REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof Zuly Qodir, menekankan pentingnya konsistensi dalam menyebarkan narasi moderat. Menurut dia, umat Islam jangan berhenti dan jangan bosan-bosan, sekalipun hanya sedikit, karena narasi ekstrem juga terus diproduksi setiap saat.
Prof Zuly juga mengingatkan agar umat Islam tidak perlu meniru aksi-aksi kekerasan atau demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Sebaliknya, aksi-aksi kemanusiaan, seperti menyantuni anak yatim, mengadakan pertemuan untuk menyampaikan nilai-nilai moderasi, dan kegiatan sosial lainnya, justru lebih efektif dalam memperkuat persatuan dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan.
Selain itu, pentingnya ilmu pengetahuan yang baik dan benar juga ditekankan dalam upaya menangkal ekstremisme. Pengenalan ilmu pengetahuan kepada generasi muda dapat memperkuat daya kritis mereka terhadap narasi-narasi ekstremyang beredar di masyarakat.
Prof Zuly memberikan catatan terhadap pentingnya peran organisasi massa seperti Muhammadiyah dan NU. Kedua organisasi ini dikenal sebagai garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai moderasi dan kebersamaan di tengah masyarakat. Gerakan keagamaan yang berasal dari organisasi massa ini diharapkan dapat mengurangi gerakan ekstremisme di kalangan muda.
Menurut Prof Zuly, narasi moderat harus didukung oleh aksi nyata dan penyebaran nilai-nilai kebangsaan yang kuat. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan bangsa dapat terus terjaga di tengah ancaman paham ekstrem yang terus mengintai.
Ia menegaskan nilai-nilai keagamaan, termasuk nilai-nilai keislaman, tetap dihargai dan diakomodasi oleh negara tanpa menghilangkan keragaman yang ada.
“Bukti nyata dari akomodasi ini dapat dilihat dari perayaan hari-hari besar keagamaan yang diakui oleh negara, serta tidak adanya pelarangan terhadap aktivitas peribadatan, baik yang wajib maupun sunnah, di seluruh penjuru negeri," kata Prof Zuly, Rabu (28/5/2025).
Prof Zuly mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menghargai kebebasan beragama. Prinsip ini sesuai dengan semangat Perjanjian Madinah pada zaman Rasulullah, yang memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
Oleh karena itu, praktik syariat Islam di Indonesia tidak bertentangan dengan keragaman, karena syariat yang dijalankan adalah syariat yang menghargai kemanusiaan, hak asasi manusia, dan nilai-nilai kebangsaan.
Namun, kata dia, di tengah upaya menjaga kebersamaan, masih saja muncul kelompok tertentu yang menuduh umat Islam moderat sebagai kaum munafik karena dianggap tidak mendukung penerapan syariat secara formal.
Menurutnya, tuduhan ini seringkali didasarkan pada penafsiran ayat Alquran yang keliru, seperti pada Quran surat An-Nisa ayat 61. Prof Zuly Qodir menegaskan bahwa penafsiran ayat tersebut harus dipahami secara kontekstual. Pada ayat yang lain (Surat Yusuf ayat 40), lafal “al-hukmu ilallah” atau hukum yang berlaku hanyalah milik Allah, juga sering digunakan kelompok radikal dalam melakukan klaim kebenaran secara sepihak.
“Ayat-ayat tersebut memang benar demikian bunyinya, tetapi perlu dipahami bahwa maknanya terbatas pada hukum keagamaan, bukan hukum kemasyarakatan atau kenegaraan,” kata Prof Zuly.
Ia merasa bahwa penjelasan ini sangat penting untuk dipahami oleh masyarakat luas. Hukum keagamaan, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji, memang harus ditaati oleh umat Islam. Namun, hukum kemasyarakatan atau kenegaraan, seperti pembuatan KTP, diatur oleh negara dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Penegasan ini sangat relevan di tengah maraknya narasi yang menolak hukum negara dengan alasan melanggar hukum Tuhan.