REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menyampaikan provinsi itu beserta segala unsur di dalamnya harus melakukan taubat ekologi untuk menghentikan bencana yang terjadi berulang dengan skala yang semakin membesar. Menurut Dedi, kerusakan lingkungan sudah begitu parah di Jabar dengan banyaknya alih fungsi lahan, munculnya surat-surat kepemilikan atas tanah dari gunung, sungai, sampai laut yang seharusnya menjadi kepentingan bersama.
"Kita harus melakukan taubat ekologi kalau dalam bahasa saya. Yakni, pemerintah harus segera memperbaiki diri, memperbaiki tata ruang, memperbaiki pola hidup masyarakatnya untuk tidak lagi merusak, terutama sungai," kata Dedi di Lanud Husein Sastranegara Bandung, Selasa (11/3/2025).
Saat ini, kata dia, di Jawa Barat berbagai pihak cenderung menyudutkan sungai dan menjadikannya pembuangan rasa kebencian, padahal sungai dibutuhkan. Hal ini, lanjut Dedi, tidak sesuai dengan filosofi masyarakat Jawa Barat yang memiliki karakteristik yang lekat dengan air dengan bukti banyak penamaan daerah yang diawali dengan Ci yang diambil dari kata Cai atau air dalam Bahasa Indonesia.
"Saat ini, bukan hanya laut yang disertifikat. Daerah aliran sungai itu sudah bersertifikat. Gunung-gunung sudah banyak yang bersertifikat. Ini harus segera dibenahi. Padahal, filosofi masyarakat Jawa Barat itu air," ujarnya.
Atas banyaknya kegiatan alih fungsi lahan dan munculnya sertifikat tanah yang tidak sesuai peruntukan dengan banyaknya perubahan yang diarahkan untuk kepentingan komersial pihak-pihak tertentu, Dedi menyebut banjir terjadi di beberapa daerah, yakni Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi, hingga menyebabkan total kerugian Rp3 triliun. "Nanti kita audit, kalau menurut saya lebih dari Rp3 triliun, ini bukan hanya kerugian yang diderita warga, tapi juga recovery yang dilakukan pemerintah, dan ini jelas mahal," kata Dedi.
Karena itu, Dedi menekankan bahwa setiap pihak jangan suka melihat sudut pandang dalam ekonomi, khususnya pendapatan. "Makannya kalau pembangunan itu jangan suka melihat sudut pandang ekonomi, pendapatannya memang berapa dari wisata di Puncak. Tapi, lihat dampaknya yang ditimbulkan dari sebuah keputusan," ucapnya.
Saat ini, untuk penanganan warga terdampak banjir dalam jangka pendek telah selesai, yakni untuk makanan. Sedangkan jangka panjang pembangunan kembali serta relokasi bagi rumah yang ada di bantaran sungai.
"Termasuk nanti Kementerian Perumahan juga harus mengevaluasi pengembang-pengembang yang melaksanakan pembangunan perumahan di tepi sungai, di tengah sawah," ujarnya.
Kemudian, para bupati serta wali kota harus segera mengevaluasi tata ruangnya secara bersama, karena Jawa Barat sudah tidak pantas ada musibah, karena sistemnya dan alamnya sudah bagus. "Enggak pantas, kenapa? Karena sistemnya sudah bagus, alamnya sudah bagus. Ketidakpantasan ini disebabkan karena melaksanakan perencanaan pembangunan, tata ruangnya dilakukan secara ugal-ugalan, melawan prinsip-prinsip alam," katanya.
Terkait dengan sertifikat di bantaran sungai, Dedi mengatakan pihaknya akan membahas dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk dilakukan pencabutan. Meski dilakukan pencabutan, Dedi mengatakan tidak akan ada ganti, rugi karena telah mengambil tanah negara.
"Kan sungai pasti dikelola oleh BBWS, kemudian DSDA, ketiganya merupakan negara, karena kan sungai itu negara. Ketika hari ini sungai menjadi milik perorangan, berarti ada alih fungsi sertifikat yang tidak tepat dan itu ada jalur hukumnya yang nanti merupakan kewenangan Menteri ATR," ujarnya.
Dedi mengatakan dalam pekan ini Pemprov Jabar akan membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan angkatan tiga matera, yakni Angkatan Darat, Laut dan Udara. "Nah, saya akan bikin MoU, seluruh angkatan ini nanti akan bekerja sama dalam menjaga hulu sungai, daerah aliran sungai, muara sungai sampai laut, udara. Itu melakukan pantauan," tuturnya.
sumber : Antara