Kita Sibuk Mendengar untuk Menjawab, Bukan Memahami: Krisis Listening dalam Komunikasi Interpersonal

5 hours ago 3

Image raisah shabrina

Pendidikan dan Literasi | 2025-05-16 22:19:53

Pernah nggak sih, kamu ngobrol sama teman, tapi rasanya kayak ngomong ke tembok? Kamu cerita tentang hari beratmu, eh dia malah bales dengan, "Aku juga capek banget hari ini." Atau saat kamu curhat soal kegelisahan, respon yang kamu terima cuma, "Wah, aku pernah juga tuh, pas..."—lalu pembicaraan berubah jadi tentang dia. Percakapan tetap berjalan, tapi nggak ada yang benar-benar nyambung.

Kalau kita bicara soal mendengarkan secara serius, kita nggak bisa lepas dari konsep Active Listening Theory. Teori ini menjelaskan bahwa mendengarkan yang efektif itu bukan soal diam dan menatap lawan bicara, tapi melibatkan proses mental dan emosional yang mendalam.

Judith Brownell, dalam bukunya berjudul Listening: Attitudes, Principles, and Skills ada empat tahapan utama:

1. Receiving – Menangkap Pesan Secara Utuh

Ini lebih dari sekadar mendengar suara. Di tahap ini, kita benar-benar hadir dan menangkap pesan secara penuh—baik kata-katanya, nada suaranya, maupun bahasa tubuhnya. Sayangnya, banyak dari kita baru setengah hati di tahap ini karena distraksi HP atau pikiran yang ke mana-mana.

2. Understanding – Memahami Makna & Konteks

Setelah menangkap pesan, langkah selanjutnya adalah memahami. Apa maksud lawan bicara? Apa emosi yang tersembunyi di balik kata-katanya? Memahami konteks ini penting agar kita nggak salah tangkap atau buru-buru menyimpulkan.

3. Evaluating – Menilai Isi Pesan Secara Objektif

Tahap ini bukan tentang menghakimi, tapi mengevaluasi dengan pikiran terbuka: Apakah informasi ini masuk akal? Apakah ada emosi atau kebutuhan yang sedang disampaikan secara tidak langsung? Ini membantu kita menghindari reaksi impulsif yang sering bikin komunikasi berantakan.

4. Responding – Memberi Respons yang Relevan

Nah, ini tahap yang paling sering kita loncat langsung. Banyak dari kita terlalu cepat respon, padahal belum selesai menerima, memahami, apalagi mengevaluasi. Hasilnya? Respon jadi asal-asalan, tidak nyambung, atau malah menyakitkan.

Permasalahan Utama: Kita Lompat ke Respon, Lupa Tiga Langkah Sebelumnya

Inilah akar dari krisis komunikasi interpersonal hari ini: Kita hidup di era respons cepat, tapi miskin pemahaman. Banyak dari kita hanya siap membalas, bukan siap mendengar.

Tanpa sadar, kita melewatkan proses mendengarkan yang utuh. Padahal kalau semua orang mau meluangkan sedikit waktu untuk menerima, memahami, dan mengevaluasi dulu, hubungan bisa jauh lebih sehat dan minim konflik.

Fenomena: Mendengar hanya untuk membalas, bukan untuk memahami Di era serba cepat ini, kita makin terlatih untuk merespons cepat—bukan untuk mendengarkan dalam-dalam. Notifikasi berseliweran, kepala penuh to-do list, dan otak sudah sibuk menyusun kalimat balasan bahkan sebelum lawan bicara selesai bicara. Kita lebih sering mendengar untuk membalas, bukan untuk memahami. Padahal, komunikasi tanpa pemahaman hanya menciptakan suara, bukan koneksi. Generasi kita—Gen Z dan milenial—hidup di tengah banjir notifikasi, rapat virtual, voice note panjang, dan percakapan WhatsApp yang saling tumpang tindih. Semua ini menumpulkan kepekaan mendengar. Kita bisa online, tapi belum tentu hadir.

Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar didengarkan? Coba tanya ke diri sendiri: Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar didengarkan—tanpa dihakimi, tanpa disela, tanpa buru-buru diberi solusi? Dan sebaliknya, kapan terakhir kali kamu benar-benar menyediakan telinga dan hati untuk mendengarkan orang lain, bukan sekadar menunggu giliran bicara?

Dalam komunikasi interpersonal, mendengar (hearing) dan mendengarkan (listening) itu dua hal yang sangat berbeda. Hearing itu pasif—suara masuk ke telinga. Tapi listening itu aktif dan penuh perhatian. Ini tentang hadir secara utuh: secara fisik, mental, dan emosional.

Menurut Julian Treasure, pakar komunikasi dan sound expert, mendengarkan adalah tindakan sadar yang melibatkan perhatian, interpretasi makna, dan empati. Sementara menurut psikolog Carl Rogers, mendengarkan yang efektif hanya bisa terjadi ketika seseorang mengesampingkan ego-nya dan sepenuhnya fokus pada orang yang sedang bicara. Ia menyebut ini sebagai empathetic listening—bukan untuk menilai, menyela, atau memperbaiki, tapi untuk memahami dari dalam.

Dalam pendekatan komunikasi interpersonal modern, konsep active listening juga banyak dibahas. Ini mencakup beberapa komponen penting: memberi kontak mata, menggunakan bahasa tubuh terbuka, tidak menyela, memberi respons verbal minimal (“hmm”, “iya”), dan mengulang pernyataan lawan bicara untuk memvalidasi perkataanya setelah lawan bicara selesai bicara.

