Duka Wanita Pada Era Patriarki dalam Novel 'Kehilangan Mestika'

1 week ago 22

Image Dzikra Mufti

Sastra | 2025-05-07 14:01:34

Cover Novel "Kehilangan Mestika" Karya Hamidah, sumber foto: pribadi.

Kehilangan merupakan fase di mana seseorang berpisah dengan hal yang sebelumnya bersamanya menjadi tidak ada, baik itu secara sebagian ataupun keseluruhan. Dalam kehidupan, manusia pasti pernah mengalami fase kehilangan. Duka, air mata, dan waktu biasanya menjadi teman setia mendampingi manusia untuk keluar dari fase tersebut.

Dalam dunia sastra, cerita tentang kehidupan bisa kita jumpai di dalam bentuk karya sastra tulis, salah satunya adalah Novel. Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah ini bisa dijadikan referensi karya sastra tulis berbentuk novel yang mengangkat tema kehidupan. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pertama kali terbit pada tahun 1959.

Novel "Kehilangan Mustika" mengisahkan kehidupan seorang perempuan bernama Hamidah yang terus kehilangan orang-orang di sekitarnya. Dimulai kehilangan laki-laki yang dicintainya, di lanjut dengan kehilangan ayah yang menjadi kekuatannya setelah kehilangan sosok ibu, Kembali kehilangan lagi laki-laki yang dicintainya untuk yang kedua kalinya, serta berpisah dengan mantan suaminya walau mereka hanya didasari sebuah perjodohan. Berikut kutipannya:

“Hanya orang yang dalam keadaan seperti atau hampir seperti dengan aku ini saja dapat mengirakan bagaimana perasaanku. Apa saja mau rasanya diperbuat untuk melapangkan dada yang amat sesak. Seolah-olah terdengar suara dari dalam air memanggilku, supaya dapat menemui Ridhan, kemudian bersama-sama menghadap Tuhan untuk meminta keadilan.”

“Aku kehilangan dahan gantungan, seorang yang menjaga diriku, menanggung baik jahatnya perbuatanku. Bapakku yang kukasihi telah kembali ke tempat perhenti­annya yang kekal.”

“Marilah kita berdamai, melepaskan diri kita dari ikatan yang telah kita buat belasan tahun yang lalu. Kita sama-sama menanggung. Kesenangan dirimu tak sempurna. Aku pun begitu

pula. Oleh karena itu, kuminta sekali lagi kepadamu, supaya kita membebaskan diri kita dengan damai.”

“Belum lagi aku sempat menjawab, matanya tertutup kembali. Denyut jantungnya bertambah perlahan, akhirnya berhenti sama sekali. Idrus meninggal dunia! Ucapan yang penghabisan yang tiada sempat kujawab lagi itu, tercantum di hatiku, pedih menusuk-nusuk seperti jarum yang tajam. Jadi itulah sebabnya, maka ia tak pernah kawin. Beratlah derita sesal yang dihadapkannya bertahun-­tahun itu.”

Duka dan aliran air mata silih berganti menghampiri Hamidah, layaknya musik pengiring waktu kehilangannya. Selain itu, zaman Hamidah hidup adalah zaman yang penuh dengan kritik sosial, terutama pada kaum perempuan.

Zaman yang selalu memandang sebelah mata perempuan. Sikap patriarki pada masa itu benar-benar mengurung wanita dalam kebungkaman. Namun, Hamidah bukanlah wanita seperti itu. Hamidah adalah wanita yang memiliki jiwa kuat dalam memerangi adat patriarki tersebut walau dengan akhir kehidupannya yang sangat menyedihkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |