Ketika Keluarga Jadi Ancaman: Menyoal Fantasi Sedarah yang Menyimpang

8 hours ago 6

Image Khairunnisa

Info Terkini | 2025-05-16 22:38:36

Sumber: sora.ai

Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman, ruang tercurahnya kasih sayang, dan perlindungan. Namun, bagaimana jika batas antara kasih dan hasrat menjadi kabur?

Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kemunculan sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah.” Grup ini memicu kekhawatiran luas karena kontennya menormalisasi hasrat seksual terhadap anggota keluarga sendiri. Beberapa tangkapan layar yang tersebar di media sosial sungguh mengiris hati, mulai dari seorang ayah dengan bangga menyampaikan niat jahatnya terhadap anak kandung yang baru berumur dua tahun, ayah yang mengakui perbuatannya saat sang istri tidak berada di rumah, atau pengguna lainnya yang menyebarkan foto anak dan istri. Tanpa sadar, mereka telah menjelma menjadi predator seksual. Mereka tak peduli siapa objek fantasinya, bahkan jika itu adalah darah daging sendiri.

Menurut laporan, grup ini sempat memiliki lebih dari 40.000 anggota sebelum akhirnya ditutup oleh pihak Meta karena melanggar kebijakan komunitas. Fenomena ini bukan sekadar konten menyimpang di dunia maya. Dalam kenyataannya, fantasi semacam ini dapat berkembang menjadi tindakan nyata berupa kekerasan seksual dalam keluarga atau yang kita kenal sebagai inses.

Jika kita merujuk pada data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sepanjang tahun 2025 saja telah tercatat 9.216 kasus kekerasan, dengan 3.895 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual. Ironisnya, sebagian besar kasus tersebut terjadi di lingkungan rumah tangga, tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak dan perempuan.

Fantasi menyimpang ini adalah benih dari tindakan nyata. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, kekerasan dalam ranah privat selalu mendominasi jumlah laporan kekerasan. Dari 433 kasus inses yang tercatat dalam setahun, pelaku terbanyak adalah ayah kandung. Fakta ini mempertegas bahwa rumah bisa menjadi ladang kekerasan yang tersembunyi.

Lalu, bagaimana inses bisa terjadi?

Biasanya, pelaku melancarkan aksinya di rumah, ruang yang dianggap privat dan aman baginya. Beberapa faktor dapat menjadi pemicunya. Ketimpangan kekuasaan dalam keluarga, misalnya, membuat kepala keluarga merasa memiliki otoritas penuh atas anggota lainnya, termasuk anak. Interaksi yang terlalu intens dan tidak sehat antara saudara kandung atau anggota keluarga sedarah juga dapat menimbulkan penyimpangan. Selain itu, gangguan psikologis seperti psikopati atau alkoholisme sering ditemukan pada pelaku inses, terutama ayah terhadap anak perempuannya. Dalam banyak kasus lainnya, pelaku mengalami kelainan seksual seperti pedofilia yang menjadikan anak sebagai objek hasratnya. Tak jarang pula, kondisi keluarga yang tidak harmonis mendorong salah satu pasangan melampiaskan kekecewaannya melalui kekerasan seksual terhadap anak. Bahkan, dalam beberapa kasus, perilaku ini diwariskan secara sosial, seorang anak meniru tindakan inses yang dilakukan orang tuanya terhadap kerabat lain.

Jika ruang aman tidak lagi ditemukan di dalam rumah, bisakah kita membasmi fantasi sedarah yang menyebar di ruang digital? Jawabannya, harus bisa!

Fantasi sedarah adalah cikal bakal predator. Banyak pelaku pelecehan seksual terhadap anak berawal dari fantasi menyimpang yang dipelihara diam-diam. Maka, langkah pencegahan harus dimulai dari deteksi dini dan tindakan tegas terhadap komunitas digital semacam ini.

Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan melaporkan grup atau akun media sosial yang menyebarkan konten menyimpang seperti grup “Fantasi Sedarah.” Saat ini, berbagai platform media sosial telah menyediakan fitur pelaporan seperti “Laporkan Grup.” Selain itu, masyarakat dapat meneruskan informasi tersebut ke pihak berwenang, seperti kepolisian atau unit siber untuk ditindaklanjuti secara hukum.

Yang tak kalah penting, masyarakat perlu terus diedukasi agar semakin bijak dalam bermedia sosial. Kesadaran untuk mengenali dan menolak narasi menyimpang harus dibangun sejak dini, termasuk memperkuat peran keluarga dalam mengawasi aktivitas digital anak-anak. Literasi digital dan pendidikan seksualitas berbasis perlindungan anak menjadi kunci penting agar keluarga tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat aman untuk tumbuh dan berkembang.

Jika rumah tak lagi menjadi tempat aman, maka kita harus memastikan ruang digital tidak menjadi tempat subur bagi kekerasan baru. Melindungi anak dan keluarga adalah tanggung jawab bersama, dimulai dari keberanian untuk melapor, menyuarakan kebenaran, dan membangun ruang aman, baik di dunia nyata maupun digital.

#IcaKhair

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |