Abdul Rahman Saleh sang ‘Ustaz di Kampung Maling’ Itu Berpulang

8 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mantan jaksa agung Abdul Rahman Saleh wafat pada Jumat (4/7/2025). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kejagung) Harli Siregar menyampaikan, Abdul Rahman Saleh tutup usia saat dirawat di Rumah Sakit (RS) Mayapada di Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan (Jaksel). 

“Inalillahi wainailaihi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah H Abdul Rahman Saleh, jaksa agung periode 2005/2007,” tulis keterangan dari Kejagung.

Yang bersangkutan dikabarkan wafat pada Jumat, 4 Juli 2025 Pukul 13.05 WIB di RS Mayapada,  Kuningan, Jakarta Selatan. Saat ini, kata Harli jenazah almarhum akan dibawa ke rumah duka yang berada di Pejaten Raya, Jakarta Selatan. Almarhum rencananya dimakamkan pada Sabtu (5/7/2025).

Abdul Rahman Saleh menjabat jaksa agung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penunjukannya sebagai jaksa agung ketika itu sempat kontroversial. Hal ini karena Abdul Rahman Saleh memimpin Korps Adhyaksa bukan dari jalur karier kejaksaan. 

Almarhum pernah menjadi hakim agung dan ketua muda hakim di Mahkamah Agung (MA) periode 1999-2004. Selama menjabat sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh punya reputasi yang positif dalam keseriusannya dalam pemberantasan korupsi. Tetapi ia juga sempat menjadi sasaran kritik lantaran menghentikan penuntutan terkait dugaan korupsi Presiden Soeharto karena alasan penguasa Orde Baru itu dalam kondisi sakit keras. 

Ia dulu sempat ramai diberitakan terkait komentar DPR bahwa yang bersangkutan sebagai jaksa agung adalah ‘ustaz di kampung maling’.

Merujuk arsip Republika, teman-teman dekat memanggilnya Arman. Nama lengkapnya: Abdul Rahman Saleh. Sebelum menjadi penegak hukum, putra Pekalongan yang dilahirkan pada 1 April 1941 ini telah membintangi 10 judul film. Ia juga menulis cerita pendek, belasan naskah drama, dan skenario film layar lebar.

Satu skenarionya berjudul Cinta Putih, diangkat ke layar lebar oleh sutradara Chaerul Umam. Arman suka membaca karya sastra dan berkawan, antara lain, dengan Rendra, Taufiq Ismail, Putu Wijaya, Chairul Umam, dan Amak Baljun. Ia juga wartawan, namun memilih jalur hukum menjadi ketua LBH Jakarta, hakim agung, dan kemudian jaksa agung pada 2004. Ia dikenal bersih dan lurus.

Arman sejak fokus di Kejaksaan Agung tidak lagi menulis naskah drama atau mencatat suatu peristiwa untuk berita. Bagaimanapun, ia tetap saja menjadi bagian dari drama nyata dan bahkan menjadi berita pada 2005. 

Kala itu, pada 17 Februari 2005, berlangsung rapat kerja gabungan Komisi II dan III DPR dengan Kejaksaan Agung. Celotehan seorang anggota dewan kala itu membuat Arman yang biasanya tenang naik pitam.

''Jangan sampai Jaksa Agung menjadi ustaz di kampung maling.'' Kata-kata itu meluncur dari anggota Komisi III DPR, Anhar SE, dan menjadi pemicu kisruhnya rapat kerja gabungan Komisi II dan III DPR dengan Jaksa Agung, pada Kamis, 17 Februari 2005.

Abdul Rahman Saleh, yang keberatan dengan kalimat itu meminta Anhar dari Fraksi PBR mencabut kata-kata tersebut. ''Saudara Anhar menuduh saya ustaz di kampung maling, saya mohon ia mencabut kata-kata itu dan meminta maaf, sebab forum ini bukan level untuk mengatakan hal seperti itu,'' kata Rahman.

Ketua Komisi III DPR, Teras Narang, yang memimpin sidang itu, lantas meminta Anhar meralat pernyataannya. Belum selesai Teras berbicara, Jaksa Agung Muda Pengawasan, Ahmad Lopa, menggebrak meja. Ia berteriak, ''Tak bisa seenaknya berbicara seperti itu!'' Teras langsung menanyakan kepada Ahmad pernyataannya itu ditujukan pada dirinya atau Anhar. Lopa menjawab tak setuju dengan pernyataan Anhar. Teras lantas mempersilakan Anhar bicara.

Anhar mengaku tak bermaksud menuduh orang-orang di belakang Jaksa Agung maling. ''Saya ini dari Sumatra. Ada kiasan, jangan sampai Jaksa Agung seperti ustaz di kampung maling. Bukan berarti saya menuduh. Ini hanya kiasan untuk mendorong semangat perubahan,'' jelasnya. 

Pernyataan Anhar membuat Kajati Aceh Andi Amir Ahmad murka. Ia lantas berdiri dan berkata, ''Cabut omongan itu! Kami bukan penjahat!'' Jaksa Agung dan sejumlah staf Kejagung berusaha menenangkan Andi. Sebaliknya, Teras malah mengusir Andi dengan meminta bantuan petugas keamanan DPR.

Raker, yang kala itu dimulai sejak pukul 09.00 WIB, terpaksa diskors 15 menit, pada pukul 14.20 WIB. Sejak awal, suasana raker memang sudah terlihat ''panas''. Ini tampak dari seluruh pertanyaan anggota DPR yang berkutat pada penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap sejumlah anggota DPRD. 

Pasalnya, di daerah-daerah banyak anggota DPRD yang terjerat masalah hukum. Pada Senin (7/2) lalu, raker gabungan ini juga terpaksa ditunda. Rapat yang kala itu sempat berlangsung sekitar dua jam hanya berisi perdebatan mengenai agenda yang akan dibahas.

Raker kemarin kembali dibuka pukul 14.35 WIB. Teras kemudian bertanya pada Jaksa Agung apakah raker bisa dilanjutkan. Arman, begitu Jaksa Agung biasa disapa, menjawab bisa asalkan Anhar bersedia minta maaf. 

Teras justru membela anggotanya dengan mengatakan bahwa anggota DPR sesuai dengan pasal 28 UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD, mempunyai hak imunitas untuk menyampaikan pendapat. Jaksa Agung menimpalinya dengan mengutip pasal 29 ayat G. ''Pasal 29 itu menyatakan bahwa setiap anggota DPR wajib menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait,'' katanya dengan bergetar.

Suasana pun kembali memanas dengan perdebatan perlu tidaknya rapat diteruskan. Jaksa Agung berpendapat rapat sebaiknya ditutup dan Teras setuju. 

Ketua DPR, Agung Laksono, saat itu sampai mengontak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan kisruh rapat itu. ''Presiden melihat kejadian ini tidak substansial, tapi lebih pada emosionalitas, sehingga perlu cooling down,'' kata Agung. Ia dan Presiden sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Tak lama setelah kejadian di DPR tersebut, Arman diberhentikan sebagai jaksa agung.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |