Kurikulum Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa: Antara Hambatan dan Harapan

6 hours ago 5

Image Tiara Fitriyanti Kusuma

Pendidikan | 2025-05-17 08:38:46

Pembelajaran dalam Kurikulum. (Sumber: https://www.pexels.com)

Sejak kemerdekaan, Indonesia telah menerapkan sejumlah kurikulum, di antaranya:

1. 1947: Rencana Pelajaran Terurai, berfokus pada pembentukan karakter pasca-kolonial.

2. 1964–1968: Menekankan “Pancawardhana” dan stabilitas nasional.

3. 1975: Berbasis tujuan instruksional dan pola sentralisasi.

4. 1984: CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) mulai diperkenalkan.

5. 1994 & 2004 (KBK): Kompetensi dasar mulai ditekankan.

6. 2006 (KTSP): Sekolah diberi otonomi dalam penyusunan kurikulum.

7. 2013 (K13): Menerapkan pendekatan saintifik dan pembelajaran tematik integratif.

---

Pendidikan nasional bergantung pada kurikulum. Ia lebih dari sekadar surat perintah; itu adalah peta jalan yang menetapkan tujuan pembelajaran, prinsip yang ditanamkan, dan kemampuan siswa. Kurikulum Indonesia telah diubah lebih dari enam kali sejak kemerdekaan. Perubahan ini mencerminkan perubahan paradigma, tuntutan sosial, dan tekanan politik.

Perubahan kurikulum tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks politik dan sejarah bangsa. Kurikulum 1947, misalnya, dirancang untuk membangun identitas nasional setelah kolonialisme berakhir. Kurikulum 1975 dan 1984 lebih menekankan stabilitas nasional dan efisiensi administratif selama Orde Baru. Kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013 (K13) lebih fokus pada kompetensi dan fleksibilitas untuk menanggapi era globalisasi. Namun, di balik perubahan ini, ada konflik yang terus-menerus antara keyakinan kebijakan dan kenyataan operasi lapangan. Ini terutama terlihat dari penggunaan Kurikulum 2013, yang menekankan pembelajaran tematik integratif, pendekatan saintifik, dan sifat holistik siswa. Ini secara teoritis merupakan kemajuan besar. Prinsip-prinsip ini masih belum mampu diwujudkan di banyak ruang kelas. Salah satu masalah muncul dari Standar Proses, yang ditetapkan dalam kurikulum 2013 yang menuntut guru mengikuti lima tahapan saintifik: mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. Namun, karena waktu yang terbatas dan jumlah siswa yang besar, banyak guru menghadapi tantangan dalam praktik melakukan proses ini. Misalnya, di pelajaran Bahasa Indonesia, siswa diminta untuk menganalisis struktur teks laporan berdasarkan apa yang mereka lihat. Kegiatan mengamati dan menalar tidak dapat dilakukan secara menyeluruh di sekolah dengan lebih dari empat puluh siswa per-kelas.

Masalah kedua berasal dari standar pendidikan dan tenaga pengajar. Pelatihan yang memadai seringkali tidak disertai dengan perubahan kurikulum. Tanpa pendampingan yang intensif, guru diminta untuk mengubah pendekatan mereka dari berpusat pada pendidik ke berpusat pada siswa. Nurtanto et al. (2020) melakukan penelitian yang menemukan bahwa kebanyakan guru tidak menerima pelatihan berkelanjutan dan hanya bergantung pada seminar singkat yang informatif, tetapi tidak transformatif. Selain itu, standar sarana dan prasarana sangat menantang, terutama di sekolah-sekolah pinggiran dan daerah 3T. Meskipun K13 mendorong penggunaan media interaktif dan teknologi, sekolah-sekolah ini bahkan tidak memiliki akses listrik yang stabil atau internet. Di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, guru hanya menggunakan buku cetak dan papan tulis untuk mengajar. Sementara itu, siswa K13 diminta untuk menggunakan pembelajaran video dan presentasi digital. Kurikulum tampak "asing" dan tidak kontekstual karena ketidaksesuaian ini.

Kurikulum saat ini menekankan penilaian autentik, yang mencakup komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, guru yang mengajar lima atau lebih siswa seminggu sulit menerapkan penilaian autentik secara objektif dan efektif. Terakhir, banyak guru kembali ke model penilaian tradisional, yang merupakan model pilihan ganda yang lebih mudah dikoreksi, tetapi tidak mewakili kompetensi sebenarnya. Antara pusat dan daerah ada perbedaan yang paling penting. Kebijakan kurikulum dibuat di tingkat pusat, tetapi diterapkan di berbagai daerah. Siswa di kota-kota besar sudah terbiasa dengan teknologi dan pendidik dapat memberikan pelatihan daring. Sebaliknya, guru harus menempuh jarak ratusan kilometer hanya untuk menghadiri rapat kurikulum di wilayah Sumatera atau Papua. Ini menyebabkan ketidaksamaan struktural yang tidak pernah terselesaikan.

