‘Kami Dibuat Seperti Anjing dan Kucing di Gaza’

1 week ago 27

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA– Aksi pembersihan etnis yang dilakukan militer Israel di utara Gaza membuat kondisi di wilayah itu kian tak teperi. Ancaman kelaparan kian nyata dengan warga kini mengais-ngais dan harus menjatah makanan.

Um Saber, seorang janda yang ditinggal syahid suaminya di Gaza mengatakan dia dan keenam anaknya harus meninggalkan sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan di Beit Lahiya ketika tentara Israel menyerang.

Kini, mereka tinggal di rumah ayah mertuanya, berbagi persediaan kacang-kacangan dan pasta yang terbatas bersama 40 warga Palestina lainnya, kebanyakan perempuan dan anak-anak. “Kami dibuat seperti anjing dan kucing yang mencari makanannya di reruntuhan,” katanya dilansir Aljazirah, Sabtu (9/11/202).

Ahmed Abu Awda, ayah tiga anak berusia 28 tahun yang tinggal bersama 25 kerabatnya di sebuah rumah di Jabalia, mengatakan makanan setiap hari berupa kacang lentil dengan roti, yang dijatah untuk memastikan anak-anak makan. “Kadang-kadang kami tidak makan sama sekali,” katanya.

Pemerintah Israel mengakui pada akhir Oktober bahwa mereka tidak mengizinkan bantuan masuk ke Jabalia karena “kendala operasional” militer. Diperkirakan 70.000 orang masih terjebak di Gaza utara dan pasukan Israel memblokir masuknya pasokan makanan dan air penting seiring peringatan akan kelaparan yang terus berlanjut.

Sejak dua bulan belakangan, wilayah utara Gaza telah mengalami pengeboman brutal oleh Israel. Israel juga mengusir paksa ratusan ribu warga di wilayah itu dengan serangan bersenjata maupun kondisi kelaparan akibat bantuan yang dilarang masuk. 

Sejumlah pihak mencurigai Israel tengah melakukan pembersihan etnis dengan menjalankan “Rencana Jenderal” di utara Gaza. Rencana itu bertujuan mengosongkan utara Gaza dari warga yang mulanya diusir dan kemudian dibunuhi bila tak bersedia mengungsi.

Kelaparan sejauh ini mengancam wilayah utara Gaza. Pengiriman bantuan yang diizinkan memasuki Jalur Gaza kini lebih rendah dibandingkan kapan pun sejak Oktober 2023, menurut laporan Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC).

Peringatan dari Komite Peninjau Kelaparan memperingatkan “kemungkinan besar terjadinya kelaparan, karena situasi yang memburuk dengan cepat di Jalur Gaza”. Akses terhadap pangan terus memburuk, dan harga kebutuhan pokok di pasar gelap melonjak. Gas untuk memasak naik sebesar 2.612 persen, tenaga surya sebesar 1.315 persen dan kayu sebesar 250 persen, katanya.

“Bersamaan dengan harga barang-barang penting yang sangat tinggi dan meningkat, telah terjadi kehancuran total mata pencaharian untuk dapat membeli atau menukar makanan dan kebutuhan dasar lainnya,” kata peringatan tersebut.

Philippa Greer, kepala urusan hukum di badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), mengunggah rekaman dari bagian utara Kota Gaza yang menunjukkan skala kehancuran yang ditimbulkan oleh perang Israel di wilayah kantong tersebut. Video tersebut, diambil dari kendaraan yang bergerak dan diposting di X, menunjukkan jalan-jalan yang hancur dan bangunan-bangunan rata dan menjadi puing-puing.

Greer menggambarkan bagaimana warga Palestina kesulitan membawa barang-barang mereka di bawah sinar matahari, termasuk “seorang pria yang membawa bendera putih di depan keluarganya” dan “wanita-wanita yang akan pingsan, menyeret tas mereka ke tanah, berjalan mundur, berhenti dan menutup mata”.

Greer juga mengatakan dia melihat “seorang pria tergeletak di tanah dengan pakaian dalam, dengan tentara di dekat pos pemeriksaan” dan “seorang wanita mungkin menyeberang bersamanya, terhenti, putus asa, dan putus asa”.

Dr Bara Zuhaili, seorang ahli bedah yang tinggal di AS dan menjadi sukarelawan di Gaza awal tahun ini, mengatakan tingkat kesengsaraan di wilayah pesisir di tengah perang Israel yang terus berlanjut tak sekadar soal jumlah korban jiwa.

Menyampaikan pengalamannya bekerja di Jalur Gaza, dia mengatakan meskipun dia dan rekan-rekannya sering mengamati dampak serangan udara Israel, dengan asap mengepul dari daerah yang dibom, rumah sakit tidak dapat menerima mereka yang terluka hingga 12 jam setelah serangan.

“Bahkan ketika mereka sampai pada kami, mereka belum tentu selamat. Kami harus memutuskan siapa yang mendapat perawatan karena sumber daya kami sangat terbatas,” katanya kepada Aljazirah.

“Jadi seringkali, kami [harus] membiarkan beberapa dari mereka meninggal; kami membiarkan mereka benar-benar bernapas sampai mati, dan kemudian kita mengalihkan perhatian kita ke beberapa orang yang kami pikir mempunyai peluang untuk hidup. “Bagi seseorang yang bersumpah untuk menyelamatkan nyawa, itu bukanlah keputusan yang mudah, dan yang membuatnya lebih sulit lagi adalah 80 persen keputusan tersebut dibuat untuk anak-anak.”

Kantor berita WAFA melansir pada Ahad, pasukan penjajahan Israel melakukan empat pembantaian terhadap keluarga di Jalur Gaza selama 48 jam terakhir, yang mengakibatkan terbunuhnya sedikitnya 44 warga Palestina dan melukai 81 lainnya, menurut laporan medis.

Mereka mengonfirmasi bahwa jumlah korban jiwa warga Palestina akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 telah meningkat menjadi 43.552 korban jiwa yang dilaporkan, dengan tambahan 102.765 orang menderita luka-luka. Mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak.

Menurut sumber yang sama, layanan darurat masih belum dapat menjangkau banyak korban dan mayat yang terperangkap di bawah reruntuhan atau berserakan di jalan-jalan di daerah kantong yang dilanda perang tersebut, karena pasukan pendudukan Israel terus menghalangi pergerakan kru ambulans dan pertahanan sipil.

Serangan terbaru...

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |