Muhamad Ferdiansah
Politik | 2025-03-06 15:15:05
Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat. Hari ini, satu isu menjadi perbincangan hangat, tetapi keesokan harinya hilang begitu saja, tergantikan oleh isu lain yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Pergantian isu yang begitu cepat ini sering kali menimbulkan pertanyaan: apakah ini murni dinamika berita atau ada kepentingan yang bermain di baliknya?
Urupong" />
Penyeberan Berita yang cukup cepat. Foto: Istock/Urupong
Media seharusnya berfungsi sebagai alat kontrol sosial, menyampaikan informasi secara objektif, dan menjadi penyeimbang dalam demokrasi. Namun, dalam praktiknya, media sering kali terjebak dalam kepentingan pemilik modal dan politikus. Di Indonesia, kepemilikan media yang terkonsentrasi pada segelintir elite bisnis dengan afiliasi politik menjadikan pemberitaan tidak selalu berdiri di atas prinsip independensi. Ketika kepentingan pemilik bertemu dengan kebutuhan politik, informasi yang disajikan kepada publik menjadi sarana penggiringan opini, bukan lagi produk jurnalistik yang bertanggung jawab.
Salah satu fenomena yang paling kentara adalah bagaimana berita dapat berubah dengan sangat cepat bergantung pada dinamika politik. Ketika suatu isu mencuat, media tertentu bisa saja memberikan eksposur besar-besaran jika isu itu sejalan dengan kepentingan politik mereka. Namun, jika isu tersebut berpotensi merugikan pihak yang mereka dukung, pemberitaannya dapat diminimalkan atau bahkan digeser dengan berita lain yang lebih ringan dan menghibur. Hal ini bukan sekadar strategi bisnis untuk meningkatkan peringkat atau klik, tetapi juga bagian dari permainan politik yang bertujuan membentuk persepsi publik sesuai dengan narasi tertentu.
Pengalihan isu adalah taktik yang sering digunakan dalam lanskap politik Indonesia. Ketika ada kasus besar, seperti korupsi, skandal pejabat, atau kebijakan yang menuai kritik, tidak jarang muncul berita lain yang tiba-tiba menjadi viral dan menyita perhatian publik. Isu tersebut bisa berupa kontroversi selebritas, konflik antarpihak yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat luas, atau bahkan sesuatu yang dibuat seolah-olah mendesak agar perhatian publik terpecah. Fenomena ini menimbulkan kecurigaan bahwa tidak semua berita yang menjadi tajuk utama benar-benar penting, melainkan ada yang memang sengaja didorong ke permukaan untuk menutupi sesuatu yang lebih substansial.
Media sosial turut mempercepat dinamika ini. Algoritma yang dirancang untuk menampilkan konten yang paling banyak menarik perhatian membuat berita sensasional lebih cepat menyebar dibandingkan dengan berita yang membutuhkan pemahaman mendalam. Akibatnya, publik lebih banyak mengonsumsi informasi yang dangkal dan cepat berubah, sementara isu-isu yang memiliki dampak jangka panjang terhadap kehidupan mereka justru kurang mendapat perhatian.
Selain itu, semakin banyak media yang secara terang-terangan berpihak pada kelompok politik tertentu. Framing berita menjadi alat untuk membentuk opini publik, bukan sekadar menyampaikan fakta. Sering kali, dua media yang berbeda dapat melaporkan satu peristiwa dengan sudut pandang yang bertolak belakang, bergantung pada kepentingan politik yang mereka dukung. Hal ini semakin memperparah polarisasi masyarakat, di mana orang hanya percaya pada media yang sejalan dengan preferensi politik mereka dan menolak informasi dari sumber lain yang dianggap "berlawanan."
Dalam konteks ini, jurnalisme kehilangan fungsinya sebagai penjaga demokrasi. Ketika media lebih sibuk memainkan peran dalam permainan kekuasaan, kepentingan publik justru terabaikan. Isu-isu yang seharusnya mendapatkan perhatian serius, seperti ketimpangan ekonomi, kualitas pendidikan, atau kebijakan lingkungan, tenggelam di antara hiruk pikuk berita yang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan atau alat propaganda.
Dampak dari semua ini adalah menurunnya kesadaran kritis masyarakat. Ketika berita terus berubah dengan cepat, publik cenderung kehilangan daya ingat kolektif terhadap isu-isu penting. Banyak kasus besar yang sempat menjadi perbincangan nasional akhirnya menguap tanpa penyelesaian yang jelas. Hal ini menjadi celah bagi kekuasaan untuk bertindak tanpa akuntabilitas karena mereka tahu bahwa perhatian publik mudah dialihkan ke hal lain.
Kesadaran akan pola ini seharusnya membuat masyarakat lebih kritis dalam menyikapi setiap berita yang muncul. Tidak semua yang viral benar-benar penting, dan tidak semua yang penting mendapat perhatian yang layak. Media independen dan jurnalisme investigatif perlu mendapat dukungan lebih besar agar dapat tetap menjalankan tugasnya dengan benar.
Lebih dari itu, publik harus lebih bijak dalam memilah informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh berita yang sifatnya hanya menggiring opini tanpa dasar yang kuat. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam permainan isu yang telah dikendalikan oleh mereka yang memiliki kepentingan. Pada akhirnya, pertanyaannya adalah, apakah kita masih bisa melihat dengan jernih atau justru sudah terbawa arus yang telah mereka tentukan?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.