IESR: Penghentian Insentif Mobil Listrik Berisiko Hilangkan Manfaat Ekonomi Rp544 Triliun per Tahun

4 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pemerintah menghentikan insentif kendaraan listrik pada 2026 dinilai berisiko menghambat adopsi mobil listrik sekaligus menghilangkan potensi manfaat ekonomi hingga Rp544 triliun per tahun dalam jangka panjang. Lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kebijakan tersebut dapat memperlambat pengembangan industri kendaraan listrik nasional dan melemahkan transisi energi di sektor transportasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyatakan insentif mobil listrik tidak akan diperpanjang pada 2026. Pemerintah berencana mengalihkan anggaran insentif untuk mendukung program mobil nasional. Insentif yang dihentikan antara lain pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik utuh atau completely built up (CBU) dari tarif normal 50 persen menjadi nol persen, serta potongan pajak pertambahan nilai.

IESR menilai berakhirnya insentif akan berdampak langsung pada kenaikan harga mobil listrik akibat hilangnya potongan PPN 10 persen dan fasilitas impor CBU. Kondisi ini berpotensi menekan penjualan kendaraan listrik dan menghambat pertumbuhan industri pendukung, termasuk baterai dan komponen kendaraan listrik. Padahal, peningkatan adopsi kendaraan listrik dinilai penting untuk menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan ketergantungan impor minyak.

IESR menekankan pentingnya menjaga momentum adopsi kendaraan listrik agar permintaan tumbuh secara eksponensial dan mampu menciptakan ekosistem industri dari hulu hingga hilir. Menurut kajian lembaga tersebut, terwujudnya industri baterai yang terintegrasi dapat menghasilkan akumulasi manfaat ekonomi sedikitnya Rp 544 triliun per tahun hingga 2060, dan masih berpotensi meningkat karena belum memperhitungkan seluruh ekosistem kendaraan listrik.

IESR memahami insentif kendaraan listrik bersifat sementara untuk menarik investasi manufaktur. Namun, kebijakan tersebut dinilai layak diperpanjang jika terbukti memberikan manfaat lebih besar, seperti mendorong investasi ekosistem kendaraan listrik, meningkatkan daya saing industri, dan memperkuat profitabilitas produsen dalam negeri.

Saat ini tercatat delapan pabrikan mobil listrik telah memproduksi kendaraan di Indonesia. Namun, jumlah tersebut dinilai belum cukup untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat. Selain itu, pemerintah menargetkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai 60 persen pada 2027 dan 80 persen pada 2030, yang membutuhkan basis manufaktur kendaraan listrik yang lebih besar.

Studi IESR menunjukkan, insentif berperan signifikan dalam mendorong adopsi kendaraan listrik. Hingga Oktober 2025, penjualan mobil listrik mencatat rekor 68.827 unit, dengan mayoritas penjualan berasal dari model yang memperoleh insentif. Sebaliknya, penghentian insentif sepeda motor listrik pada 2025 menyebabkan penjualan anjlok hingga 80 persen pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Chief Executive Officer IESR Fabby Tumiwa mengatakan, elektrifikasi kendaraan mendukung visi kemandirian energi nasional. Berdasarkan analisis IESR, penggunaan mobil listrik sejauh 20 ribu kilometer dapat mengurangi impor BBM hingga 1.320 liter dan menghemat biaya pengguna sekitar Rp 6,89 juta per tahun.

Dengan jumlah kendaraan listrik di jalan mencapai sekitar 140 ribu unit hingga Oktober 2025, potensi penghematan impor BBM mencapai 185 ribu kiloliter dan penghematan biaya kompensasi sekitar Rp315 miliar pada tahun berjalan, sekaligus menurunkan emisi.

“Elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi sektor transportasi. Kontribusinya bisa mencapai 45–50 persen. Dengan pendekatan Avoid–Shift–Improve, penurunan emisi jangka panjang bisa mencapai 76 persen,” kata Fabby dalam pernyataannya, Sabtu (19/12/2025).

Menurut IESR, percepatan elektrifikasi kendaraan memerlukan bauran kebijakan, regulasi, dan insentif yang konsisten. Rasionalisasi subsidi BBM dinilai mendesak karena selama ini melemahkan daya saing kendaraan listrik. Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR Faris Adnan Padhilah menambahkan minat perbankan nasional untuk membiayai industri kendaraan listrik terus meningkat.

Menurutnya, pemerintah harus memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat pembiayaan hijau, disertai kebijakan sisi pasokan seperti mandat kendaraan listrik, instrumen ekonomi termasuk pajak karbon BBM, serta insentif nonfiskal seperti pembebasan ganjil-genap. IESR mendorong pemerintah mengkaji ulang rencana penghentian insentif kendaraan listrik, mengingat sejumlah produsen masih membangun pabrik dan kebutuhan menarik investasi baru agar tidak berpindah ke negara pesaing di Asia Tenggara.

Dalam jangka pendek, IESR merekomendasikan perpanjangan insentif selama satu tahun, percepatan peremajaan kendaraan, penetapan insentif khusus kendaraan listrik roda dua, serta promosi investasi untuk menarik lebih banyak produsen membangun pabrik di Indonesia.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |