Bagaimana Nasib Kristen Suriah Setelah Assad Tumbang?

2 weeks ago 28

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Suriah diketahui merupakan juga rumah bagi minoritas Kristen dalam jumlah yang signifikan. Bagaimana nasib mereka setelah Bashar Assad digulingkan dan oposisi berkuasa?

Kardinal Mario Zenari, duta besar apostolik untuk Damaskus, mengatakan kepada Vatican News bahwa pasukan oposisi Suriah bertemu dengan para pemimpin Katolik di Aleppo segera setelah kemenangan mereka.

Para pemberontak meyakinkan para uskup bahwa “mereka akan menghormati berbagai denominasi agama dan umat Kristen”, kata Zenari. “Kami berharap mereka menepati janji ini dan bergerak menuju rekonsiliasi,” katanya dilansir Aljazirah, Senin (9/12/2024).

Zenari menambahkan dia tidak bisa tidur sejak pukul 05.00 waktu setempat pada hari Ahad karena “tembakan terus-menerus”. Tetapi, ia mengatakan orang-orang “menembak ke udara dengan gembira”. “Puji Tuhan, transisi ini terjadi tanpa pertumpahan darah, tanpa pembantaian yang ditakutkan.”

Ketika ditanya bagaimana ia berharap masyarakat internasional akan mendukung Suriah, Zenari mengatakan bahwa “penghapusan sanksi” dapat membantu. Menurutnya, sanksi ekonomi tersebut merupakan beban yang sangat memberatkan masyarakat miskin.

Hind Kabawat, direktur pembangunan perdamaian antaragama di Sekolah Carter untuk Perdamaian dan Resolusi Konflik, mengatakan ada “banyak pekerjaan yang harus dilakukan” di Suriah untuk membangun negara yang inklusif dan demokratis.

Kabawat, seorang Kristen Suriah, mengatakan kepada Aljazirah bahwa sejauh ini mereka bik-baik saja. “Kami tidak 100 persen yakin apa yang akan terjadi, namun selama beberapa hari terakhir, komunitas Kristen saya [di Suriah] berada dalam kondisi yang baik tanpa mengalami pelanggaran apa pun.”

Meski begitu, “kita tidak boleh santai”, namun tetap waspada dalam memantau apakah kekuatan oposisi menepati janji mereka untuk menghormati agama minoritas, katanya. “Hal terakhir yang kami inginkan saat ini adalah Suriah mengalami perang sektarian,” tambah Kabawat.

Serangan yang menggulingkan al-Assad diketahui dipimpin oleh kelompok pemberontak yang didominasi oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kelompok ini sebelumnya terkait dengan al-Qaeda dan menganjurkan interpretasi garis keras terhadap hukum Islam dan sikap terhadap agama minoritas.

Dominasi kelompok ini telah menimbulkan kekhawatiran mengenai betapa inklusifnya pemerintahan berikutnya di Suriah. Misalnya, ketua HTS Abu Muhammad al-Julani mengatakan kepada Aljazirah pada 2014 bahwa Suriah harus diperintah sesuai dengan interpretasi kelompok tersebut terhadap hukum Islam dan bahwa kelompok minoritas – seperti Kristen dan Alawi – tidak akan diakomodasi.

Kini, dengan kemenangan mereka, para pemberontak berusaha meyakinkan kelompok agama minoritas di negara tersebut bahwa mereka telah meninggalkan sejarah kekerasan sektarian.

Al-Julani menyampaikan pidato di Damaskus pada Ahad, menyatakan bahwa kemenangan oposisi adalah kemenangan bagi “seluruh warga Suriah”. Segera setelah oposisi merebut Damaskus, para pemberontak bertemu dengan para pemimpin Katolik di kota Aleppo untuk meyakinkan mereka bahwa mereka akan “menghormati berbagai denominasi agama dan umat Kristen”, menurut Kardinal Mario Zenari. 

Sekitar 200.000 umat Kristen tinggal di Aleppo sebelum perang, namun populasi tersebut kini menyusut menjadi 30.000. Di Homs, yang direbut pemberontak pada Sabtu malam.  komandan oposisi, Hassan Abdul Ghany, mengatakan, “Kami meminta agar semua sekte diyakinkan… karena era sektarianisme dan tirani telah berlalu selamanya”. 

Di masa lalu, minoritas Alawi di Homs mengalami serangan mematikan dari Front al-Nusra, sebuah kelompok HTS sebelumnya yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda. Pekan lalu, ketika pemberontak merebut Aleppo, al-Julani mengatakan dalam sebuah postingan di Telegram. “Aleppo selalu menjadi titik pertemuan peradaban dan budaya, dan akan tetap demikian, dengan sejarah panjang keragaman budaya dan agama.”

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |