Panen Berlian di Tengah Gunungan Sampah

1 day ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nama komunitas perempuan ‘Bukit Berlian’ ini terasa kontras jika dilihat dari aktivitas keseharian mereka. Merujuk kata Berlian, semestinya itu lekat dengan permata yang indah dan mewah. Padahal, kegiatan para emak di kelompok itu justru mengolah barang tak berharga bahkan bagi sebagian orang menganggapnya menjijikkan, yaitu sampah.

Memang sih, ada kutipan terkenal dari pujangga Inggris William Shakespeare yang bilang ‘apalah arti sebuah nama’. Namun, bagi sebagian orang, nama adalah segalanya karena ada doa di dalamnya. Tentu Ema Suranta sebagai pendiri punya alasan sendiri menamakan komunitasnya Bank Sampah Bukit Berlian.

Cerita komunitas Bukit Berlian bermula pada 2019. Langkah awalnya sederhana, menampung sampah anorganik seperti plastik, botol, dan kertas. Ema mengajak para ibu di lingkungan Rukun Warga (RW) tempat dia tinggal di Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, untuk terlibat.

Untuk menarik warga, ada program tukar sampah dengan peratalan rumah tangga sebagai pemanis. Gayung bersambut, 83 orang bergabung dengan Bank Sampah Bukit Berlian.

Namun, seiring perjalanan waktu, Ema berpikir soal sampah di lingkungannya tak bakal beres secara optimal apabila Bukit Berlian hanya menampung limbah organik. Justru jenis anorganik yang pasokannya berlimpah. Apalagi, sebagai warga Bandung Raya, Ema tidak bakal lupa dengan musibah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, pada 2005 yang berjarak sekitar 20 km dari tempat dia tinggal.

Ketika itu, Senini dinihari 21 Februari sekitar pukul 02.00, terjadi ledakan dahsyat di TPA Leuwigajah. Sedikitnya 157 jiwa melayang akibat peristiwa itu. Dua wilayah; Kampung Cilimus dan Kampung Pojok tertimbun akibat ledakan di gunungan sampah setinggi 60 meter sepanjang 200 meter itu. Tidak kurang 143 rumah rusak.

Intensitas hujan yang tinggi selama beberapa hari sebelum ledakan membuat bobot gunungan sampah itu meningkat. Gas metana (CH4)—lazim terbentuk akibat tumpukan sampah organik—menjadi penyebab ledakan di TPA Leuwigajah. Suaranya disebut-sebut terdengar sampai 10 km dari tempat kejadian.

Musibah TPA Leuwigajah dicatat sebagai tragedi lingkungan paling memilukan nomor dua di dunia setelah peristiwa serupa di TPA Payatas Quezon City Filipina pada 10 Juli 2000 dengan korban meninggal lebih dari 200 orang. Pemerintah lantas menetapkan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Akibat TPA Leuwigajah tidak berfungsi, dalam hitungan hari Bandung Raya menjadi lautan sampah yang menebarkan bau busuk. Setahun kemudian pemerintah menutup tempat itu. TPA Sarimukti seluas 21,5 hektare di Cipatat, Bandung Barat, sebagai fasilitas pengganti mulai beroperasi pada 2006.

TPA Sarimukti pun tidak lepas dari musibah. Pada 2023 terjadi kebakaran sehingga fasilitas umum itu ditutup sementara. Akibatnya, gunungan sampah terlihat di seantero Bandung Raya, menebarkan aroma menusuk hidung. Warga pun gelisah. Ema merasakan langsung dampak peristiwa itu. “Bandung Lautan Sampah kembali terjadi,” katanya ketika dihubungi wartawan melalui telepon.

Pasokan sampah yang melebihi daya tampung kini mulai menjadi problem di TPA Sarimukti, kondisi yang juga terjadi di eks TPA Leuwigajah. Fakta itu diakui oleh Gubernur ‘Kang’ Dedi Mulyadi (KDM), yang mengatakan sudah terjadi darurat sampah di beberapa wilayah di Jawa Barat.

“Khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat. Dan kita berproblem di (TPA) Sarimukti,” katanya dalam video pendek di akun Instagram, @dedimulyadi71.

Salah satu upaya mengatasi problem di TPA Sarimukti, menurut KDM, adalah mengurai persoalan di hulu, bukan hanya di hilir. “(Kalau) berhasil di Sarimukti, kita terapkan di seluruh Jabar.”

Nah, Ema Suranta related sekali dengan fakta terkini di Bandung Raya dan harapan Kang Dedi. Sekarang, Bank Sampah Bukit sudah .....

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |