Laura Putri
Gaya Hidup | 2024-10-25 19:14:36
Di sebuah desa kecil yang jarang disinggahi, hiduplah seorang anak bernama Alif. Sejak kedua orang tuanya terpisah oleh jurang pernikahan yang retak, hidupnya seakan terombang-ambing di antara dua dunia yang tak pernah bersatu. Dalam pelukan kasih sayang neneknya, ia menemukan harapan, meski bayang-bayang kesedihan senantiasa mengintai, menggelayuti setiap langkahnya.
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela, membangunkan Alif dari tidur yang penuh mimpi. Ia beranjak, berlari ke dapur, di mana neneknya telah menyiapkan sarapan hangat, aroma masakan yang menyejukkan hati. Di momen sederhana itu, Alif teringat saat kecil ia sering membantu neneknya menyiapkan makanan. Mereka akan tertawa bersama, saling berbagi cerita tentang masa lalu yang penuh warna.
“Selamat pagi, Sayangku,” sapa neneknya, senyum lembut menghiasi wajahnya yang keriput. “Hari ini, kita akan memanen sayur. Sudah siap?”
“Selamat pagi, Nek! Tentu saja, saya tak sabar menunggu hasil panen kita!” jawab Alif, matanya berbinar-binar penuh semangat, namun di balik senyumnya, ada secercah kesepian yang tak terucapkan.
Kebun kecil di belakang rumah adalah tempat mereka berbagi tawa dan cerita. Dalam keheningan pagi, mereka merawat tanaman-tanaman yang tumbuh subur, mengubah tanah kering menjadi ladang kehidupan. Alif teringat saat mereka menanam benih bersama, dengan penuh harapan dan impian. Setiap kali mereka melihat tanaman tumbuh, neneknya selalu berkata, “Setiap kehidupan dimulai dari sebuah harapan, Alif.”
Suatu sore, saat mereka duduk di beranda, Raka, sahabat karib Alif, datang menghampiri dengan ceria.
“Hai, Alif! Hai, Nenek!” sapa Raka, wajahnya memancarkan keceriaan, seolah tak pernah merasakan pahit getir hidup.
“Selamat datang, Raka. Apa yang membuatmu datang ke sini?” tanya neneknya dengan ramah, seolah merasakan gelombang kesedihan yang terpendam di hati Alif.
“Aku ingin bermain bola dengan Alif. Kita sudah lama tidak bermain bersama,” jawab Raka, matanya bersinar penuh harapan, tanpa menyadari badai yang mengintai di balik senyuman Alif.
Nenek Alif tersenyum. “Baiklah, nak. Tapi ingat, jangan sampai terlambat pulang.”
Dengan itu, Alif dan Raka berlari menuju lapangan kecil, tempat mereka menghabiskan waktu dengan keceriaan yang tak tertandingi. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama, seperti embun pagi yang menguap oleh terik matahari.
Di tengah permainan, Raka mendengar bisikan teman-temannya yang lebih populer. Terjebak dalam godaan, ia berlari menjauh dari Alif.
“Alif, tunggu di sini sebentar!” ucapnya, dengan suara bergetar, namun langkahnya membawa pengkhianatan.
Alif menanti, namun rasa penasaran membawanya mendekat. Ia mendengar suara Raka, penuh ejekan dan cemoohan.
“Siapa yang mau berteman dengan anak yang ditinggal orang tuanya?” kata Raka, tertawa bersama teman-temannya, seolah mematahkan harapan yang tersisa dalam hati Alif.
Hati Alif seakan terhujam duri tajam, merasakan setiap ejekan bagaikan hujan batu di atas jiwa yang rapuh. Ia merasa terasing, seolah dunia ini tak lagi memiliki tempat untuknya. Tanpa sepatah kata, ia berbalik, pergi menjauh dari tatapan penuh cela, meninggalkan kenangan indah yang kini tergerus oleh pengkhianatan.
Beberapa hari berlalu, dan Alif kembali ke kebun, merawat tanaman dengan sepenuh hati, seolah tanaman-tanaman itu adalah satu-satunya sahabat yang tak akan mengkhianatinya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama neneknya, yang selalu memberinya pelukan hangat dan kata-kata penyemangat.
Suatu malam, saat mereka duduk di bawah langit berbintang, neneknya menceritakan kisah-kisah masa kecilnya sendiri. “Dulu, ketika aku seumuranmu, aku juga merasa kesepian, Alif. Namun, aku belajar bahwa kita harus menemukan kebahagiaan dalam diri kita sendiri. Setiap bintang itu adalah harapan, dan kamu adalah bintang yang paling bersinar di hatiku.”
“Nek, kenapa orang-orang bisa begitu kejam?” tanya Alif, saat hatinya dipenuhi pertanyaan.
“Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan, Sayang. Jangan biarkan kata-kata mereka meruntuhkan semangatmu. Ingat, kamu lebih kuat dari yang mereka kira,” jawab neneknya lembut, menatap mata Alif dengan penuh kasih, seolah ingin menyalurkan semangat yang tersisa.
Namun, takdir tak selalu sejalan dengan harapan. Suatu malam, neneknya tiba-tiba terjatuh sakit. Alif berjuang merawatnya dengan segenap cinta, menyiapkan sup hangat dan memberikan obat-obatan, tetapi neneknya semakin lemah, seolah semua harapan yang ada meredup bersamanya.
