Kritik Spiritual Terhadap Teori Ekonomi Lionel C Robbins

11 hours ago 6

Oleh : Achmad Tshofawie, Koordinator Eco-Fitrah, keluarga ICMI dan FK-PPI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam literatur ekonomi modern, nama Lionel C Robbins menempati posisi penting. Ia dikenal karena definisinya yang monumental dan sangat berpengaruh tentang ilmu ekonomi.

"Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan yang tak terbatas dan sarana yang terbatas yang mempunyai kegunaan alternatif." (Lionel C Robbins, An Essay on the Nature and Significance of Economic Science,1932)

Dengan kalimat ini, Robbins menyatakan bahwa kebutuhan manusia tak terbatas, sementara sumber daya alam terbatas. Maka, menurutnya, ekonomi harus mengatur pilihan secara efisien. Tapi benarkah manusia punya kebutuhan yang tak terbatas? Atau, seperti dalam kisah suci awal peradaban,manusia sejatinya telah diajari batasan bahkan di dalam surga?

Alquran  menyatakan saat Allah menempatkan Adam dan Hawa di dalam surga Ia bersabda “Wahai Adam! Tinggallah kamu dan istrimu di surga, dan makanlah dari (hasilnya) apa saja yang kamu sukai, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, maka kamu akan termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)

Ayat ini sering dibaca sebagai kisah pelanggaran atau ujian. Tapi jika kita tarik lebih dalam, ayat ini menyimpan prinsip dasar peradaban. Bahwa bahkan dalam keadaan paling ideal—di surga pun—kepuasan manusia tidak absolut. Ada batas. Ada larangan. Ada kendali. Itu artinya, fitrah manusia tidak pernah dirancang untuk bebas sepenuhnya dari kendali.

Hasrat tidak boleh dibiarkan liar, bahkan ketika semua kenikmatan tersedia. Dan lebih dalam lagi, larangan adalah bentuk perlindungan, bukan sekadar pembatasan. 

Robbins, dan ekonomi modern setelahnya, mencampuradukkan antara keinginan (desire) dengan kebutuhan (need).  Ia memperlakukan semua keinginan sebagai “tujuan” yang sah, selama bisa dibeli atau dipuaskan secara legal.

Padahal, dalam pandangan Qurani kebutuhan manusia itu terbatas; dan bisa dicukupi (QS Fushshilat: 10). Justru yang tak terbatas adalah syahwat, jika dibiarkan tanpa panduan.

Maka, sistem ekonomi yang sehat adalah sistem yang membimbing syahwat, bukan menuruti semuanya. Di sinilah letak kesesatan mendasar teori Robbins. Ia menormalisasi syahwat sebagai kodrat, padahal syahwat harus ditertibkan oleh akal dan wahyu.

***

Ada ironi besar di sini: bahkan di surga awal, tempat Adam dan Hawa tinggal dalam kondisi kenyamanan yang sempurna, Allah tetap menetapkan batasan. Lalu bagaimana mungkin kita menciptakan sistem ekonomi yang menganggap bahwa semua keinginan sah dipenuhi? Bahwa kelangkaan adalah kodrat dan tak bisa diselesaikan?

Paradigma Robbins justru menjadi pembenar bagi konsumerisme tanpa kendali; penumpukan kekayaan tanpa etika;eksploitasi sumber daya tanpa pertanggung jawaban spiritual.

Sistem fitrah mengajarkan konsep kifayah (kecukupan) dan barakah (keberkahan), bukan kepuasan tak terbatas. Rasulullah ﷺ bersabda. “Sesungguhnya sesuatu yang sedikit namun mencukupi lebih baik daripada yang banyak tapi melalaikan.” (HR Ahmad)

Kepuasan sejati bukan soal banyaknya yang dimiliki, tapi seberapa cukup, halal, dan berkah sesuatu itu dalam kehidupan kita. Di sini ekonomi fitrah berdiri tegak, bukan di atas kelangkaan, tapi di atas keadilan dan keseimbangan.

Esai ini bukan sekadar kritik terhadap Lionel C Robbins. Ini adalah ajakan reflektif: bahwa menolak kepuasan tanpa batas adalah jalan kembali ke kemanusiaan sejati. Kita bukan makhluk tanpa kendali, tapi makhluk yang diberi kehormatan untuk memilih tunduk pada syahwat, atau tunduk pada petunjuk.

Jika surga awal saja tidak membebaskan manusia sepenuhnya dari batasan, maka dunia ini, tempat ujian dan tanggung jawab, lebih layak untuk dijalani dengan kendali, akhlak, dan iman.

Batasan adalah bagian dari kemuliaan manusia, sebab ia memberi ruang bagi kesadaran, akhlak dan tanggung jawab.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |