Oleh : Gamawan Fauzi, mantan mendagri dan mantan gubernur Sumatera Barat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asyik dan tekun bekerja dalam penugasan, kadang membuat lupa bahwa pada suatu titik tertentu harus berhenti. Ketika itu terjadi, tak sedikit diantara orang-orang yang bekerja di perusahaan dan pemerintahan tiba tiba kaget dengan kenyataan.
Hari sudah petang, tenaga makin berkurang dan pelan-pelan muncul rupa-rupa penyakit akibat usia atau disebut Sindrom Geriatri.
Kalau sekedar masuk angin, pegal, encok, kesemutan dan semacamnya, itu hal biasa. Ada guyon di kalangan orang tua, bahwa dulu bertabur parfum, sekarang beraroma minyak gosok. Lebih merisaukan lagi, kadang penyakit serius mulai datang dan memerlukan biaya besar untuk perawatan yang terus menerus.
Ironisnya, pada saat bersamaan, pendapatan mulai berkurang dan anak cucu pun tak lagi dekat karena mereka pun mulai hidup mandiri.
Bagi mereka yang menganggap pensiun adalah saat untuk istirahat dan menikmati hidup, tanpa berfikir melanjutkan aktivitas lain, biasanya mulai merasakan sepinya hidup setelah waktu terus berjalan.
Bagi kalangan tertentu, agenda setiap hari adalah beribadah, olahraga dan tidur. Lama-lama bosan juga, karena merasa hidup tak lagi bermakna dan tak berguna.
Kemudian muncullah rasa rendah diri atau post power syndrome, yaitu sindrom karena kehilangan kekuasaan, lebih lagi bagi yang pernah punya posisi mentereng ketika masih bertugas. Apalagi bila menganggap jabatan adalah sesuatu yang istimewa dan karena itu merasa lebih dari orang lain.
Menyikapi kehidupan pensiun, beragam jalan dan cara menyikapinya. Ada yang membentuk komunitas pensiun.
Mereka berkumpul dalam suatu kelompok yang secara berkala mengadakan pertemuan untuk ketawa-ketiwi. Ada juga yang hanya mengurung diri di rumah sambil nonton televisi atau buka handphone dari pagi hingga mata terpejam, dan sekali-sekali mengadakan pertemuan dengan teman lama sama bekerja, sama sekolah, sama kuliah dan sama sekantor dan sebagainya.
Ada juga yang sibuk jalan-jalan menikmati sisa uang tabungan. Semua propinsi dikunjunginya, bahkan sesekali ke luar negeri menikmati suasana kehidupan negeri orang.
Bagi mereka yang memiliki karakter lone wolf, kehidupan dijalani sendiri dengan percaya diri, tanpa terikat dengan standar sosial. Dia masih berpetualang menikmati kesendirian dengan damai dan senang. “Kalau sudah mati, toh kita juga akan sendiri,” katanya.
Bagi yang punya hobi tertentu, seperti bersepeda, memancing, offroad, main catur, gaplek, golf, beternak, atau apalah, mereka melanjutkan kesenangan itu setelah tak lagi bekerja, tapi tergantung juga dengan pundi-pundi yang tersedia, bahasa kininya cuan.
Tapi ada juga yang menyikapi masa pensiun dengan sabar, dan meyakini bahwa pensiun itu adalah masa dimana institusi sudah menyuruh istirahat, “ya istirahat saja”. Mereka menerima apa adanya dengan pelan, tenang, hening dan diam. Mereka disebut low living.
Pada 2010 lalu, saat saya berdinas ke Yogyakarta, saya menyempatkan diri menemui bapak Subari Sukardi, mantan sespri gubernur semasa Bapak Hasan Basri Durin. Saya menanyakan kepada beliau, mengapa bapak tinggal disini, padahal kampung beliau bukan di Yogya dan juga tak ada anak-anak beliau yang menetap di Yogya.
Menurut beliau, lebih dari 30 orang mantan Kepala Daerah se-Indonesia tinggal disini, dan ratusan bahkan mungkin ribuan lainnya, baik pegawai perusahaan yang pensiun maupun pengusaha kelas menengah.
Mengapa? "Karena biaya hidup sangat murah. Uang pensiun saya masih tersisa membiayai hidup di Yogya berdua dengan istri. Dua kali seminggu bisa bermain golf dengan sesama pensiunan dengan iuran cuma Rp 200 ribu. Sayur dan buah-buahan banyak dan harganya juga murah dan yang lebih menariknya masyarakat Yogya adalah masyarakat yang ramah, baik, suka menolong, sopan dan penuh tata krama serta budayanya yang masih terpelihara." Itulah di antara alasan mengapa Yogya menjadi pilihan tinggal para pensiunan.
Mereka yang kemudian tinggal dan menetap di Yogya umumnya berawal mengunjungi anak anak mereka yang berkuliah di sana, lama lama menjadi tertarik dengan berbagai pertimbangan.
Bagaimana Sumatera Barat?
Dalam sebuah artikel yang saya baca, Sumatera Barat dari segi wilayah juga termasuk tempat yang menyenangkan buat pensiunan.
Alasan utamanya adalah karena alamnya yang indah, yang merasa tiap hari seakan berwisata, kehidupan sosial budayanya yang menarik, masyarakatnya yang agamis dan biaya hidup yang relatif murah, terutama pedesaannya.
