REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN – Jaringan ritel Carrefour menjadi korban terkini gerakan boikot perusahaan yang dituding berafiliasi dengan Israel. Jaringan itu terpaksa menutup seluruh usahanya di Yordania akibat diboikot warga setempat.
Jaringan itu mengumumkan melalui akun Facebook-nya bahwa mereka akan menutup semua cabangnya di Yordania mulai Senin. Hal ini terjadi pada saat gerakan global untuk memboikot Israel, BDS, mengaitkan keputusan ini dengan boikot terhadap Carrefour, yang dimulai dengan perang di Gaza karena dugaan dukungan mereka terhadap Israel.
Dalam sebuah pernyataan, Carrefour Jordan mengatakan: “Mulai 4 November 2024, Carrefour akan menghentikan semua operasinya di Yordania dan tidak akan terus beroperasi di wilayah kerajaan tersebut. Kami berterima kasih kepada pelanggan kami atas dukungan mereka dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh keputusan ini,” demikian dilansir Aljazirah.
Gerakan boikot di Yordania mengatakan di akun Instagram mereka bahwa keputusan Carrefour adalah “kemenangan bagi rakyat Yordania”.
Electronic Intifada melansir, pada 2022 Carrefour mengumumkan masuknya mereka ke pasar Israel melalui hubungan dengan jaringan supermarket lokal Yenot Bitan dan perusahaan Israel lainnya yang beroperasi secara luas di koloni Israel di Tepi Barat yang diduduki. “Kemitraan ini akan membuat spanduk Carrefour dipasang di Israel sebelum akhir tahun 2022 dan akan memungkinkan semua toko Yenot Bitan, yang saat ini berjumlah lebih dari 150 toko, memiliki akses ke produk bermerek Carrefour sebelum musim panas,” kata Carrefour pada Maret 2023.
“Kami yakin kedatangan Carrefour di Israel akan secara signifikan membantu meningkatkan pengalaman berbelanja lokal serta daya beli pelanggan dengan penawaran yang lebih baik dan harga yang lebih terjangkau,” kata Patrick Lasfargues, presiden Carrefour International Partnership, pada saat itu.
“Keputusan ini membuat Carrefour terlibat dalam kejahatan perang yang dilakukan oleh rezim pendudukan Israel, kolonialisme pemukim dan apartheid terhadap seluruh rakyat Palestina,” menurut Komite Nasional Boikot, Divestasi dan Sanksi Palestina.
Carrefour yang merupakan perusahaan Prancis adalah korban terkini dari gerakan boikot Israel. Sebelumnya, perusahaan waralaba AS McDonald’s dan retail kafe Starbucks juga terdampak.
Awal tahun ini, CEO Starbucks Laxman Narasimhan mengatakan kepada analis mengenai laporan pendapatan bahwa jaringan kopi terbesar di dunia tersebut melaporkan penjualan yang lebih lambat pada bulan pertama tahun 2024, sehingga menyebabkan penurunan harga sahamnya. “Kami melihat dampak negatif terhadap bisnis kami di Timur Tengah,” katanya, seraya menambahkan bahwa “peristiwa di Timur Tengah juga berdampak di AS, didorong oleh kesalahan persepsi mengenai posisi kami.”
Laporan tersebut muncul beberapa hari setelah McDonald's juga meleset dari ekspektasi analis ketika melaporkan penjualan yang lebih lambat di seluruh divisi berlisensi internasionalnya pada akhir Desember. Jaringan restoran burger ini juga mengaitkan perlambatan ini dengan penurunan permintaan di toko-toko di Timur Tengah dan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
BDS adalah gerakan non-kekerasan yang dipimpin Palestina yang dimulai hampir dua dekade lalu untuk menyerukan boikot terhadap perusahaan-perusahaan Israel dan internasional yang diyakini terlibat dalam pelanggaran hak-hak Palestina. Di masa lalu, BDS juga berfokus untuk memberikan tekanan pada perusahaan-perusahaan agar mengakhiri investasi di Israel dan menarik diri dari operasi di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Para penyelenggara mengatakan gerakan ini terinspirasi oleh gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, dimana boikot dan sanksi berperan besar dalam jatuhnya apartheid. Mereka berharap gerakan BDS akan memberikan tekanan serupa kepada Israel agar mematuhi hukum internasional dan menjamin hak-hak warga Palestina.
“BDS adalah cara paling efektif bagi orang-orang yang mempunyai hati nurani untuk mewujudkan solidaritas mereka terhadap hak asasi manusia Palestina,” Luqa Abu Farah, Koordinator Komite Nasional BDS Amerika Utara, mengatakan kepada TIME dalam sebuah pernyataan.