Masyarakat, Moral, dan Hukum di Indonesia: Mencari Keseimbangan dalam Ketegangan Sosial

18 hours ago 9

Image Senja

Hukum | 2025-05-10 13:54:55

Indonesia sebagai sebuah negara hukum mengakui supremasi hukum itu dalam mengatur kehidupan berbangsa serta bernegara. Pada kenyataannya, norma hukum positif, nilai moral masyarakat, dan keadaan sosial nyata kerap menimbulkan pertentangan. Soal hukum di Indonesia cukup responsif pada kebutuhan masyarakat juga nilai moral jadi pertanyaan penting yang terus muncul.

Apakah hukum itu adalah cermin dari moral masyarakat kita?

Secara teoritis, hukum pada idealnya lahir dari nilai-nilai yang hidup di dalam suatu masyarakat. Akan tetapi di Indonesia, banyak aturan dibuat oleh elite politik secara top-down tanpa partisipasi publik yang besar. Ini sering kali menyebabkan konflik antara moralitas sosial beserta hukum.

Kasus kriminalisasi terhadap orang miskin yang mencuri karena lapar merupakan contoh nyata yang dapat dilihat mata. Secara hukum positif, tindakan itu adalah jelas suatu pelanggaran. KUHP mengatur hal ini pada Pasal 362. Namun secara moral, masyarakat sering kali justru menunjukkan simpati dan menganggap tindakan itu sebagai refleksi dari keputusasaan, bukan kejahatan.

Moral Publik vs Moral Negara

Karakteristik sosial pada Indonesia bersifat pluralistik. Sumber moral publik adalah nilai adat, agama, dan budaya lokal. Namun di dalam hukum positif, acuan utamanya adalah moral formal yang dikodifikasi di dalam peraturan perundang-undangan. Moral yang formal ini sering kali tidak sejalan dengan realitas sosial itu.

  • Kasus mengenai pelarangan kepercayaan serta ekspresi budaya lokal.
  • Kriminalisasi terhadap kelompok minoritas maupun marginal.
  • Peraturan daerah tersebut diskriminatif. Hal ini adalah karena didasarkan pada suatu tafsir moral yang tertentu.

Konflik antara Hukum, Moral, dan Keadilan

Tanggung jawab terhadap hukum formal di Indonesia semakin meningkat, khususnya ketika hukum dianggap tidak mendukung keadilan yang substansial. Dalam perspektif hukum progresif yang dijelaskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya tidak sekadar berupa teks, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Karena itu, ketika hukum dan moral saling bertentangan, hakim atau penegak hukum diharuskan untuk menginterpretasikan hukum dengan cara yang humanis dan sesuai konteks.

Solusi dan Rekomendasi

  • Partisipasi masyarakat dalam proses legislasi harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa hukum merepresentasikan nilai-nilai moral masyarakat.
  • Pendidikan hukum yang humanis perlu diperkuat agar aparat hukum tidak hanya berpikir legalistik, tetapi juga etis.
  • Reformasi hukum pidana diperlukan untuk memberikan ruang lebih besar bagi penilaian moral dalam kasus tertentu, termasuk penerapan hukum yang mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi pelaku.
  • Mendorong peran hakim progresif yang berani keluar dari kekakuan teks demi rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Kesimpulan

Hukum, moral, dan masyarakat adalah tiga entitas yang saling terkait. Di negara yang majemuk seperti Indonesia, hukum tidak boleh menjadi alat dominasi moral kelompok tertentu, melainkan harus menjadi jembatan antara keadilan formal dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, hukum progresif hadir sebagai solusi yang menjanjikan bukan untuk menggantikan hukum positif, tapi untuk membuka ruang tafsir yang lebih manusiawi dalam penegakan hukum.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |