Rut Sri Wahyuningsih
Gaya Hidup | 2025-03-11 16:01:09

Viral sebuah video yang memperlihatkan seorang gadis remaja mengancam ibunya dengan membawa senjata tajam, hanya perkara tidak dibelikan Skincare. Kejadian tersebut ternyata terjadi di Pemalang, Kapolres Pemalang AKBP Eko Sunaryo membenarkannya (CNN indonesia.com, 2-2-2025).
Tahun 2022 lalu saat konser Coldplay menyambangi Indonesia, Konten media sosial yang berisi pengalaman konser Coldplay di negara lain membuat banyak orang juga ingin merasakan kesenangan yang sama. Fenomena membagikan perjuangan mendapatkan tiket konser pun sempat ramai di media sosial. Semua orang berlomba mendapatkan tiket, ekspektasi kesenangan bisa menonton konser, dan dorongan mengikuti tren membuat seseorang mencari dan melakukan segala cara untuk bisa mendapatkan tiket konser Coldplay, baik secara legal maupun ilegal.
Dan sudah pasti, ada pihak yang memanfaatkan dan berusaha memancing di air keruh, kondisi psikologis yang dirasakan penggemar ini banyak yang dimanfaatkan oleh oknum penipu untuk mendapatkan keuntungan.
Masih di tahun yang sama, seorang remaja di Bekasi berusia 13 tahun dengan inisial FA tewas karena melakukan sebuah tantangan yang sedang tren di TikTok yang dikenal sebagai ‘Challenge malaikat maut.’ Tren tersebut dilakukan dengan cara melompat ke depan truk untuk menghadang lajunya, truk dalam kondisi kecepatan tinggi, dengan harapan supir truk dapat melakukan rem mendadak dan membelokkan truk. Setor nyawa gratis ini justru dianggap tren ( binus.ac.id, 21-7-2022).
"Demam" boneka Labubu yang booming setelah idol K-pop Lisa BLACKPINK memamerkannya di media sosial menjadi daya tarik bagi masyarakat karena nilai eksklusivitas, keterbatasan produksi, dan keterkaitannya dengan budaya pop yang memiliki basis penggemar. Menjadi FOMO, karena menciptakan persepsi bahwa memiliki Labubu berarti turut menjadi bagian dari tren global yang dipopulerkan sosok yang sangat diidolakan sebagaimana yang dikatakan Sosiolog Universitas Airlangga Nur Syamsiyah SSosio MSc (Jawa Pos.com, 13-10-2024).
Syamsiyah juga mengatakan pembelian produk viral bukan sekadar soal pemenuhan kebutuhan individu. Namun, bagaimana seseorang terlihat relevan di mata lingkungan sosialnya. Dengan begitu, terjadilah fenomena fear of missing out (FOMO). Artinya, seseorang tidak ingin merasa tertinggal dari tren yang sedang populer. Jelas media sosial sangat berperan penting, padahal fenomena ini sama artinya mendorong pada gaya hidup konsumerisme.
Sebetulnya, menurut Syamsiyah, fenomena FOMO juga bisa membawa implikasi positif dari segi ekonomi. Produsen dan kreator berlomba-lomba menarik perhatian orang yang tidak ingin ketinggalan tren sehingga dapat meningkatkan penghasilan. Namun di sisi lain FOMO menambah tekanan sosial untuk ikut tren yang sebenarnya tidak cocok dengan minatnya. Juga menyebabkan kecemasan karena tidak ingin tertinggal tren serta memicu perbandingan sosial yang tidak sehat,
Ada apa gerangan kita hari ini, kejadian tak terduga masih saja terjadi seiring tren yang berganti-ganti. Berapa banyak nyawa terenggut percuma, depresi parah hingga kehilangan harta benda, tapi seolah tak kapok. Fenomena inilah yang disebut FOMO (Fear of Missing Out) yang kemudian berkembang menjadi YOLO ( You Only Live Once) dan FOPO ( Fear of Other People’s Opinions).
Kasus tersebut telah menggambarkan betapa negatifnya FOMO, FOPO dan YOLO karena orang-orang harus menghadapi resiko yang buruk hanya untuk dianggap keren dan kekinian tanpa memikirkannya dampaknya terlebih dahulu ( binus.ac.id, 21-7-2022).
FOMO, YOLO, FOPO juga dapat menurunkan daya kritis dan rendahnya kontrol emosi membuat seseorang rentan menjadi korban penipuan dan manipulasi dari orang yang tidak bertanggungjawab (klikdokter.com, 17-11-2023).
Bahkan fenomena FOMO, FOPO dan YOLO mampu meningkatkan adopsi layanan financial technology (fintech) di kalangan muda, milenial (kelahiran 1981 sampai 1996) dan generasi Z (kelahiran 1997 sampai 2012). Hal ini berdasarkan laporan Lokadata.id, sebanyak 78 persen masyarakat generasi milenial dan gen Z telah menggunakan aplikasi fintech setiap harinya, termasuk dompet digital, layanan pinjaman, dan pembayaran digital (kompas.com, 11-10-2024).