Kurikulum seringkali dijadikan sebagai alat politik. Setiap pergantian menteri, perdebatan tentang perubahan kurikulum kembali muncul. Sepertinya semua masalah pendidikan dapat diselesaikan dengan mengubah format kurikulum. Tanpa implementasi yang tepat, kurikulum hanya akan menjadi kertas kosong. Transisi dari KTSP ke K13 menyebabkan banyak sekolah bingung. Meskipun tidak ada buku yang tersedia dan guru belum dilatih, pembelajaran harus dimulai. Karena kebijakan yang tidak jelas dari dinas pendidikan setempat, di salah satu SMP di Sleman, guru bahkan diminta untuk membuat dua perangkat ajar sekaligus untuk KTSP dan K13. Mengingat beban administratif ini, waktu guru yang diperlukan untuk benar-benar mempersiapkan proses pembelajaran bertambah.Kurikulum seringkali berfungsi sebagai alat politik. Setiap pergantian menteri, perdebatan tentang perubahan kurikulum kembali muncul. Sepertinya semua masalah pendidikan dapat diselesaikan dengan mengubah format kurikulum. Pelaksanaan, bukan struktur isi, adalah inti dari masalah. Tanpa implementasi yang tepat, kurikulum hanya akan menjadi kertas kosong.

Selain itu, hasil belajar siswa menunjukkan ketimpangan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sulisworo dan Suryani (2014) menemukan bahwa sekolah yang memiliki guru yang terlatih, fasilitas yang tersedia, dan supervisi yang berlangsung hanya dapat menghasilkan peningkatan kemampuan berpikir kritis. Di sekolah tanpa kondisi ini, hasil belajar akan stagnan atau bahkan menurun karena proses pembelajaran tidak berjalan dengan baik.

Problematika

1. Standar Isi dan Standar Proses

Kurikulum 2013 dirancang dengan pendekatan saintifik yang menuntut proses belajar aktif, yakni melalui tahapan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan (Hosnan, 2014). Namun pada praktiknya, sebagian besar guru belum mampu menerjemahkan pendekatan ini dalam pembelajaran sehari-hari. Kesenjangan ini terjadi karena:

a. Guru terbiasa menggunakan metode ceramah, bukan eksplorasi.

b. Kurangnya waktu pertemuan per minggu untuk mengembangkan proses saintifik secara utuh.

Contoh kasus: Di sebuah SD Negeri di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, guru hanya memiliki waktu 2 x 35 menit untuk mata pelajaran IPA. Akibatnya, tahapan mencoba dan mengomunikasikan kerap dilewati karena keterbatasan waktu.

2. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Perubahan kurikulum tidak disertai dengan pelatihan intensif dan berkelanjutan. Banyak pelatihan bersifat teoritis, hanya bersifat sosialisasi awal tanpa pendampingan di lapangan. Menurut penelitian Nurtanto et al. (2020), hanya sekitar 46% guru yang merasa percaya diri menerapkan pendekatan saintifik dalam K13 karena minimnya pelatihan aplikatif. Banyak guru juga tidak mendapatkan modul pelatihan yang relevan dengan kebutuhan lokal mereka.

Contoh: Guru SMP di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mengaku hanya mengikuti satu kali pelatihan daring tentang K13 selama 2 jam, tanpa sesi praktik atau pendampingan dalam merancang RPP berbasis saintifik.

3. Standar Sarana dan Prasarana

Kurikulum 2013 sangat bergantung pada teknologi dan media pembelajaran interaktif. Sayangnya, banyak sekolah belum memiliki fasilitas penunjang minimal.

Menurut data Kemendikbud (2019), lebih dari 30% sekolah dasar di Indonesia belum memiliki akses internet yang stabil. Beberapa sekolah bahkan tidak memiliki listrik yang menyala sepanjang hari.

Contoh lapangan: Di SD di Desa Kokas, Papua Barat, guru masih menggunakan papan tulis dan gambar manual dari majalah bekas karena tidak tersedia LCD atau laptop. Padahal, kurikulum meminta penggunaan video sebagai stimulus belajar.

4. Standar Penilaian

Penilaian dalam K13 dikenal dengan penilaian autentik, yakni tidak hanya menilai aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Dalam praktiknya, guru kewalahan menerapkan penilaian ini. Beberapa kendala yang dihadapi:

a. Banyak indikator penilaian sulit diukur secara objektif.

b. Penilaian sering bergeser menjadi formalitas administratif.

Contoh: Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Negeri di Tangerang mengungkapkan bahwa ia harus menilai lebih dari 100 siswa untuk aspek tanggung jawab, rasa ingin tahu, dan kerja sama hanya berdasarkan pengamatan umum tanpa instrumen standar. Ini membuat hasil penilaian menjadi tidak akurat.

5. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

SKL dalam K13 dirancang untuk membentuk lulusan yang memiliki kompetensi spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Namun, karena problem di standar proses dan penilaian, pencapaian SKL ini tidak merata.

Contoh: Laporan monitoring dari LPMP Jawa Tengah (2018) menunjukkan bahwa capaian keterampilan komunikasi siswa SMA di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan siswa di pedesaan karena akses pembelajaran berbasis proyek yang lebih optimal.

6. Standar Pengelolaan

Banyak sekolah masih menjalankan kurikulum sebagai perintah pusat, bukan bagian dari pengelolaan berbasis sekolah. Sekolah tidak dilibatkan dalam penyesuaian kurikulum terhadap konteks lokal, sehingga guru hanya menjalankan instruksi, bukan melakukan pengembangan kurikulum yang kontekstual.

7. Standar Pembiayaan

Perubahan kurikulum seringkali tidak diikuti dengan alokasi dana operasional khusus. Akibatnya, pelatihan, pengadaan buku, dan sarana teknologi terhambat.

8. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

Ketersediaan guru mata pelajaran yang sesuai bidangnya masih menjadi tantangan, terutama di daerah terpencil. Guru yang berlatar belakang Bahasa Indonesia, misalnya, bisa saja merangkap mengajar sosiologi atau PKN karena keterbatasan SDM. Hal ini mengganggu pencapaian kurikulum yang berbasis kompetensi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |