Home > Kolom Friday, 23 May 2025, 10:30 WIB
Pemangkasan birokrasi, pemberian insentif, dan pembangunan ekosistem pendukung agar industri ini bisa berkompetisi secara sehat demi melanjutkan Poros Maritim.

ShippingCargo.co.id, Jakarta—Pernyataan keras Presiden Prabowo Subianto pada Februari silam, sebagaimana disampaikan oleh adiknya, pengusaha multidimensi Hashim Djojohadikusumo, menyoroti luka lama industri maritim nasional: Mengapa banyak galangan kapal dalam negeri yang menganggur, di tengah melonjaknya permintaan kapal yang justru dipenuhi dari luar negeri?
Kekecewaan ini bukan tanpa alasan,bagaimana bisa negara kepulauan dengan ribuan pelabuhan justru melepas peluang ekonominya ke tangan asing? Ironisnya, BUMN kemaritiman pun tak luput dari kebiasaan memesan kapal ke galangan asing.
Tentu, saat perusahaan maritim indonesia memesan kapal negeri, nilai tambah ekonomi ikut terbang ke negara produsen. Pekerjaan, pendapatan pajak, hingga pengembangan teknologi,semuanya lenyap dari peta domestik.
Ketua Umum Iperindo, Anita Puji Utami, menyatakan bahwasanya galangan kapal kita punya kapasitas membangun 900 kapal per tahun, per rilis pers DPP INSA (Indonesian National Shipowners' Association) pada Februari silam. Dock space untuk perawatan ,pun mencapai 24.000 kapal per tahun.
Sayangnya, semua itu seperti mesin besar yang dibiarkan di posisi idle, padahal mereka-lah yang telah membuktikan kalau Indonesia bisa membangun kapal mulai dari kapal tanker, kargo, mengingat Indonesia saat ini masih harus impor kapal perang berukuran masif dan tentunya masih harus mendapat lungsuran kapal selam dari negara lain— yang jumlahnya tentu tidak memadai dengan luas wilayah perairan Indonesia. Artinya, kapasitas dan kompetensi sudah ada, yang kurang hanya kepercayaan dan kebijakan konsisten dari para pemilik proyek.
Argumentasi bahwa kapal asing lebih murah tentu perlu dicermati. Memang benar harga kapal luar lebih kompetitif, tapi di balik itu terdapat sistem perizinan dan biaya produksi lokal yang membebani produsen kapal. Jika akar masalahnya regulasi, maka di situlah letak solusi: pangkas birokrasi, berikan insentif, dan bangun ekosistem pendukung agar industri ini bisa berkompetisi secara sehat.
Pesan Prabowo jelas: pembangunan kapal harus dilakukan di dalam negeri. Sudah waktunya kementerian, lembaga, dan BUMN menjadikan galangan kapal Indonesia sebagai mitra utama, bukan opsi cadangan. Dengan begitu, kita tak hanya membangun kapal—tapi juga menggerakkan ekonomi, menyerap tenaga kerja, dan menjaga kedaulatan industri maritim nasional**.