Publik & Government Relation Manager 360Kredi Habriyanto Rosyidi S mengatakan, tingginya adopsi layanan fintech ini berpotensi menimbulkan kerugian jika tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik meski di sisi lain membawa dampak positif bagi dunia kerja. Lebih jauh lagi, dampak negatifnya menjadi ketergantungan terhadap utang yang tidak produktif.
Seolah membenarkan dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyumbang utama kredit macet pinjol (pinjaman online) adalah generasi milenial dan gen Z. Pada Juli 2024, tingkat kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di perusahaan pinjol atau peer to peer (P2P) lending mencapai sebesar 2,53 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK Frederica Widyasari Dewi mengatakan, fenomena doom spending ( perilaku belanja impulsif tanpa berpikir panjang) inilah yang menyebabkan generasi muda gemar berutang. Didukung dengan teknologi yang semakin berkembang, mencari utang sangat mudah. Sebutlah produk pinjol dan paylater.
Pengamat sosial Devie Rahmawati, FOMO dapat menyebabkan dampak buruk. Kalau kemudian, untuk mengejar perhatian dia menggunakan segala cara yang termasuk menggadaikan kehormaatan dirinya, keluarga juga bangsanya. Hingga keterlibatan dengan hukum pidana.
Sosiolog Sunyoto Usman bahkan mengatakan, bahwa FOMO dapat membuat seseorang menjadi narsistik , atau yang biasa disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD), dimana pengidapnya merasa sangat penting dan harus dikagumi. Mereka juga hampir selalu merasa lebih baik ketimbang orang lain.
Ketika Media Sosial Menjadi Acuan
FOMO, FOPO atau YOLO telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z, ketiga penyakit mental itu mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Tentulah fenomena ini tidak muncul begitu saja, semua bermuara pada sistem Liberal Kapitalisme Demokrasi. Liberal yang mengunggulkan kebebasan individu tanpa ikatan aturan (agama), sementara Kapitalisme memaknai kebahagiaan hanyalah terpenuhinya kebutuhan jasadiyah dengan materi, tanpa peduli halal haram, digabung dengan sistem politik Demokrasi yang memunculkan pemimpin culas, zalim dan bekerja bukan untuk rakyat.
Ketiganya sama-sama berasas sekular, memisahkan agama dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat hingga negara. Sehingga sangat jelas rusak dan merusaknya, mengakibatkan gen Z bergaya hidup bebas, hedonistik dan konsumerisme. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama. Bagi muslim yang mengakui perhitungan semua amal di hari akhir tidak berpengaruh samasekali, sebab itu tak terlihat nyata dibandingkan dengan pendapat sosial masyarakat atau komunitas jika dia tidak ikut tren.
Akibatnya terjadi pengabaian potensi gen Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik, dalam benaknya hidup hanya hari ini, tentulah lebih optimal untuk hari ini sesuai apa yang digambarkan di media sosial yang menjadi rujukannya. Kelemahan pribadi ini juga menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju kebaikan. Apalagi regulasi dalam sistem hari ini tidak memberikan perlindungan bagi gen Z, namun justru menjerumuskan gen Z pada lingkaran materiaslistik melalui sosial media yang menciptakan gaya hidup FOMO.
Hukum atau kebijakan pemerintah tidak pernah bisa benar-benar memberikan hukuman yang menjerakan kepada pelaku kriminal karena tindakan FOMO, FOPO atau YOLOnya. Apalagi edukasi, sama-sama berasas sekular, maka yang menjadi pokok penyusunan kurikulum adalah bagaimana anak didik bisa terlink dengan dunia kerja saat mereka lulus. Sedangkan akidah, aklak dan adab seadanya alias menjadi pilihan pribadi masing-masing bukan lembaga pendidikan.
Tak Ada Penyakit Mental dalam Sistem Islam yang Dibiarkan
Islam memandang Pemuda memiliki potensi luar biasa dan menjadi kekuatan besar yang dibutuhkan umat, karena generasi muda adalah agen perubahan menuju kebangkitan Islam. Tenaga dan pikiran mereka masih fresh, tapi menjadi sia-sia jika dalam sistem yang tidak tepat.
Namun inilah yang justru menjadi tujuan dari musuh-musuh Islam, mereka melanggengkan sistem Liberal Kapitalisme Demokrasi dengan segala cara hanya agar Islam tidak bangkit dari tangan-tangan dan pemikiran generasi mudanya.
Hanya dengan sistem Islam , potensi Gen Z bisa melejit. Sebab Islam memiliki sistem terbaik untuk mengarahkan hidup mereka sesuai dengan tujuan penciptaan menjadi hamba Allah sebagaimana firman Allah swt. yang artinya, “ Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (TQS. Az-Zariyat : 56). Sekaligus mampu mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam. Potensi ini dibutuhkan untuk membangun Kembali peradaban gemilang yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu dalam naungan Khilafah Islamiah.
Tidakkah kita merindukan kembali kepada aturan Allah SWT? “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS al-Maidah:49). Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.