“Nek, jangan tinggalkan saya,” bisik Alif, air mata mengalir di pipinya, membasahi tangan nenek yang semakin dingin. “Saya masih memerlukanmu.”
Neneknya memandangnya dengan sorot mata yang sayu, mengandung ribuan cerita yang tak terucapkan. “Alif, hidup ini penuh dengan perjalanan yang tak terduga. Suatu saat, kamu harus dapat berdiri sendiri. Percayalah, aku akan selalu bersamamu, meski dalam bentuk yang berbeda.”
Namun, takdir berkata lain. Malam itu, neneknya menghembuskan napas terakhir, meninggalkan Alif dalam kesunyian yang menyesakkan. Di samping pusara neneknya, Alif merasakan keheningan yang menggerogoti, seolah seluruh dunia runtuh di hadapannya. Kini, ia benar-benar sendirian.
“Kenapa, Nek? Kenapa semua ini harus terjadi?” Alif berbisik, merasakan kehilangan yang menggerogoti hatinya, menyesakkan dada seperti awan gelap yang tak kunjung pergi.
Dengan hati yang hancur, Alif bertekad untuk melanjutkan hidup. Ia mengingat semua momen indah bersama neneknya: saat mereka merayakan ulang tahunnya dengan kue sederhana, ketika neneknya bercerita tentang cinta yang abadi, dan saat mereka menari di bawah hujan, tertawa seperti anak kecil. Semua kenangan itu menjadi sumber kekuatannya.
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Meski tubuhnya lemah dan sakit-sakitan, ia tetap pergi ke sekolah, menapaki jalan yang penuh duri dengan semangat yang tak kunjung padam.
Di sekolah, Raka datang menghampirinya. “Alif, aku minta maaf,” katanya, suaranya bergetar, menyadari betapa dalamnya luka yang ia buat.
“Untuk apa?” tanya Alif, dengan nada yang datar, menyimpan semua rasa sakit yang terpendam.
“Aku seharusnya tidak berkata begitu. Aku terlalu terpengaruh oleh teman-temanku,” Raka menarik napas dalam-dalam. “Bisakah kamu memaafkanku?”
Alif menatap sahabatnya, rasa sakit di dalam hatinya masih membara, seolah api yang tak kunjung padam. “Raka, kamu telah memilih sisi mana. Persahabatan kita tidak seperti yang aku bayangkan.”
Dengan itu, Alif meninggalkan Raka, merasa sedikit lebih baik tanpa bayang-bayang pengkhianatan yang terus menghantui.
Hari-hari berlalu, dan Alif berjuang keras. Ia menggantikan tugas neneknya di kebun, menjual sayur hasil panen, dan melanjutkan pendidikan meski harus berjalan jauh ke sekolah. Dalam kesendirian yang menyakitkan, ia menemukan kekuatan yang tak terduga, seolah setiap tetes keringat menghapus jejak kesedihannya.
Suatu malam, saat Alif belajar di bawah cahaya lampu minyak yang remang-remang, ia terbatuk-batuk. Demam menyerang tubuhnya yang lemah, namun di dalam hati, terdapat tekad yang menggebu.
“Ini semua untukmu, Nek,” bisiknya, menatap foto neneknya di dinding, seolah berharap sosok itu akan kembali dan membimbingnya.
Alif berusaha keras, dan prestasinya pun mulai terlihat. Ia menjadi salah satu siswa terbaik di sekolahnya. Berbagai penghargaan dan beasiswa datang menghampirinya. Meskipun kesuksesan itu bukanlah impian yang ia inginkan, Alif menyadari bahwa ia telah mengubah luka menjadi kekuatan, menjadikan setiap kenangan pahit sebagai batu loncatan menuju masa depan yang lebih cerah.
Bertahun-tahun kemudian, Alif berdiri di podium sebagai seorang pemuda yang sukses. Di hadapan banyak orang, ia menyampaikan pidato yang menyentuh hati, mengenang sosok neneknya yang telah membesarkannya dengan penuh cinta dan pengorbanan.
“Saudara-saudara, hidup ini tidak selalu adil,” ucap Alif, suaranya bergetar, penuh emosi yang menyentuh jiwa. “Saya pernah merasa sendirian, terluka, dan dikhianati. Namun, saya menemukan kekuatan dalam diri saya. Saya belajar bahwa kesuksesan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi tentang seberapa kuat kita bertahan di tengah cobaan.”
Di tengah sorakan para hadirin, Alif tersenyum. Ia tahu, meskipun hidupnya dipenuhi dengan pengkhianatan dan kehilangan, ia telah menemukan kekuatan yang lebih besar dari semua itu. Dalam hatinya, neneknya selalu ada, memberi semangat untuk terus melangkah maju, mengingatkan bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar pergi, melainkan mengalir dalam setiap detak jantungnya.
Dan saat ia menatap ke langit malam, di mana bintang-bintang bersinar, ia merasa seolah neneknya tengah tersenyum, membimbingnya dari jauh, mengingatkan bahwa setiap momen yang penuh cinta akan selalu hidup dalam kenangan.
Nama Penulis : Laura Putri Kristianti
Asal Sekolah : Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo (MAN)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.