Saat ini beberapa daerah di Sumatera Barat memang makin banyak didatangi penduduk dari pulau Jawa, terutama Etnik Sunda dan Jawa. Mereka umumnya bertani hortikultura, karena lahannya masih luas dan subur serta sedikit pedagang, mulai pedagang bakso dan pecel lele sampai ragam rupa masakan nusantara. Prinsip dasarnya adalah mencoba mengembangkan dan menawarkan peluang baru, sama seperti orang Minang yang sejak dulu merantau kemana mana, walapun motifnya mungkin agak kompleks.
Tapi, apakah Sumatera Barat atau Ranah Minang memang memiliki daya tarik bagi para pensiunan menjadi tempat tinggal ?
Menurut saya sangat bisa, karena potensi itu ada. Pertama, bila kita asumsikan jumlah perantau Minang adalah dua kali jumlah penduduk yang tinggal di kampung, maka para perantau yang pensiun jumlahnya juga sekitar dua kali jumlah pensiunan yang ada di Sumatera Barat. Apakah itu pensiunan ASN, BUMN, Swasta atau pengusaha yang ingin istirahat dari menjalankan langsung usahanya.
Mereka adalah mantan-mantan pejuang, petarung berpengalaman dan memiliki sikap struggle dan juga tough. Pengalaman mereka adalah guru yang nyata. Mereka sudah bersabung dalam jenis kehidupan yang beragam kesulitannya.
Selama ini, saya kira tak banyak perantau yang saat pensiun kembali ke kampung, karena khawatir dicap sebagai "orang kalah", atau mereka memang merasa sudah nikmat dalam kehidupan sosial di tempat bekerja sebelumnya, karena mereka juga "diterima" oleh lingkungan sosialnya itu.
Saya banyak mengenal orang-orang Minang hebat yang sudah pensiun di rantau dan tak kembali ke kampung halamannya. Orang Minang menyebutnya Rantau Cino, rantau habis, atau merantau dan mati di perantauan.
Ungkapan "Karatau madang dihulu, babuah babungo balun, barantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun”, hanya kalimat basa-basi. Sejatinya mereka tak pernah merasa berguna di kampung hingga akhir hayatnya. Dan kampung halaman bagi mereka hanya sebuah sejarah atau identitas sosial (karena keturunan). Bagi yang sempat tinggal di kampung saat masih kecil atau remaja, kampung bagi mereka hanya sepenggal kenangan, yang kadang itulah yang menjadi alasan untuk mudik setahun sekali atau beberapa tahun sekali (bila masih ada orang tua atau sanak saudara).
Mereka pulang kampung hanya untuk bernostalgia dengan teman lama, ziarah ke makam orang tua, menikmati makanan kampung yang dulu terasa lezat, napak tilas sekitar nagari, dan kemudian kembali lagi ke rantau (tidak menetap), sekalipun sudah pensiun.
Saya tak memiliki data atau catatan statistik, berapa orang Minang di rantau yang kembali ke kampung halaman setelah pensiun.
Dalam sebuah artikel lain yang saya baca, bahwa saat ini di China, Jepang dan beberapa negara di Eropa, sedang menjadi trend baru, bahwa anak-anak mudanya kembali ke desa. Alasannya masuk akal, karena tingginya tingkat persaingan kerja di kota, membuat mereka menjadi stres dan tak nyaman.
Apalagi saat ini teknologi pertanian berkembang sangat pesat dan tak lagi membutuhkan kerja keras yang mengandalkan tenaga, tapi menuntut kerja cerdas, minim penggunaan otot dan tenaga. Untuk mendapatkan bibit yang baik, mereka dapat mencari tahu melalui dunia maya dan mengorder kapan saja bila dibutuhkan.
Hasil-hasil pertanian pun dapat dijual melalui internet (pasar daring) dan uang bisa ditransfer antar rekening melalui mobile banking atau ATM dengan sangat cepat.
Dalam sebuah artikel yang saya baca kemarin, bahwa Sumatera Barat (sebut Ranah Minang) digadang-gadang penulisnya dapat menjadi salah satu daerah yang menarik sebagai tempat para pensiunan mengakhiri masa, utamanya Bukittinggi dan sekitarnya. Alasannya sangat sederhana, yaitu makanannya yang selalu enak dan budaya materilinealnya yang unik dan masyarakatnya yang agamis dan beradat.
Untuk sebuah ide, hal ini mungkin bisa diseriusi untuk dielaborasi oleh berbagai pihak, yang melengkapi dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, karena uang tentu juga akan datang bersamaan dengan datangnya para pensiunan itu, berikut dengan bertumbuhnya fasilitas pendukung yang mereka perlukan untuk berusaha atau sekedar menikmati masa tuanya.
Pak Gubernur rajin road show ke propinsi lain menjumpai perantau, pemikiran ini mungkin bisa ditawarkan, sehingga rantau tak lagi jadi Rantau Cino dan pensiun di kampung bukan berarti menjadi "orang kalah", tapi pensiun di kampung untuk mengamalkan pituah, sajauah jauah tabang bangau, suruiknya ka kubangan juo. Bupati dan walikota pun bisa melakukan hal yang sama.
Gagasan ini, belum lagi menyentuh mereka yang berasal dari daerah lain yang memang suka dengan Ranah Minang dan ingin menikmatinya di hari tua.
Jakarta, Mei 2025