.
Yang bikin acara ini menarik bukan cuma karena info beasiswanya lengkap, tapi karena ada simulasi langsung pengisian formulir. Di sinilah biasanya realitas dan ekspektasi bertemu. Awalnya pede karena peringkat paralel di sekolah, mendadak mikir keras waktu diminta bikin narasi pribadi.
Tadinya niat daftar KIP-Kuliah, malah baru paham kalau surat keterangan tidak mampu itu bukan cuma tulisan “penghasilan orang tua pas-pasan tapi berjiwa dermawan.”
Tim akademik UBSI Kampus Karawang tampil sebagai bintang lapangan. Bukan karena pakai jas atau jargon-jargon teknis, tapi karena mereka ngajarin dengan gaya yang santai, tanpa menggurui.
Bahkan, beberapa orang tua yang tadinya hanya niat nganter anak, malah jadi ikut diskusi dan nanya soal peluang beasiswa untuk anaknya yang lain, atau keponakan, bahkan anak tetangga.
Ada sesi studi kasus yang bahas pengalaman mahasiswa UBSI sebelumnya yang berhasil dapetin beasiswa.
Cerita-cerita itu jadi semacam oase, di mana ada yang lolos karena aktif di organisasi, ada yang menang lomba desain tingkat kota, dan ada juga yang lulus seleksi karena jago nulis surat motivasi pakai hati, bukan sekadar copy-paste dari Google.
Dan mungkin di sinilah letak romantika dari seminar ini. Di tengah sistem pendidikan yang kadang terasa seperti arena survival of the richest, ada usaha kecil namun nyata dari kampus swasta di Karawang untuk bilang ke masyarakat: “Hei, beasiswa itu bukan buat anak Jakarta aja. Bukan buat anak SMA elite aja. Asal kamu mau berusaha, peluang itu ada.”
UBSI Sebagai Kampus Digital Kreatif, lewat seminar ini, seolah mau bilang pendidikan tinggi itu bukan mimpi yang harus mahal. Bahwa akses pendidikan adalah hak, bukan privilese. Dan bahwa kampus, sejatinya, harus jadi jembatan bukan benteng bagi siapa saja yang ingin belajar, tumbuh, dan bermimpi lebih tinggi.
Di negara yang masih punya PR besar soal akses pendidikan, seminar seperti ini mungkin kelihatan kecil.
Namun, bagi satu anak yang jadi berani daftar beasiswa, bagi satu ibu yang jadi ngerti cara bantu anaknya kuliah, seminar ini bisa jadi titik balik. Karena kadang, perubahan besar dimulai dari aula kecil di sudut Karawang, dengan spidol, papan tulis, dan secangkir tekad.