Kenapa Kita Kehilangan Kemampuan untuk Mendengarkan?

1. Budaya Respons Cepat Dengan budaya chat instan, komentar real-time, dan story 24 jam yang bisa hilang kapan saja, kita jadi terbiasa cepat. Kecepatan jadi nilai utama, bahkan dalam relasi. Akibatnya, banyak orang merasa "didengar" tapi tidak pernah "dimengerti".

2. Distraksi Digital yang Kronis Setiap notifikasi yang muncul memotong perhatian dan mengalihkan fokus. Saat lawan bicara curhat, kita mungkin terlihat menatap, tapi pikiran sudah jalan-jalan ke Instagram, tugas, atau e-commerce.

3. Egocentric Bias: Ingin Didengar, Bukan Mendengar Banyak dari kita punya kecenderungan alami untuk mengaitkan pengalaman orang lain dengan diri sendiri. Alih-alih mendengarkan dengan terbuka, kita langsung berpikir, "Gue juga pernah tuh..."—dan percakapan bergeser jadi tentang kita. Ini bukan salah niat, tapi refleks ego yang belum terlatih untuk diam.

4. Kurangnya Pendidikan Emosional dan Empati Di sekolah, kita diajarkan matematika, sains, dan bahasa, tapi tidak pernah diajarkan cara mendengarkan dengan empati. Padahal kemampuan ini penting dalam menjaga hubungan, menghindari konflik, dan membangun rasa aman emosional dalam relasi.

Dampak Interpersonal: Ketika Mendengarkan Tak Lagi Jadi Kebiasaan

Kalau kemampuan mendengarkan hilang dari percakapan kita sehari-hari, yang rusak bukan cuma komunikasi—tapi juga hubungan.

1. Komunikasi Jadi Dangkal dan Rentan Salah Paham

Tanpa proses mendengarkan yang utuh, percakapan sering berakhir dengan kesimpulan yang salah atau emosi yang terabaikan. Curhatan dianggap keluhan, kritik dianggap serangan, dan pujian malah terdengar sarkastik. Adler, Rosenfeld & Proctor (2018) dalam Interplay, yang menekankan pentingnya pemahaman konteks dan makna dalam percakapan agar komunikasi interpersonal berjalan efektif.

2. Orang Merasa Tidak “Dilihat” dan “Didengar”

Menurut Rogers, ketika seseorang merasa tidak didengarkan dengan empati, ia merasa diabaikan secara emosional. Ini bukan soal volume suara, tapi soal rasa hadir. Saat seseorang bicara dan tidak merasa benar-benar didengarkan, muncul rasa diabaikan. Lama-lama, orang jadi enggan terbuka. Mereka mulai menarik diri karena merasa: “Ngapain cerita? Toh, nggak didengerin juga.”

3. Kualitas Hubungan Menurun—Diam-Diam Tapi Pasti

Pacaran jadi sering salah paham, keluarga jadi saling curiga, pertemanan makin renggang. Bukan karena masalah besar, tapi karena komunikasi kecil yang terus-menerus gagal. Rasa koneksi emosional memudar karena yang tersisa hanyalah pertukaran kata, bukan pertukaran rasa. John Gottman (1999) dalam penelitiannya tentang hubungan suami-istri menunjukkan bahwa mendengarkan dengan empati adalah penentu utama kelanggengan hubungan.

Di tengah dunia yang makin berisik, diam untuk mendengarkan justru jadi tindakan yang paling revolusioner. Tapi bagaimana caranya agar kita nggak cuma mendengar, tapi juga benar-benar hadir?

1. Latih “Active Listening” Sehari-hari

Kapan pun kamu ngobrol, jadikan itu latihan. Fokuskan perhatian penuh. Letakkan HP. Tatap mata lawan bicara. Tahan keinginan untuk menyela atau memberi solusi cepat. Cukup dengarkan dulu sampai selesai. Gunakan teknik 3S yaitu Senyum, Sabar, dan Simak.

2. Ciptakan Ruang Aman dalam Komunikasi

Terkadang orang hanya ingin didengar, bukan dibenahi. Tanyakan: “Kamu pengin aku dengerin aja, atau pengin aku bantu mikirin solusi juga?”—ini sederhana tapi bisa mengubah kualitas komunikasi.

3. Detox Distraksi Digital (Minimal Saat Ngobrol)

Buat kebiasaan “No Notification Zone” saat momen penting: makan bersama, curhat sahabat, rapat tim kecil. Sinyal kecil ini bisa memberi dampak besar: “Kamu penting. Aku di sini, sekarang.”

4. Sadari Bahwa Mendengarkan Juga Butuh Latihan, Bukan Bakat

Mendengarkan adalah soft skill yang bisa dilatih, seperti berolahraga atau belajar main alat musik. Kamu nggak harus langsung jago. Tapi begitu kamu mulai sadar dan mau memperbaiki, itu sudah langkah besar. Setiap percakapan adalah ruang latihan kecil untuk jadi manusia yang lebih utuh—yang mendengar, bukan hanya menunggu giliran bicara.

Mendengarkan bukan cuma teknik komunikasi. Ia adalah bentuk kepedulian.

Jadi sebelum kamu mengetik balasan, atau sebelum buru-buru kasih nasihat berhenti sebentar. Tarik napas. Dan dengarkan.

Siapa tahu, itu yang paling dibutuhkan oleh orang di depanmu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |